Menuju konten utama

Menggugat Lemahnya Paspor Indonesia

Parpor ternyata memiliki kekuatan tertentu. Beberapa negara, memiliki kekuatan paspor yang cukup rendah. Indonesia termasuk salah satunya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan paspor lemah, di antaranya adalah kondisi perekonomian negara.

Menggugat Lemahnya Paspor Indonesia
Warga Kuba terdampar di perbatasan Kosta Rika dan Panama setelah pemerintah Kosta Rika menolak permohonan visa transit mereka. [Reuters/Juan Carlos Ulate]

tirto.id - 66 tahun lalu, para penulis, seniman, dan pemikir kebudayaan yang tergabung dalam perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka menerbitkan surat kepercayaan di majalah mingguan Siasat. Isi surat itu ialah pandangan generasi mereka, generasi pascaperang, tentang kebudayaan dan identitas keindonesiaan baru. Begini alinea pertamanya:

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.

Kita, orang-orang Indonesia saat ini, yang telah biasa makan sushi dari Jepang serta taco dari Meksiko, menari tango seperti orang Argentina, dan memainkan musik blues seperti orang-orang kulit hitam di Amerika Serikat bagian selatan, barangkali akan berpikir ulang tentang ke-sah-an selaku ahli waris itu saban berada di konsulat negara asing.

Untuk melakukan perjalanan ke luar negeri, kita tahu, orang memerlukan dua dokumen dasar, yaitu paspor dan visa. Paspor adalah tanda identitas resmi yang keabsahannya dijamin oleh negara asal dan visa adalah izin masuk yang diberikan oleh negara tujuan.

Dalam sebuah dunia baru yang terlahir dari kumpulan campur baur, semestinya tiap-tiap paspor, dari negara mana pun ia berasal, punya kekuatan yang setara dan setiap gerbang terbuka untuk para pemegangnya. Namun kenyataannya tentu tidak demikian. H.W Yeung dalam “Capital, State, and Space” (1998) menyatakan bahwa dunia tanpa garis-garis batas lebih menyerupai cerita rakyat ketimbang kenyataan.

Menurut Eric Neumayer dalam jurnal Applied Geography (2011), pembatasan visa berimbas buruk terhadap perdagangan internasional dan foreign direct investment (FDI). Pembatasan visa unilateral mengurangi aktivitas perdagangan internasional hingga 17,5 persen, sedangkan pembatasan bilateral berimbas pengurangan sekitar 25 persen. Untuk FDI, baik pembatasan unilateral maupun bilateral mengurangi stok sekitar 32 hingga 35 persen.

Meski demikian, pembatasan dan lapis-lapis yang membedakan satu identitas nasional dengan yang lain itu tetap saja dipertahankan: para pemilik paspor negara X bisa masuk dengan gampang ke negara Y, sedangkan warga negara Y mesti lebih dulu dibikin pahit hidupnya oleh keruwetan birokratis sebelum boleh menunaikan urusan di negara X.

Menurut indeks yang dirilis oleh firma penasihat keuangan Arton Capital pada April 2016, paspor Indonesia adalah salah satu dari 65 paspor terlemah di dunia. Ukurannya adalah mobilitas global: hanya ada 57 negara yang dapat dikunjungi orang Indonesia tanpa visa atau menggunakan visa pada saat kedatangan (visa on arrival). Padahal dari sisi sebaliknya, menurut keterangan Direktorat Jenderal Imigrasi, pemilik paspor dari 169 negara dapat memasuki Indonesia tanpa perlu meminta visa terlebih dulu.

Ya, istilah yang tepat memang meminta, bukan mencari atau membeli—sekalipun ada biaya administrasi yang harus dibayarkan. Dalam mencari terdapat kesan bahwa visa adalah sesuatu yang sudah dimiliki seseorang, tapi terselip di samping tempat tidurnya atau jatuh ke semak-semak, sedangkan dalam jual-beli ada ikatan kewajiban yang membelit kedua belah pihak.

Hanya dengan istilah meminta maknanya jadi terang. “Kalian meminta, pemerintah kami memberi,” kata seorang petugas konsulat Amerika Serikat dalam lakon Visa karya Goenawan Mohamad yang dipentaskan di Teater Salihara 29 Juli silam. Ucapan petugas itu berarti keputusan sepenuhnya ada di tangan mereka.

