tirto.id - Rencana melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan terorisme sebagaimana tercantum dalam draft Revisi Undang-Undang Terorisme kembali mengemuka. Isu ini kembali mencuat setelah terjadi aksi teror di Mako Brimob dan Surabaya dalam sepekan terakhir.
Menanggapi hal ini, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu irit bicara. Ia hanya menilai, perlu tidaknya pelibatan tentara sudah terlihat dari definisi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) TNI.
"Lihat tugas pokok. Tugas pokok polisi adalah Kamtibmas. Tugas pokok TNI alat pertahanan, polisi alat negara di bidang Kamtibmas," ujar Ryamizard di kawasan Menteng, Jakarta, Senin (14/5/2018).
Menurut keterangan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, terdapat dua poin di draf Revisi UU Terorisme yang hingga kini belum disepakati antara pemerintah dan DPR. Keduanya adalah soal definisi terorisme, serta peran TNI dalam menghadapi teroris.
Tapi menurut Ryamizard peran TNI dalam penanganan terorisme sudah jelas. Ia berpendapat, tugas TNI untuk melindungi ideologi negara sebenarnya telah tercantum di sumpah prajurit, atau Sapta Marga. Salah satu isi sumpah adalah menyatakan kesiapan tentara mendukung dan membela ideologi negara, serta tak akan menyerah dalam kondisi apapun.
"Sekarang masalah pemberontak, itu kena untuk melepaskan diri dari keutuhan, jadi tugasnya siapa? Kemudian teroris [ingin] mengganti ideologi negara [...] Itu jelas," tegas Ryamizard.
Sementara itu, Ketua Pansus Revisi UU Terorisme, Muhammad Syafi'i, menyebut pembahasan beleid itu tinggal menyisakan pembahasan definisi. Menurut dia, masalah timbul karena pemerintah belum menyetujui usulan tambahan frasa "tujuan politik, motif politik atau ideologi" dalam definisi tindakan terorisme. Padahal, menurutnya, definisi tersebut telah disetujui oleh Polri, BNPT dan TNI.
"Enggak jelaslah itu mereka apa maunya. Mereka contohkan sendiri kalau tindakan pidana umum dan teroris itu beda di motifnya, tapi [saat mau] ditambah definisinya enggak mau," kata Syafi'i kepada Tirto.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra ini menduga pemerintah menginginkan definisi tindakan terorisme tetap luas, agar bisa menjadi pasal lentur untuk dimanfaatkan mereka.
Tuduhan itu dibantah Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham Enny Nurbaningsih. Menurutnya, pemerintah menolak karena definisi sebagaimana dirumuskan DPR tersebut tidak terlalu penting. Alasan Enny, Pasal 6 dan 7 draf Revisi UU Terorisme telah menyebut jelas unsur-unsur yang melingkupi tindak pidana terorisme.
"PBB saja tidak punya definisi tunggal. Kalau kita mendefinisikan itu malah bahaya. Nanti bisa menyulitkan pembuktian di muka hukum. Kalau dia [teroris] mengaku tidak memiliki motif ideologi dan politik, nanti tidak bisa dihukum," kata Enny.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Agung DH