Menuju konten utama

Delusi Negara Khilafah

Sebagian muslim Indonesia memimpikan hadirnya sebuah negara dengan sistem khilafah.  Sebuah negara adidaya dengan wilayah kekuasaan mencakup seluruh penjuru,  serta menjadi pemimpin peradaban dunia. Tapi bagi sebagian muslim, sistem negara khilafah tak lebih dari romantisme sejarah. Ia, kekhilafahan itu, sudah menjadi fosil dan usaha menghidupkannya adalah sia-sia. Kalaupun berhasil dihidupkan kembali, hanya melahirkan masalah.

Delusi Negara Khilafah
undefined

tirto.id - Apa yang dipikirkan oleh kaum muslimin di Indonesia tentang negara ini? Sebagian besar menganggap negara ini baik-baik saja. Artinya, tidak ada masalah antara kemusliman mereka dengan negara ini. Sebagian lagi menganggap negara ini baik saja, sejauh sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Sebagian lagi menganggap bahwa negara ini salah dari sudut pandang ajaran Islam. Karena itu harus diluruskan, diubah agar menjadi negara Islam.

Bagaimana negara Islam itu? Orang segera akan menyebut khilafah sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Khilafah digambarkan sebagai negara yang keberadaannya mengikuti apa yang sudah diajarkan oleh Quran dan sunnah. Inilah satu-satunya format negara yang diridhai Allah. Tidak hanya itu. Khilafah adalah negara hebat, yang menguasai banyak wilayah, menjadi kekuatan adi daya dalam pergaulan internasional, serta pemimpin peradaban dunia. Rujukannya adalah kekhilafahan Bani Umayyah, Abbasiyah, hingga ke Turki Usmani.

Sejarah kekhalifahan sering dibahas dengan penuh kebanggaan. Namun tidak sedikit pula suara-suara yang lebih kritis membedah persoalannya secara lebih detil dan teliti. Maududi, misalnya, melakukan telaah kritis terhadap sejarah, dan menyimpulkan bahwa hampir sepanjang sejarahnya khilafah dari Dinasti Umayyah hingga ke Turki Usmani tak lebih dari sekedar kerajaan-kerajaan yang berbaju Islam saja. Mereka mencatat banyak kemajuan dalam hal luasnya daerah kekuasaan, juga kemajuan ekonomi serta ilmu pengetahuan, namun perilaku elit kerajaan sangat jauh dari nilai-nilai Islam.

Sejarah mencatat bahwa di beberapa khalifah Bani Umayyah adalah pemabuk yang senang berhura-hura. Bahkan ada yang berani melecehkan mushaf Quran. Demikian pula halnya dengan pada masa Abbasiyah, hingga ke Turki Usmani. Kekuasaan ditegakkan dengan kekerasan. Peralihan kekuasaan antar dinasti, seperti perpindahan dari Umayyah ke Abbasiyah adalah sejarah penuh darah.

Poin terpentingnya adalah, meski mengaku menjalankan negara berbasis Quran, bentuk negara tak lebih dari bentuk kerajaan. Anak raja otomatis menjadi raja, menutup kemungkinan terpilihnya pemimpin dari luar jalur itu. Kecuali saat terjadinya kudeta berdarah seperti peralihan dari Umayyah ke Abbasiyah tadi. Konsep seperti itu tidak diajarkan dalam Quran maupun hadist. Bagaimana mungkin sebuah kekuasaan bisa disebut berdasar pada Quran dan hadist kalau pemilihan pucuk pimpinannya tidak merujuk ke situ? Konyolnya, kalau bagian ini dibahas, para penganjur gagasan khilafah akan berdalih bahwa semua itu sah saja selama rakyat berbaiat. Padahal fakta sejarah menunjukkan bahwa baiat itu dirampas dengan kekerasan, atau dibeli dengan uang.

Lalu bagaimana dengan masa khulafaur rasyidin? Masa ini sering dibahas dengan penuh pujian. Namun bagaimana pun juga situasinya tetap bisa dilihat secara kritis. Titik awalnya terletak pada klaim bahwa Islam mengatur semua hal, termasuk sistem politik. Benarkah? Apakah sistem itu ada, atau yang ada hanya sekedar ajaran moral yang bisa dipakai sebagai panduan dalam melakukan aktifitas politik? Apakah praktek politik setelah nabi wafat itu sebuah sistem politik Islam, atau gerakan politik orang-orang Arab untuk mengelola kekuasaan?