Lakon tersebut mengisahkan sejumlah orang Indonesia yang mengantre di kedutaan Amerika Serikat. Ada karyawan perusahaan minyak (namanya Iwan Chandra, seperti nama Presiden Direktur General Electric Oil & Gas Indonesia) yang mesti mengikuti diklat dan ada pula pria gagap yang “lahir pada 1960 dan kehilangan ayah di usia 5 tahun” yang hendak melepaskan diri dari belitan sejarah negerinya. Latar belakang dan tujuan mereka berlain-lainan, tetapi semua membutuhkan visa.

Lewat percakapan dan senandika para tokoh, lakon itu memaparkan pelbagai hal tentang identitas dan perpindahan yang perlu ditimbang ulang: “bagaimana mungkin seorang individu diringkus menjadi sehelai formulir?”, “mengapa orang harus pergi atau tidak pergi?”, dan sebagainya. Namun, yang terlihat paling jelas ialah perlakuan semena-mena pihak pemberi visa kepada para pemohon serta ketidaksetaraan kedudukan keduanya.

Di hadapan kenyataan itu, pasal 13 ayat 2 Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak meninggalkan sesuatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya,” terasa bagai pepesan kosong. Apa arti hak berpindah tersebut bagi orang-orang Afganistan, misalnya? Dari 199 negara yang tercantum dalam indeks paspor, hanya 24 negara yang membebaskan orang-orang Afganistan untuk memasuki perbatasan mereka, di antaranya Burundi, Djibouti, Haiti, dan Micronesia—negara-negara dengan tingkat kemakmuran rendah.

Menurut Henley & Partners, firma perencanaan tempat tinggal dan kewarganegaraan global, visa adalah ekspresi hubungan antar negara, dan pada umumnya mencerminkan status sebuah negara di dalam komunitas internasional.

“Bagi para pemegang paspor negara-negara OECD [Organisation for Economic Co-operation and Development, kelab negara-negara kaya], dunia begitu mudah dijangkau berkat pembatasan yang relatif sedikit. Merekalah yang paling dekat dengan konsepsi ideal 'warga dunia,'” tulis Eric Neumayer dalam “Unequal Access to Foreign Spaces” (2006). “Sedangkan bagi mereka yang berasal dari negara-negara miskin yang pemerintahnya otoriter serta punya sejarah kekerasan dalam konflik politik, perpindahan senantiasa terhalang.”

Pada 2006, Adam Luedtke, Douglas G. Byrd, dan Kristian P. Alexander menyusun sebuah set data statistik yang melingkupi 156 negara dan jumlah bebas visa yang negara-negara itu dapatkan untuk menjelaskan alasan di balik kebijakan pembebasan visa. Hasilnya dilaporkan dalam tulisan “The Politics of Visa” yang diterbitkan The Whitehead Journal of Diplomacy and International Relations (2010).

Menurut penelitian itu ada tiga variabel yang terbukti berpengaruh terhadap keputusan pembebasan visa, yaitu demokrasi, kekayaan, dan terorisme. Negara-negara demokratis yang menjamin hak politik dan kemerdekaan sipil warganya cenderung mendapatkan lebih banyak izin bebas visa, sebab warga negara-negara tersebut tidak dipandang sebagai ancaman oleh pihak pemberi visa.

Setiap lompatan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar 1.000 dolar Amerika Serikat berarti 2 izin bebas visa bagi sebuah negara. Dasarnya ialah pengunjung dari negara-negara dengan PDB per kapita tinggi tidak dicurigai bakal menyeleweng jadi imigran gelap.

Setiap 3 serangan teroris di suatu negara dalam setahun berimbas pada pengurangan 1 hak bebas visa. Apabila ada 100 serangan dalam setahun di suatu negara, tentu sulit bagi pihak pemberi izin untuk tidak berpikir bahwa negara tersebut ialah sarang teroris. Membiarkan mereka masuk sama saja dengan mengundang petaka.

Sebuah negara memang berhak menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh memasuki kawasannya. Namun, temuan Luedtke dan rekan-rekan jelas merupakan temuan yang sedih. Warga dunia masa kini semestinya lebih mempercayai keterbukaan dan persaudaraan antar manusia ketimbang kecurigaan yang picik. Mengapa membiarkan orang terjebak dalam “lotere kelahiran” yang tidak pernah mereka pilih sendiri?

Barangkali benar perkataan seorang karakter dalam lakon Visa. Ia, seorang perempuan tua Jawa yang cuma hendak menengok cucunya di Hawaii, Amerika Serikat, berkata dengan murung kepada penonton: “Kita, manusia, didekatkan oleh mesin terbang, tetapi dibikin berjauhan oleh rasa takut.”

Baca juga artikel terkait PASPOR atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Hukum
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti