Menuju konten utama
Demo #SurabayaMenggugat

Mengenang Sejarah Surabaya Menggugat 74 Tahun Silam

Aksi Surabaya Menggugat pernah terjadi pada 1945 dalam perang mempertahankan kemerdekaan.

Mengenang Sejarah Surabaya Menggugat 74 Tahun Silam
Teatrikal peristiwa perobekan bendera di Hotel Yamato sekarang Hotel Majapahit di Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/9/2018). ANTARA FOTO/Zabur Karuru

tirto.id - Mahasiswa, pelajar, wartawan, bahkan warga biasa di 'Kota Pahlawan' Surabaya yang menamakan diri Aliansi Kekuatan Sipil menggelar demonstrasi bertajuk #SurabayaMenggugat, Kamis (26/9/2019). Jumlah mereka mencapai ribuan.

#SurabayaMenggugat merupakan rangkaian dari gerakan serupa yang telah digelar di beberapa kota di Indonesia seperti #GejayanMemanggil di Yogyakarta, #BengawanMelawan di Solo, #SemarangBergerak di Semarang, dan seterusnya, termasuk aksi unjuk rasa di Jakarta yang bahkan melibatkan anak-anak sekolah menengah.

Koordinator Lapangan #SurabayaMenggugat Zamzam Syahara mengatakan seperti di kota-kota lain, demonstrasi ini digelar sebagai kritik terhadap DPR dan pemerintah yang tengah menggodok berbagai peraturan kontroversial. Salah satunya RKUHP yang dapat memenjarakan siapa saja yang dianggap menghina presiden dan wakil presiden.

“Di dalam aksi ini ada pelajar, dan elemen masyarakat se-Jawa Timur menyuarakan protes atas berbagai permasalahan yang ada,” kata Zamzam Syahara kepada reporter Tirto.

Aliansi Kekuatan Sipil menuntut enam hal dalam demo ini: menolak UU KPK versi revisi dan mendesak Presiden Jokowi menerbitkan Perppu yang menggantikannya; dan menolak sejumlah RUU bermasalah seperti RKUHP, RUU Ketenagakerjaan, dan RUU Pertanahan.

Mereka mendesak DPR RI segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS); mendesak pemerintah menyelesaikan kasus kebakaran lahan dan hutan; menolak dwifungsi aparat; dan terakhir mendesak pemerintah menyelesaikan kasus HAM di Papua dan berdialog dengan mereka.

#SurabayaMenggugat Tahun 1945

Surabaya Menggugat punya sejarah yang panjang. Pada 26 September 1945 atau tepat hari ini 74 tahun silam, aksi Surabaya Menggugat juga pernah muncul. Saat itu salah satu tokoh sentral yang muncul adalah Sutomo atau yang lebih dikenal dengan nama Bung Tomo.

Pada hari itu, setelah berhasil mengosongkan gudang senjata Don Bosco milik Jepang di Surabaya, Bung Tomo dan para pejuang RI diam-diam mengirimkan hampir 4.000 pucuk senapan dan berbagai amunisi ke Jakarta.

Dikutip dari Pertempuran Surabaya (1998) terbitan Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, kiriman yang dibawa dengan dua gerbong kereta api dan dikawal oleh arek-arek Suroboyo itu dimaksudkan sebagai hadiah dari Surabaya agar Jakarta dapat mempersenjatai pasukan untuk melindungi Presiden Sukarno.

Hal tersebut dilakukan karena terdengar kabar bahwa sekutu dan Belanda akan segera tiba di Indonesia. Kala itu, tak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Belanda atau NICA (Nederlandsch Indie Civiele Administratie) datang lagi dengan membonceng pasukan Sekutu/Inggris.

Alasan mereka ke Indonesia adalah untuk melucuti senjata para serdadu Jepang dan mengurusi tawanan perang. Namun, Belanda yang bertopeng NICA sebetulnya punya ambisi lain: menguasai kembali Indonesia yang sempat diambil-alih oleh Jepang pada 1942 hingga 1945.

Sebelum pasukan Sekutu (Inggris dan Belanda) datang, dikutip dari Surabaya 1945: Sakral Tanahku (2016) karya Frank Palmos, para pejuang di Surabaya berburu dengan waktu dan bersiap karena mereka yakin harus mempersenjatai diri.

Dengan latar belakang itu mereka memutuskan merampas seluruh isi gudang senjata Don Bosco–yang konon terbesar di Asia Tenggara–dan mengirimkan sebagian ke Jakarta pada 26 September 1945.

Sayangnya sejarah tidak mencatat kiriman senjata dari Surabaya itu digunakan dengan semestinya atau tidak.

Yang Jelas, tertulis dalam Representing the Japanese Occupation of Indonesia (1999) koleksi Netherlands Institute for War Documentation suntingan Remco Raben, sebuah foto pasukan Istana Negara pada akhir 1945 memperlihatkan mereka hanya membawa bambu runcing sebagai senjata.

Terlepas dari semua itu, apa yang dilakukan Bung Tomo dan kawan-kawan pada 26 September 1945 dan beberapa aksi lain sebelumnya merupakan awal dari gerakan Surabaya Menggugat sebagai rangkaian perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Prediksi mereka toh jadi nyata. Pada 15 September 1945, pasukan Sekutu bersama Belanda atau NICA mendarat di Jakarta, lalu tiba di Surabaya satu bulan 10 hari kemudian, 25 Oktober 1945.

Dinukil dari buku Sepuluh November Empat Puluh Lima (2001) tulisan Batara Richard Hutagalung, mereka tergabung dalam Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) atau Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran.

Kendati mengatasnamakan bantuan rehabilitasi karena perang, namun orang-orang asing ini justru membuat murka para pejuang, terutama lantaran mereka menurunkan bendera Merah-Putih di Hotel Yamato Surabaya dan menggantikannya dengan bendera triwarna Belanda.

Hotel Yamato kini masih berdiri tegak, berganti nama jadi Hotel Majapahit.

Sekutu rupanya mendukung ambisi Belanda. Pemimpin mereka, W.V.Ch Ploegman, bahkan menyatakan tidak pernah mengenal negara yang bernama Republik Indonesia dan merasa bahwa wilayah Hindia masih milik Belanda.

“Sekutu telah memenangkan perang, dan karena Belanda adalah bagian dari Sekutu, maka sudah menjadi haknya mengembalikan pemerintahan Hindia Belanda. Republik Indonesia? Kami tidak tahu itu apa,” tukas Ploegman di Surabaya, dikutip dari Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan (1994) suntingan Irna Hadi Soewito.

Ini berarti Belanda memang tidak pernah menganggap kemerdekaan Indonesia dan ingin kembali menguasai bekas wilayah jajahannya itu.

Kembalinya Belanda dan ulah Sekutu tersebut tak pelak menimbulkan serangkaian perlawanan dari arek-arek Suroboyo. Meletuslah pertempuran Surabaya yang berpuncak pada 10 November 1945. Tanggal yang sekarang kita semua kenal sebagai Hari Pahlawan.

Baca juga artikel terkait SURABAYA MENGGUGAT atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz