tirto.id - Syahdan, tersebutlah seorang perempuan yang bercita-cita menjadi peracik saus rokok kretek—impian yang melawan arus besar zaman di masa dia hidup. Pilihan itu membawa konsekuensi transdimensional yang merentang hingga empat dekade kemudian.
Demi cita-citanya, sang perempuan mesti mengarungi berbagai macam teritori keras, mulai dari kompetisi bisnis niretika, romansa yang tersandera kepentingan, sampai tekanan budaya konservatif dan diskriminasi gender. Dia bahkan sampai terhanyut dalam pusaran kekerasan politik yang tak sepenuhnya dia mengerti.
Di sepanjang perjalanan nan terjal tersebut, sang perempuan tak pernah benar-benar menyerah. Namun, penantiannya berujung tragis.
Seluruh rangkaian elemen naratif tersebut terjalin dengan sangat rapi sekaligus mendalam dalam semesta Gadis Kretek. Diadaptasi dari novel brilian berjudul sama karya Ratih Kumala, serial pendek lima episode ini tayang eksklusif di platform Netflix pada awal November.
Aroma spesial langsung menguar sejak opening episode perdananya. Tembang legendaris Kala Sang Surya Tenggelam milik mendiang Chrisye dinyanyikan kembali oleh Nadin Amizah dengan begitu syahdu. Nuansa magis lagu tersebut menjadi pengiring penonton memasuki dialektika kehidupan Dasiyah/Jeng Yah (Dian Sastrowardoyo) dan Soeraja/Raja (Ario Bayu/Pritt Timothy).
Kamila Andini dan Ifa Isfansyah, pasangan suami-istri cum sineas ternama tanah air, merancang Gadis Kretek sebagai kisah tentang kasih tak sampai sembari berkelana menjelajahi riwayat republik juga isu-isu lainnya di dua periode berbeda.
Dimensi yang mereka selami tentu amat rumit dan berkelindan begitu rupa. Upaya menyelaraskan beragam isu yang mencuat pada era masing-masing juga bukan pekerjaan mudah. Belum lagi ketika harus berhadapan dengan ruang-ruang gelap nan pengap dalam beberapa momen historis tertentu.
Hasil “racikan saus” duo sutradara tersebut tersaji dalam moda penceritaan nonlinear yang menempatkan tiap-tiap periode pada jukstaposisi satu sama lain dalam bingkai sudut pandang lintas generasi.
Lantas, apa saja yang membuat Gadis Kretek tampil demikian istimewa?
Babak Dua Zaman
Dalam novelnya yang menjadi sumber utama adaptasi, semesta cerita sebetulnya melingkupi tiga zaman berbeda. Ia dimulai dari masa Kolonial Akhir dan permulaan Penjajahan Jepang yang mengakibatkan ekonomi dalam negeri ambruk total.
Banyak pengusaha kretek terpaksa gulung tikar. Salah seorang diantaranya kemudian melego seluruh asetnya sekaligus secara tidak langsung memicu rivalitas panjang antara dua mantan anak buahnya, Idroes Moeria (Rukman Rosadi) serta Djagat (Verdi Solaiman).
Di luar kompetisi bisnis, keduanya juga bersaing memperebutkan hati seorang gadis pujaan setempat bernama Roemaisa (Sha Ine Febriyanti). Idroes menang dan mereka lantas memiliki dua orang putri, Dasiyah dan Rukayah (Tissa Biani/Nungki Kusumastuti).
Dalam konteks serial Gadis Kretek, penonton langsung dibawa ke tahun 1964 saat pabrik rokok kretek Idroes telah menjadi salah satu yang terbesar. Periode tersebut juga menandai puncak pengaruh sebuah partai kiri tersohor di Republik yang dalam serial disebut sebagai Partai Merah.
Kelindan antara Raja dan produk Kretek Merah yang merupakan usaha komersial dari organ lokal Partai Merah kemudian membawa arus besar kekerasan politik ke rumah Idroes dan keluarganya.
Revolusi yang sama ikut memutus komunikasi antara Dasiyah dengan Raja. Dasiyah menjadi pesakitan dalam sel tahanan politik, sementara Raja terpaksa menukar harga dirinya dengan janji perlindungan semu dari Djagat.
Proses bertahun-tahun yang terjadi selanjutnya lantas membawa penonton ke masa awal Orde Reformasi, tepatnya tahun 2001. Raja yang tengah sekarat mengutus putra bungsunya, Lebas (Arya Saloka), guna menuntaskan sebuah keinginan terakhir yang masih terkait erat dengan eksistensi Dasiyah.
Dalam penelusurannya, Lebas bersua Arum (Putri Marino), dokter muda yang ternyata “anak” dari Rukayah. Mereka berdua kemudian menjelajahi rangkaian episode gelap dari riwayat keluarganya masing-masing.
Secara garis besar, Gadis Kretek bisa dibilang merupakan parade transfer prinsip, semangat, hingga ilmu pengetahuan antara dua zaman berbeda. Tiap era adalah cerminan dari atau untuk era yang lain.
Dasiyah, misalnya, merupakan figur yang tampak melampaui masa di mana dia hidup. Dia tegak berdiri melawan kultur patriarki yang mengharamkan perempuan meracik saus kretek.
Spirit Dasiyah kemudian menubuh kembali dalam karakter Arum yang sangat mandiri dan bermental kuat. Fase mirroring tak pelak muncul beberapa kali sehingga revelasi di bagian klimaks menjadi sangat masuk akal.
Di lain pihak, Lebas menjadi representasi yang paling tidak terduga dari kedigdayaan Soeraja. Dibandingkan abang-abangnya, dia adalah yang paling “malas” bekerja dan cenderung hedonis.
Namun, misi mendesak dari sang ayah kemudian mengubah cara pandangnya. Pelan-pelan, dia bertransformasi menjadi duplikat bapaknya. Sebagaimana Raja menjaga integritasnya dahulu, demikian pula Lebas berlaku serupa di masa kini.
Fase mirroring antara ayah dan anak ini berjalan amat subtil. Tatkala seluruh konflik beserta solusinya telah mencapai full circle, epilog yang disajikan oleh duo sutradara terasa sangat memuaskan.
Arum dan Lebas telah membuktikan bahwa mereka pantas mewakili pendahulunya masing-masing. Saat keduanya memadu kasih, mereka semata melengkapi padanan cinta abadi Dasiyah dan Raja yang sekian lama tertunda.
Keragaman Aspek
Jika menelisik elemen-elemen yang menjadi bagian penting dari konstruksi semesta Gadis Kretek, kita akan mendapati aspek-aspek yang begitu beragam, mendalam, serta saling bersinggungan.
Ambil contoh sisi sejarah. Serial pendek ini mencakup periode peralihan Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru serta tahun-tahun pertama Pascareformasi 1998, sementara novelnya melingkupi bentang waktu yang lebih luas hingga era penjajahan Jepang.
Alhasil, faktor-faktor yang ditelaah akan sangat banyak dan dinamis. Bagaimana relasi kuasa antara petani tembakau, distributor, serta pengusaha kretek kala itu? Apa saja bentuk sanksi sosial terhadap “antek Belanda” seperti Raja usai pergulatan revolusioner dalam Masa Bersiap 1946?
Relasi transaksional antara ABRI dan kaum cukong yang luput dari pembersihan massal 1965-1967, konsolidasi konglomerasi, serta posisi perempuan yang kian terhimpit akibat doktrin Ibuisme Negara ala Orde Baru adalah beberapa faktor yang tidak terpisahkan dari dinamika kehidupan Dasiyah dan Raja.
Pada tataran mikro, kita dapat mengamati perkembangan aspek psikologis. Rasa bersalah merupakan elemen yang paling banyak terdeteksi dalam semua karakter Gadis Kretek. Manipulasi menyusul sedikit di belakangnya.
Pencarian jati diri juga tidak boleh dilupakan. Berbekal secarik foto dan potongan catatan harian, Lebas dan Arum bergerilya menguak tabir tersembunyi dari silsilah panjang keluarga mereka.
Etalase berbagai bungkus kretek dari dekade 1960-an yang muncul pada episode pertama serta episode terakhir adalah simbol visual cerkas guna menggambarkan proses panjang pencarian keberadaan generasi terdahulu.
Dari sudut lainnya, pemberontakan termasuk aspek yang sering berulang. Dimensinya pun sangat beragam, seperti pembangkangan atas paradigma kolot, pelanggaran hak asasi, hingga narasi politik tingkat tinggi yang menjadi misteri kelam Republik sampai hari ini.
Menjelang senja cerita, semesta jua yang berkonspirasi mempertemukan Raja dengan Jeng Yah untuk kali terakhir. Janji pamungkas di antara mereka baru tergenapi lebih kurang 45 tahun kemudian.
Dalam momen magis nan langka semacam itu, aroma manis Kretek Gadis jua yang menemani, meski terbalut oleh kemasan jenama yang lain. Di dalamnya tersimpan rapi esensi seorang Dasiyah, gadis yang selamanya merdeka dari belenggu patriarki.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi