tirto.id - Christie Elan-Cane, 59 tahun, adalah warga negara Inggris berjenis kelamin perempuan dengan orientasi seksual laki-laki. Sudah 25 tahun dia mendesak pemerintah Inggris untuk menambahkan pilihan alternatif dalam kolom jenis kelamin di paspor warga negaranya.
Elan-Cane menganggap pilihan ketiga itu berupa identitas non-gender. Dalam paspor disimbolkan sebagai 'X'. Para pendukung usulan ini mengistilahkannya sebagai X-Paspor. Permohonan pengajuan X-Paspor ini ternyata ditolak Kementerian Dalam Negeri atas alasan Inggris tidak menerbitkannya karena tak ada pengakuan status non-biner.
“Hak untuk mendapatkan identitas yang sah adalah yang paling mendasar dari semua hak asasi manusia,” tulis Elan-Cane dalam blognya. “Berkompromi pada validasi identitas saya berarti bahwa saya dipaksa untuk melepaskan hak dasar sebagai warga sipil.”
Dia merasa keberadaannya membuat pemerintah Inggris menjadi tak nyaman. Tapi dia akan terus berjuang di saat dominasi pandangan negatif warga negara merendahkannya.
“Saya merasa diperlakukan bukan sebagai manusia,” katanya kepada The Post.
Dukungan datang dari anggota parlemen perwakilan Norfolk Utara, Norman Lamb sejak tahun 2005. Lelaki dari Partai Liberal Demokrat itu menggalang tanda tangan sebagai dukungan dari para legislator. Dukungan X-Paspor bagi warga yang tidak terasosiasi dengan gender tertentu itu didukung 77 legislator. Beberapa di antaranya dari Partai buruh, Partai Hijau, Partai Konservatif, Plaid Cymru, Demokrat Liberal, Partai Nasional Scottish, hingga legislator independen.
Dalam blognya, Lamb menegaskan pemaksaan pencatuman jenis kelamin dalam paspor itu, “diskriminatif dan kuno.” Menurut Lamb, dalam spesifikasi standar Organisasi Penerbangan Sipil Internasional PPB (ICAO), dokumen perjalanan tak peduli pada jenis kelamin. Itu semua berdasar pada ICAO Document 9303 sejak 1945 ada tiga kategori: lelaki, perempuan, dan X untuk jenis kelamin yang tidak ditentukan.
Pada tahun 2013, firma hukum yang berbasis di London, Clifford Chance menjadi kuasa hukum Elane-Cane secara probono. Seorang pengacara mereka, Narind Singh menyatakan X-Paspor itu langkah penting untuk menghindari membuat pernyataan palsu dalam mengisi kolom jenis kelamin.
Laura Russell, kepala kebijakan di Stonewall mengungkapkan banyak orang transgender takut berpergian ke luar negeri karena cemas akan diinterogasi. Kebijakan Inggris menuturnya melanggar Konvensi HAM Eropa (EHCR). Stonewall ialah badan amal yang mengadvokasi hak LGBT.
Kate Gallafent menuturkan, identitas gender itu tidak sebatas lelaki atau perempuan saja. Dia mengistilahkan dysphoria gender sebagai kondisi tak nyamannya seseorang karena perbedaan jenis kelamin ideologis dengan identitas gender. Dia mengungkapkan hasil survei 2012 Komisi Kesetaraan dan HAM, didapati ada 600 ribu warga Inggris yang tak mengidentifikasi diri sebagai lelaki atau perempuan.
Bagi Gallafent, pemaksaan jenis kelamin sama saja dengan mengharuskan etnis Asia menyatakan berkulit putih atau hitam.
Saat ramai dukungan, Elan-Cane mengajukan gugatan ke Royal Courts of Justice melawan Menteri Dalam Negeri. Hingga kini belum ada hasil dari judicial review itu.
Negara-Negara Non Gender
Sejauh ini sudah ada 10 negara di dunia yang memberikan alternatif pilihan ketiga berupa X-Paspor. Kanada adalah negara terbaru sekaligus negara pertama di Benua Amerika yang melakukannya. Dalam keterangan resminya, Ahmed Hussen, Menteri Imigrasi, Pengungsi dan Kewarganegaraan Kanada berjanji akan mendukung LGBTQ. Dia juga bertekat untuk mencanangkan kebijakan pemerintah yang menjamin kesetaraan gender, keberagaman, dan inkusif.
“Ini mengikuti langkah-langkah untuk melindungi warga Kanada dalam hak mereka untuk identitas gender pilihan mereka, dan kebebasan ekspresi gender,” kata Hussen. Kebijakan itu berlaku sejak 31 Agustus 2017.
Menurutnya pemaksaan identitas gender dan ekspresi gender adalah diskriminasi yang dilarang negara. Itulah sebabnya Kanada akan mengamandemen UU HAM. Sinyal pemerintah Kanada untuk mendukung LGBTQ itu muncul sejak setahun sebelumnya. Saat itu Perdana Menteri Justin Trudeau, menunjuk Randy Boissonnault sebagai Penasihat Khusus mengenai isu-isu LGBTQ.
Selain Kanada, dalam catatan Interseks Human Rights Australia (IHRA), Australia telah melegalkan X-Paspor sejak tahun 2003. Hak warga sipil itu diraih setelah seorang interseks dari Australia Barat, Alex MacFarlane menang gugatan di pengadilan.
Hingga tahun 2013, warga Australia boleh mengajukan X-Paspor dengan syarat surat dokter. Setelahnya pemerintah Australia memperkenalkan pedoman federal baru untuk payung hukum bagi perbedaan jenis kelamin dengan gender. Pemerintah Australia lebih memilih menghimpun data tentang gender daripada jenis kelamin. Syarat pengajuannya tidak selalu surat dari dokter, bisa juga melalui psikolog.
Jaksa Agung Australia, Robert McClelland menegaskan perubahan hukum yang dilakukan negaranya memang hanya berdampak ke sedikit orang. Tapi menurutnya, kebijakan itu penting untuk memastikan warga negaranya bebas dari diskriminasi saat melancong.
Selain Kanada dan Australia, beberapa negara yang memberikan alternatif paspor X adalah Denmark, Jerman, Malta, Selandia Baru, Pakistan, India, Irlandia, dan Nepal. Pengatur perjalanan udara internasional, ICAO melegalkan itu semua. Di Bangladesh malah warga Hijra bisa mendaftarkan identitas gendernya sebagai 'E'.
Kolom jenis kelamin memang dibutuhkan agar aparat selektif memastikan identitas pelintas antar negara. World Economic Forum pernah menautkan hasil penelitian Institut Nasional Standar dan Teknologi (NIST). Dari situ diketahui bahwa bahwa algoritma pengenalan wajah menjadi semakin akurat, bahkan bisa melampaui kinerja manusia dalam pencocokan identitas. Dengan penggunaan teknologi biometrik canggih, kerja mengidentifikasi wisatawan pelintas negara bisa dilakukan lebih mudah dan akurat. Sehingga tak perlu lagi sebuah negara bergantung pada kolom jenis kelamin dalam paspor.
Ternyata teknologi bisa lebih peduli pada HAM dan keberagaman daripada manusia yang membuatnya.
Editor: Dieqy Hasbi Widhana