Menuju konten utama
Periksa Data

Menilik Daerah Rentan COVID-19 di RI & Bahaya daripada Mudik

Jika tidak ada langkah intervensi apapun, jutaan orang akan terinfeksi COVID-19. Penyebaran penyakit itu sendiri kini telah mencapai 32 provinsi di Indonesia.

Menilik Daerah Rentan COVID-19 di RI & Bahaya daripada Mudik
Header Periksa Data Upaya Pemda Tangani COVID-19. tirto.id/Quita

tirto.id - Hingga 1 April 2020, data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 menunjukkan terdapat 1.677 kasus positif COVID-19 di Indonesia yang tersebar di 32 provinsi dengan 157 pasien positif COVID-19 telah meninggal dunia. Angka tersebut membuat Case Fatality Rate (CFR) atau rasio kematian pasien COVID-19 di Indonesia per 1 April meningkat jadi 9,36 persen.

Pada 31 Maret, terdapat penambahan 171 kasus dalam waktu sehari saja. Dari statistik tersebut, sebanyak 1.417 pasien tengah menjalani perawatan dan 103 pasien dinyatakan sembuh.

Dari total jumlah kasus COVID-19 global, Indonesia kini berada di posisi ke-34. Namun, rasio kematian akibat COVID-19 di tanah air tertinggi ke-4 di dunia dan semakin mendekati Italia yang ketika tulisan ini dibuat memiliki rasio kematian paling tinggi. Sebagai catatan, menurut Center for Evidence-Based Medicine, CFR Italia kini mencapai 11,75 persen.

Dari persebarannya di 32 provinsi, pusat kasus paling banyak ditemukan di Ibukota Jakarta. Hingga 1 April 2020 pukul 18.00 WIB, terdapat 816 pasien COVID-19 di wilayah ini. Angka ini belum dihitung jumlah kasus yang menunggu hasil, yakni 720 kasus. Persebaran COVID-19 di DKI Jakarta telah mencapai hampir seluruh wilayah kelurahan.

Berdasarkan pemetaan kasus yang dilakukan dari situs corona.jakarta.go.id, terdapat 543 pasien yang tersebar di 179 kelurahan di Jakarta. Persebaran pun semakin merata dengan rata-rata 1 hingga 3 kasus di 137 kelurahan.

Kemudian, ada beberapa wilayah yang memiliki lebih dari 10 kasus positif seperti Pegadungan (19 kasus), Senayan (17 kasus), Kelapa Gading Timur (15 kasus), Kebon Jeruk (14 kasus), Tomang (13 kasus), Duren Sawit (11 kasus), dan Kalideres (11 kasus).

Setiap wilayah memang memiliki keunikan. Di Jakarta Selatan, misalnya, kasus ditemukan hampir di seluruh wilayah dan terpusat di Kebayoran Lama dan Kebayoran Baru. Sementara Jakarta Barat, meski menempati posisi kedua di Jakarta untuk jumlah positif, ternyata hanya terpusat di titik-titik tertentu saja (tidak merata).

Persebaran COVID-19 di Jakarta sudah masuk ke pemukiman padat dan rentan. Hal ini patutnya jadi perhatian karena kelompok masyarakat ini tidak punya ruang isolasi diri bila salah satu anggota keluarganya terjangkit. Situasi tersebut masih ditambah dengan pengaruh faktor ikatan sosial yang kuat dengan ritus-ritus dan budaya perkumpulan seperti kegiatan arisan dan pengajian.

Apa yang sudah dilakukan DKI Jakarta untuk mencegah situasi yang semakin buruk? Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan telah melayangkan surat ke Pemerintah Pusat untuk melakukan karantina wilayah Ibu Kota. Namun, ia menuturkan karantina wilayah merupakan kewenangan dari presiden.

Surat bernomor 143 tanggal 28 Maret 2020 tersebut diterima Pemerintah Pusat pada keesokan harinya. Anies berjanji akan memperhatikan sektor energi; pangan; kesehatan; komunikasi; dan keuangan selama karantina tersebut.

Sayangnya, Istana menolak usulan Anies. Isyarat penolakan itu disampaikan oleh Fadjroel Rachman, juru bicara Presiden Jokowi, melalui akun Twittter-nya pada 30 Maret 2020. Alasannya, pemerintah pusat memilih menerapkan "pembatasan sosial berskala besar dengan kekarantinaan kesehatan" dan "hanya jika keadaan sangat memburuk dapat menuju darurat sipil".

Pemprov DKI Jakarta sendiri sudah bertindak sejak pertengahan Maret lalu. Gubernur telah mengeluarkan kebijakan yang berorientasi karantina wilayah seperti meliburkan siswa; tempat kerja bagi ASN dan pekerja swasta; menunda kegiatan keagamaan di rumah ibadah, serta membatasi interaksi sosial.

Hingga tulisan ini dibuat, Presiden Jokowi masih belum berani memutuskan untuk melakukan karantina wilayah, baik secara nasional maupun daerah. Padahal, sejumlah kepala daerah di DKI Jakarta, Kota Tegal, Tasikmalaya, Papua, dan Jawa Barat telah berencana ingin melakukan karantina wilayah atau lockdown sejak beberapa waktu lalu.

Opsi lockdown ini penting jika melihat perkembangan kasus COVID-19 di berbagai provinsi. Selama 15 hari terakhir, di beberapa provinsi padat penduduk memang terjadi peningkatan kasus. Selain DKI Jakarta, provinsi yang mengalami peningkatan kasus adalah Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.

Lockdown bermakna mengunci seluruh akses masuk atau keluar dari suatu wilayah/daerah/negara untuk mencegah penyebaran COVID-19. Sementara karantina wilayah, yang sudah banyak diterapkan, menurut UU No. 6/2018, merupakan pembatasan pergerakan orang untuk kepentingan kesehatan di tengah-tengah masyarakat.

Opsi lockdown telah diambil beberapa negara di dunia untuk menekan bertambahnya kasus COVID-19 di negara mereka. China, Italia, hingga Perancis tercatat telah melakukan lockdown di negara mereka.

Lockdown juga penting untuk mencegah masyarakat mengambil keputusan yang tidak tepat, termasuk pulang kampung di tengah pandemi ini. Sayangnya, dalam dua minggu terakhir melalui armada bus, sebanyak 14 ribu warga Jabodetabek telah mudik ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta. Jumlah ini belum ditambah dengan pemudik yang berangkat menggunakan kereta api, kapal laut, pesawat dan kendaraan pribadi.

Kekhawatiran soal pemudik yang berkorelasi positif terhadap kasus COVID-19 sama sekali tidak berlebihan. Beberapa contoh kasus positif membuktikannya. Tiga kasus positif COVID-19 di Sumatera Selatan, misalnya, memiliki riwayat perjalanan dari Jakarta dan Bogor. Pun, dengan pasien positif di Garut, Jawa Barat.

Indonesia Tanpa Lockdown

Kami melakukan kalkulasi kasus yang dapat terjadi menggunakan Kalkulator Epidemi oleh Ying Liu et. al. Perhitungan ini dapat membantu kita memahami berbagai skenario yang terjadi dalam penanganan COVID-19 di Indonesia.

Parameter klinis yang digunakan dalam kasus COVID-19 diambil berdasarkan standar World Health Organization (WHO), seperti ukuran penularan, masa inkubasi, durasi infeksi, masa pemulihan, masa inkubasi hingga kematian, tingkat penanganan/perawatan, dan lama perawatan.

Dengan memasukkan karakteristik Indonesia seperti jumlah penduduk sebanyak 263 juta jiwa, Case Fatality Rate sebesar 9,36 persen, dan dua kasus awal yang ditemukan, kita dapat melihat, menggunakan skala non-linear, jumlah kasus akan terus meningkat bila tidak adanya langkah nyata yang diambil, seperti karantina wilayah dan lockdown.

Peiksa Data Daerah Rentan COVID19

Peiksa Data Daerah Rentan COVID19. foto/tirto.id

Jika tidak ada langkah intervensi apapun, lebih dari sembilan juta orang akan terinfeksi. Kematian, sementara itu, akan mencapai empat juta orang pada hari ke-280.

Situasi berbeda dapat terjadi apabila penanganan lebih cepat dilakukan. Apabila lockdown dilakukan pada hari ke-16 sejak kasus pertama ditemukan, Indonesia dapat menekan angka penularan hingga Case Fatality Rate pada hari ke-100. Tingkat penularan juga akan berkurang pada hari ke-50. Jauh lebih baik dibanding skenario pertama yang tidak menerapkan kebijakan lockdown sama sekali.

Peiksa Data Daerah Rentan COVID19

Peiksa Data Daerah Rentan COVID-19. foto/tirto.id

Menghadapi Musim Mudik 2020

Hal lain yang juga harus dipikirkan adalah mudik lebaran 2020. Mudik tahun ini diprediksi terjadi mulai pertengahan Mei hingga awal Juni. Hingga saat ini, belum ada keputusan jelas dan tegas dari pemerintah Indonesia terkait mudik lebaran.

Terlepas dari keputusan pemerintah, mudik memang menyimpan potensi yang sangat berbahaya terkait penanganan COVID-19. Pasalnya, jutaan orang akan melakukan mobilitas yang membuat mereka rentan terpapar penyakit itu. Hal ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan anjuran berbagai lembaga kesehatan dan pemerintah Indonesia sendiri yang menekankan pentingnya memutus mata rantai penyebaran COVID-19 melalui jaga jarak fisik (physical distancing).

Sebagai gambaran, pergerakan mudik masyarakat Indonesia dari Jabodetabek pada 2019 sebagai berikut: Melalui sebuah survei, Kementerian Perhubungan memprediksi sekitar 14 juta warga Jabodetabek melakukan mudik pada 2019. Daerah tujuan utama pemudik adalah Jawa Tengah sekitar 5,6 juta orang, Jawa Barat dengan 3,7 juta orang, dan Jawa Timur dengan 1,6 juta orang.

Lebih rinci, daerah tujuan Jawa Tengah yang didatangi pemudik adalah Kota Surakarta sebanyak 642 ribu orang, Semarang sebanyak 563 orang, dan Tegal dengan 354 ribu orang.

Catatan penting, ketiga daerah tujuan utama pemudik dari Jabodetabek itu saat ini memiliki perkembangan kasus COVID-19 yang cukup tinggi dan terus meningkat. Jawa Barat, misalnya, memiliki 220 kasus positif per 1 April. Demikian pula dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sama-sama memiliki 104 kasus positif.

Masih belum terlambat bagi pemerintah pusat untuk mengambil langkah tegas, cepat dan tepat sasaran terkait penanganan COVID-19, terutama terkait hajatan mudik yang selalu ramai setiap tahunnya. Semakin cepat penanganan dilakukan, semakin banyak pula pilihan-pilihan yang dimiliki untuk menghadapi pandemi ini pada bulan-bulan berikutnya.

======

Artikel Periksa Data ini merupakan artikel pertama dari hasil kolaborasi antara tim riset Tirto.id dengan tim Jadigini terkait COVID-19 dan persebarannya.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara

Artikel Terkait