Begitu nabi wafat, orang-orang Anshar langsung berunding untuk mencari pemimpin dari kalangan mereka. Ini didengar oleh Umar dan Abu Bakar. Mereka berdua kemudian mendatangi pertemuan itu, kemudian berhasil meyakinkan hadirin bahwa Abu Bakar lebih pantas memimpin. Sementara itu Ali yang masih sibuk mengurus jenazah sahabat, mertua, sekaligus sepupunya, tidak ikut dalam pertemuan itu. Ketika tahu soal itu Ali marah. Ia sendiri merasa paling berhak menggantikan posisi nabi sebagai pemimpin. Karena itu pada mulanya ia enggan berbaiat. Menurut catatan sejarah Ali baru berbaiat setelah Fatimah wafat, 6 bulan kemudian.

Coba kita kaji kembali situasinya. Di mana sistemnya? Kalau ada sistem tentu tak seperti itu bentuknya. Ali dilibatkan, sehingga ia tak perlu marah. Akibatnya tak akan ada perpecahan Sunni-Syiah yang abadi hingga kini. Tidak ada panduan tentang siapa atau bagaimana kriteria orang yang akan jadi pemimpin, bagaimana proses pemilihan. Yang terjadi adalah balapan politik. Untungnya Ali kemudian berlapang dada menerima, kemudian berbaiat kepada Abu Bakar.

Setelah itu proses peralihan kepemimpinan beragam caranya, tergantung siapa yang sedang berkuasa. Abu Bakar menunjuk Umar, Umar membentuk panitia. Ali diangkat dalam keadaan genting oleh penduduk Madinah. Satu hal yang dilakukan Ali dalam pemerintahannya adalah mengganti orang-orang yang diangkat oleh Usman. Pada akhirnya Ali kemudian harus berhadapan dengan Muawiyah, orang dekat Usman. Tak tanggung-tanggung, mereka bertempur di medan perang. Umat yang katanya bersaudara itu kini saling bunuh.

Sekali lagi, di mana sistemnya? Cerita itu adalah cerita politik biasa, yang terjadi dalam sejarah bangsa atau peradaban manapun. Bedanya, dalam hal ini masing-masing pihak yang berpolitik sama-sama mengaku sedang meneruskan atau mempraktekkan ajaran nabi. Mereka bahkan mengklaim sebagai pihak yang paling benar.

Sejarah pada masa berikutnya lebih kelam lagi. Muawiyah berkuasa. ia membangun kerajaan, membeli kesetiaan rakyatnya dengan uang dan tangan besi. Ia mengangkat anaknya yang pemabuk sebagai khalifah.

Bagi saya, maaf saja, tidak ada sistem dalam cerita itu. Yang ada hanyalah orang-orang yang bertindak berdasarkan situasi yang mereka hadapi, dan tidak jarang pula berbasis pada kepentingan mereka.

Sistem adalah sesuatu yang dinamis sifatnya. Tidak mungkin ada sistem yang dibangun di abad ke 7 yang masih bisa dipertahankan secara utuh. Yang mungkin ada adalah nilai dasar yang diperkenalkan pada saat itu dan masih (ingin) dipakai sampai sekarang. Sistemnya sendiri terus berubah dan akan terus berubah.

Jadi kalau ada sebuah sistem yang sekarang berjalan, dan itu diklaim sebagai sistem Islam, yakinlah bahwa itu klaim kosong. Itu hanya sistem produk manusia masa kini, yang diklaim sebagai sesuatu yang berasal dari abad ke 7, bahkan dari Tuhan. Persis sama dengan klaim-klaim yang dilakukan oleh orang-orang pada abad ke 7 itu, ketika mereka punya kepentingan. Klaim-klaim itu lahir dari kepentingan sekelompok orang, lalu diamini oleh orang-orang yang tidak paham, kemudian dilafalkan berulang-ulang laksana mantera.

Tapi bukankah sejarah telah menunjukkan bahwa masa kekhalifahan adalah masa keemasan dalam sejarah Islam? Ya, ada kejayaan yang membanggakan, namun juga ada kekejian dan ketidakpatutan. Itu semua adalah produk suatu zaman. Apakah kalau kita coba mengulangi kejadian-kejadian itu kita akan mendapatkan kejayaan itu kembali? Tidak ada jaminan. Besar kemungkinan tidak. Karena tidak ada formula seperti algoritma komputer yang bisa memastikan suatu bangsa atau suatu peradaban mencapai kejayaan. Kejayaan manusia ditentukan oleh banyak faktor yang berkontribusi secara kompleks. Tapi di atas itu semua, kejayaan ditentukan oleh seberapa keras dan cerdas setiap komponen peradaban itu bekerja.

Bagi saya khilafah adalah sejarah. Tinggal sejarah. Ia sudah menjadi fosil seperti dinosaurus. Usaha menghidupkannya adalah usaha yang sia-sia. Kalaupun berhasil dihidupkan kembali, ia hanya akan menjadi masalah.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.