tirto.id - Minggu (2/8/2020) pagi pukul sembilan diselenggarakan acara peluncuran film berjudul Jejak Khilafah di Nusantara. Film itu dibuat oleh Nicko Pandawa, bekas aktivis mahasiswa Gema Pembebasan UIN Jakarta.
Di dalam poster acara, disebutkan beberapa orang yang menjadi panelis. Selain Nicko, ada pula mantan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto, mantan Ketua DPP HTI Rokhmat S. Labib, dan Felix Siauw.
Beberapa nama juga tercantum sebagai panelis tamu seperti Teuku Zulkarnaen, Mizuar Mahdi, Alwi Alatas, Moeflich Hasbullah, dan sejarawan yang lebih dari 40 tahun meneliti Perang Jawa (nama lain Perang Diponegoro) sekaligus guru besar emeritus Trinity College, Oxford, Peter Carey.
Peter protes. Ia merasa panitia tak pernah meminta izin--mekanisme standar yang semestinya tak perlu diingatkan lagi oleh penyelenggara acara apa pun.
"Itu tidak bisa diterima. Itu murni pencatutan nama untuk penerbitan salah satu film yang belum diputarkan kepada saya, belum diberitahu kepada saya lebih dulu," kata Peter kepada wartawan Tirto, Selasa (4/8/2020) siang.
Ia mengaku memang pernah diwawancarai sekitar enam bulan lalu, sebelum pandemi meluas di Indonesia. Ketika itu ia diminta untuk memberikan pandangan tentang Pangeran Diponegoro sebagai seorang muslim saat memimpin perang. Cuplikan wawancara pembuat film dan Peter itu muncul di dalam film (menit ke-59).
"Biasanya jika ingin membuat dan meluncurkan suatu film, saya akan diberi lima menit trailer atau sinopsis terlebih dahulu. Ini tidak sama sekali," katanya.
Dalam wawancara itu Peter menjelaskan fakta sejarah tentang apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh Pangeran Diponegoro sehubungan dengan Kerajaan Utsmaniyah. Ia juga menjelaskan tentang apa yang diketahui oleh orang Turki Utsmani mengenai Diponegoro dan Perang Jawa.
"Menurut saya, tidak terbukti ada semacam kongkalikong dengan Turki Utsmani. Dari pihak Turki Utsmani, sama sekali tidak ada bukti nama Diponegoro untuk masuk pertimbangan ditolong di tanah Jawa [ketika] sedang berjuang melawan kolonialisme Belanda. Tak ada arsip yang ada di Ankara, di Istanbul, tidak ada memuat nama Diponegoro atau Perang Jawa," kata Peter.
Di sisi lain, memang benar ada pandangan Diponegoro tentang Kerajaan Utsmaniyah. Hal tersebut menurutnya wajar dengan pertimbangan kerajaan tersebut tengah melawan kolonialisme Eropa di Timur Tengah, sebagaimana Diponegoro di Jawa. "Namun itu hanya kekaguman saja. Hanya romantisasi," katanya.
Ia lantas menjelaskan bahwa benar kalau Diponegoro menganggap penting agama. Bahkan di dalam Babad Diponegoro, naskah kuno yang ditulis langsung oleh Diponegoro, ia mengaku Wali Songo-lah teladannya.
Namun, meski menganggap agama iu penting, tapi yang perlu ditegaskan adalah Diponegoro "bukan seorang Wahabi, bukan seorang Taliban, dia bukan seorang radikal di dalam agama."
Peter mengaku kecewa kepada si pembuat film. Ia merasa kepakarannya di dalam studi Diponegoro dimanfaatkan oleh si pembuat film untuk melegitimasi pandangannya tentang khilafah di Indonesia--kendati terkesan dipaksakan. "Pencatutan nama dan ucapan saya untuk menguatkan suatu argumen yang sebenarnya tidak dilandasi oleh landasan yang kuat, salah satunya kearsipan."
Mantan juru bicara HTI yang juga salah satu panelis, Ismail Yusanto, mengatakan panitia memang tidak melakukan konfirmasi terlebih dulu. Oleh karena itu mereka akan segera menemui Peter dan meminta maaf.
"Karena memang menurut panitia, dalam acara itu sekadar memutar ulang cuplikan rekaman video wawancara," kata Ismail saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Selasa siang. "Sebagaimana juga special guest yang lain, yang tercantum dalam poster itu seperti Tengku Zulkarnaen, Moeflich, Dr. Alwi juga sekadar ditayangkan cuplikan rekaman wawancara yang sudah ada lebih dulu."
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino