tirto.id - PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) akhirnya memutuskan mengimpor tiga rangkaian Kereta Rel Listrik (KRL) baru dari China, setelah sebelumnya gagal melakukan pengadaan bekas dari Jepang. Nilai impor ketiga rangkaian tipe KCI-SFC120-V tersebut menelan anggaran sebesar Rp783 miliar.
Pengadaan ini merupakan bagian dari rangkaian pemenuhan sarana KRL Jabodetabek yang dibahas dalam rapat koordinasi pada Juni 2023 lalu. Dalam pemenuhan pengadaan sarana KRL, KAI Commuter melakukan tiga penandatanganan kerjasama pengadaan.
Pertama, pengadaan 16 rangkaian sarana KRL baru oleh PT INKA dengan total investasi hampir sebesar Rp 3,83 triliun. Kedua, pengadaan 19 rangkaian KRL retrofit oleh PT INKA degan total investasi lebih dari Rp. 2,23 triliun. Terakhir pengadaan 3 rangkaian KRL baru impor oleh CRRC Sifang, asal China.
Untuk diketahui, retrofit adalah skema penambahan teknologi atau fitur baru pada kereta lama. Layaknya mengganti suku cadang.
Sebelum keputusan pengadaan di atas, KAI sebetulnya sudah mengirimkan permohonan persetujuan impor barang modal dalam keadaan tidak baru (BMTB) sejak 13 September 2022. Kala itu, PT KCI berencana melakukan impor dari Negeri Sakura berupa 120 unit KRL untuk kebutuhan 2023 dan 228 unit KRL untuk tahun 2024.
Namun sayangnya, pertimbangan teknis atas rencana impor oleh PT KCI belum dapat ditindaklanjuti alias ditolak. Salah satu pertimbangan pemerintah adalah meningkatkan produksi dalam negeri serta substitusi impor melalui Program Peningkatan Pengguna Produk Dalam Negeri (P3DN).
Alasan lainnya, Indonesia sudah melakukan impor kereta bekas sejak 23 tahun yang lalu. Harusnya ini menjadi momentum emas industri dalam negeri untuk mereformasi sektor perkeretaapian nasional, yakni agar produksi dalam negeri bisa berjalan dengan baik.
Merujuk laporan Statistik Tranportasi Provinsi DKI Jakarta 2022, sejak 2012 hingga 2020 setidaknya tercatat total 1.042 unit impor kereta bekas untuk kebutuhan KRL Jabodetabek. Kuantitatas impor kereta terbesar terjadi di tahun 2013 dengan penambahan KRL mencapai 180 unit.
Mengingat penolakan pemerintah atas KRL bekas dari Jepang dan pertimbangan penggunaan produk dalam negeri (TKDN), beberapa pihak jadi mempertanyakan alasan keputusan impor kereta China.
“Pertanyaannya adalah memang kereta baru dari China ada TKDN-nya kah? Kalau tidak, ini sebetulnya upaya untuk menggusur keberadaan KRL dari Jepang dengan produk-produk dari China,” ujar Ketua Institusi Studi Transportasi (Instran), Darmaningtyas, kepada Tirto.
Padahal seharusnya pemerintah terus terang saja sejak awal, bahwa menolak kereta bekas dari Jepang karena akan membeli dari China. Jadi sebetulnya seperi ada pihak yang bermain ingin mendapatkan fulus dengan menolak impor kereta dari Jepang yang jauh lebih murah dan mengarahkannya membeli kereta baru dari Tiongkok?
Rivalitas Jepang dan China
Jika menengok ke belakang, hubungan bilateral dan kerja sama antara Jepang dan Indonesia di bidang perkeretaapian bukanlah hal baru. Dimulai pertama kali pada tahun 1954, ketika Indonesia mengimpor kereta penumpang langsung dari Jepang.
Kemudian, pada akhir tahun 1980-an, Ibu Pertiwi untuk kedua kalinya mengimpor sekitar 40 unit kereta penumpang kelas ekonomi dan bisnis. Penambahan unit tersebut digunakan untuk tambahan angkutan lebaran.
Puncaknya, pada 8 Mei 2014, Indonesia menandatangani kontrak kerja sama dengan East Japan Railway Company sehubungan dengan proyek pengembangan sarana dan prasarana perkeretaapian listrik di Indonesia. Kontrak tersebut menjabarkan komitmen PT KCI dan Japan Railway (JC) untuk peningkatan kualitas infrastruktur dan fasilitas pendukung kereta api.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Jepang sebelumnya memang mendominasi impor kereta dan bagiannya (Kode HS 86031000). Namun, pada sejak 2021 aktivitas impor terhenti dan digantikan dengan dominasi China, setelah sebelumnya terlihat ada impor masuk di tahun 2014.
Seperti diketahui, 2014 adalah tahun di mana China mulai menjalin kerja sama pada proyek pengembangan koridor kereta api berkecepatan tinggi Jakarta-Bandung. Proyek tersebut sempat mangkrak, di mana harusnya selesai konsorsium tahun 2020 diperpanjang hingga 2023.
China mungkin bukan pengekspor teknologi kereta api terbaik, tapi Negeri Tirai Bambu tersebut jelas merupakan negara terbesar di pasar dan merupakan negara terdepan khususnya di bidang kereta api berkecepatan tinggi. Bahkan, sebagian besar negara Barat harus banyak belajar dari jaringan kereta api berkecepatan tinggi Cina.
Jika China adalah eksportir teknologi kereta api terbesar di dunia, maka negara tetangganya, Jepang, tentunya merupakan produsen teknologi paling maju di pasar.
Setelah meluncurkan kereta peluru kelas pertama pada tahun 1964, negara ini terus memperbarui modelnya sesuai dengan kemajuan teknologi terkini. Jaringan kereta cepat Jepang kini telah memfasilitasi hampir 37 persen populasinya.
Meskipun demikian, terlepas dari keunggulan Jepang, pemerintah tetap saja menjatuhkan pilihan kepada China untuk menggarap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Indonesia tidak tertarik dengan rekor mulus Jepang di proyek kereta cepat. Indonesia lebih tertarik penawaran Tiongkok yang dianggap lebih banyak memberikan keuntungan.
Terhalang Kapasitas
Di luar itu, sejatinya Ibu Pertiwi bisa saja melepas ketergantungan impor KRL dari Jepang atau China sekali pun. Toh industri dalam negeri kita juga tidak kalah hebatnya dengan kedua negara tersebut.
Tengok saja PT Industri Kereta Api (INKA). Badan usaha milik negara (BUMN) yang berlokasi di Madiun itu, terbukti mampu memproduksi berbagai kereta seperti: lokomotif, kereta penumpang, kereta penggerak, gerbong barang, kereta khusus, dan produk pengembangan.
INKA juga telah mengekspor berbagai tipe kereta ke beberapa negara di Asia Tenggara, Pasifik dan Asia Selatan, antara lain Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Australia dan Bangladesh.
Mengutip laporan tahunan PT INKA pada 2022, perseroan berhasil mencatatkan nilai proyek swasta dan ekspor mencapai 25,65 juta dolar AS. Sayangnya, capaian tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan periode sebelumnya pada 2021 sebesar 1,91 miliar dolar AS.
Lebih lanjut, baru-baru ini, INKA Grup melalui anak perusahaan PT INKA Multi Solusi kembali mengekspor gerbong barang ke KiwiRail – Selandia Baru. Pengiriman batch-1 kali ini berupa 60 unit Container Flat Top (CFT) Wagon 50Ft dari total pesanan sebanyak 450 gerbong yang akan diselesaikan hingga November 2024.
Di dalam negeri, kereta buatan INKA juga tidak kalah popular. Untuk kereta khusus, INKA memproduksi kereta inspeksi, kereta ukur, kereta kedinasan. Khusus untuk kereta penggerak, INKA juga produksi Light Rail Transit (LRT), kereta rel diesel Indonesia (KRDI), kereta rel diesel elektrik (KRDE), dan rainbus.
Tidak hanya itu, beberapa kereta penumpang di Tanah Air juga merupakan hasil produksi anak bangsa. Beberapa diantaranya kereta ekonomi, ekonomi premium, kelas eksekutif, serta kelas eksekutif stainless steel.
Namun harus diakui memang, teknologi INKA masih belum cukup andal memproduksi seperti, KRL Jabodetabek. Sebelumnya, BUMN produsen kereta api tersebut pernah membuat dan menyerahkan 10 trainset empat gerbong kepada PT KCI.
Namun, tak lama diserahkan, PT KCI mengembalikan kereta dan minta untuk diperbaiki. Pasalnya, terdapat banyak gangguan dan complain dari masyarakat, dilansir dari Antara.
Di satu sisi, KRL atau KA Bandara Railink yang teknologinya sesuai merupakan hasil kerja sama antara INKA dengan perusahaan kereta yang bermarkas di Jerman, Bombardier
Kereta yang akan dipakai di Bandara Soekarno Hatta (Soeta), Tangerang, Banten itu menggunakan mesin dari Bombardier. Meskipun begitu, total keseluruhan rangkaian kereta ini dirakit oleh INKA. Presentase komponen kereta sebanyak 70 persen dari dalam negeri dan sisanya teknologi mesin dari Bombardier.
Saat ini fokus industri kereta api nasional hingga 2035 adalah pengembangan kereta listrik untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan pasar ekspor. Hal ini ini sesuai dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035.
INKA pun akhirnya menyanggupi pengadaan 16 rangkaian sarana KRL baru oleh PT KCI dengan total investasi hampir Rp 3,83 triliun. Namun, pesanan tersebut baru bisa diselesaikan secara bertahap hingga 2025.
“Membuat kereta itu kan lama, tidak bisa sebentar, apalagi dalam jumlah yang banyak, 16 trainset. Jadi wajar kalau soal waktunya yang lama dan 2025 baru siap,” ujar Darmaningtyas.
Belum maksimalnya kapasitas INKA dalam memproduksi KRL tidak terlepas dari minimnya investasi yang digelontorkan pemerintah untuk pengembangan modal dan teknologi industri kereta.
“Industri perkeretaapian masih dianggap bukan industri strategis, sehingga pemerintah masih belum serius juga investasi/PMN yang besar ke INKA,” ujar Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang.
Di satu sisi, PT KCI perlu segera meningkatkan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan komuter. Jika, INKA tetap pada kapasitas yang sekarang dengan prioritas pada pesanan ekspor, tentu akan ada skenario impor selanjutnya.
Menimbang kondisi tersebut, pemerintah dalam hal ini PT KAI mesti mencari alternatif pemasok KRL lain dengan biaya yang paling efisien. Kemudian, tentu juga perlu mempertimbangkan pemenuhan standar komponen lokal.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas