tirto.id - Delapan bulan sebelum berusia satu abad, Lillian Ross mangkat.
Dunia jurnalistik berutang budi padanya. Ross termasuk dalam rombongan pembuka jalan bagi era jurnalisme baru dekade 1960-an. Masa itu bisa dibilang periode keemasan jurnalisme. Banyak laporan bagus. Panjang. Mendalam. Bertutur. Ibarat membaca novel, namun non fiksi. Salah satu penanda awal periode emas ini adalah lahirnya artikel El Unico Matador. Ditulis oleh Ross pada 1947.
Ross berusia 29 tahun, baru bergabung dua tahun di majalah bergengsi The New Yorker. Ia ditugaskan membuat profil seorang matador asal Amerika Serikat bernama Sidney Franklin. Ross memulai artikelnya dengan perbandingan menarik. Para matador terbaik biasanya muncul dari dua negara: Spanyol dan Meksiko. Manolete, yang kerap didapuk sebagai matador terhebat sepanjang masa, berasal dari Spanyol. Carlos Arruza sang pemberani, berasal dari Meksiko.
Namun, Franklin berasal dari Amerika Serikat, negara yang lebih akrab dengan budaya menggembala sapi ketimbang bertarung melawan banteng. Saat ditugasi menulis profil tentang Franklin, sang matador sudah tersohor berhasil membunuh dua ribuan banteng sepanjang karier. Usia Franklin 45 tahun saat itu. Telah jauh melewati masa puncak sebagai seorang matador.
"Tapi umur tak ada hubungannya dengan seni," celetuknya, ditangkap dengan baik oleh telinga Ross.
Tulisan tentang Franklin dimuat di majalah The New Yorker edisi 12 Maret 1949. Membacanya, kita seperti diajak duduk bersama Franklin. Mendengarnya berkisah tentang kehebatannya, juga kisah publik Spanyol dan Meksiko yang mengejeknya karena ia berasal dari daerah tanpa tradisi matador, juga tentang hal-hal kecil namun penting semacam rambut. Pandangan mata Ross tajam menangkap subyek yang berkisah. Telinganya menegak setiap ada kisah dan celetukan menarik.
Tentang rambut, Ross menuturkan: itu barang penting bagi seorang matador. Nino de la Palma, yang menjadi purwarupa karakter Pedro Romero dalam novel The Sun Also Rises karya Ernest Hemingway, kehilangan popularitas karena rambutnya rontok dan membuatnya botak. Agar tak mengalami nasib sama, Franklin mempunyai tiga wig. Perkara kepercayaan diri Franklin, Ross menulis, "Aku adalah yang terhebat, tak ada yang bisa melampauiku."
Baca Juga:Retrospeksi 55 Tahun Kematian Ernest Hemingway
Selagi menggarap naskah El Unico Matador, ia mendatangi Hemingway yang saat itu sedang berada di Idaho. Ross menyebut sang narasumber itu, "punya otoritas untuk berbicara tentang matador." Setelah merampungkan The Sun Also Rises pada 1926, Hemingway juga menulis Death in the Afternoon, buku tentang ritual dan tradisi matador.
Berawal dari wawancara itu, Ross bersahabat dengan Hemingway, juga istrinya, Mary. Setelah El Unico Matador menjadi pondasi kuat bagi Ross untuk terus menulis dengan gaya serupa, ia membuat profil Hemingway, penulis yang disebutnya sebagai, "novelis dan penulis cerpen terbaik di Amerika." Profil Hemingway, How Do You Like It Now, Gentlemen? terbit pada 13 Mei 1950. Artikel ini memancing pergolakan dan kontroversi. Sebabnya tulisan Ross amatlah personal: menggambarkan sang penulis besar di usia setengah abad.
Publik sepertinya belum terbiasa melihat Hemingway dalam sisi yang amat personal dan berbeda dari citra tangguhnya selama ini, bekas wartawan perang, gemar berburu, suka tinju dan matador. Misal: Hemingway mengeluh sang ibu tak pernah mengiriminya bunga. Contoh lain, dalam satu adegan, Ross mengisahkan Hemingway mengenakan, "gaun mandi motif kotak-kotak berwarna oranye yang tampak kekecilan, menggenggam segelas sampanye. Brewoknya tampak awut-awutan ketimbang kemarin."
Ketika artikel ini naik cetak dan mengundang kehebohan, Hemingway membesarkan hati Ross: menurutku artikelmu bagus. Seminggu kemudian Hemingway kembali bilang: tak usah khawatir aku kehilangan teman atau apapun karena tulisanmu. "Aku menyambut tamparan angin seperti sebatang pohon tua. Aku pernah merasakan deru angin sebelumnya, dari utara, selatan, timur, juga barat." Ross kemudian membuat tulisan tambahan, dan profilnya tentang Hemingway dibukukan dalam Portrait of Hemingway (1950).
Baca Juga:Di mana Ada Penulis, di situ Ada Cemooh
Jika membaca tulisan-tulisan Ross yang penuh deskripsi detail --seperti bagaimana ia menggambarkan penampilan Hemingway di hari pertama bertemu-- atau dialog nan panjang, rasanya menakjubkan ia tak pernah memakai alat perekam. Ia mengandalkan pena dan buku catatan. Saking takjubnya terhadap kebiasaan Ross, penulis Edmund Wilson pernah menjulukinya sebagai, "Gadis dengan alat perekam dalam otak."
Ross lahir di Syracuse, New York, dari pasangan Louis Rosovsky dan Edna. Mereka pindah ke kota New York saat Ross masuk bangku SMP. Perempuan kelahiran 8 Juni 1918 ini bergabung dengan The New Yorker pada 1945. Tugasnya menjadi reporter untuk rubrik Talk of the Town. Setelah mewawancara narasumber, Ross akan mengirim laporan ke kantor untuk kemudian ditulis menjadi cerita oleh para staf penulis.
Dalam waktu 5 tahun, Ross menjadi salah satu penulis andalan The New Yorker. Selain karya tentang Franklin dan Hemingway, karya yang kemudian semakin mengokohkan namanya sebagai penulis wahid adalah Picture (1950). Ini laporan panjang, 376 halaman, tentang usaha sutradara John Huston membuat film The Red Badge of Courage yang diangkat dari novel karya Stephen Crane.
Buku ini yang kemudian melahirkan istilah novel non fiksi. Secara sederhana, istilah itu merujuk pada laporan jurnalistik yang dikemas seperti novel. Ada pembabakan. Adegan. Karakter. Meski begitu, Ross kurang sreg karya itu disebut sebagai novel non fiksi. Dia lebih suka istilah konvensional: laporan jurnalistik.
Apa yang dibuat oleh Ross kemudian mengilhami banyak penulis lain mengambil gaya serupa. Kepala Redaksi The New Yorker, David Remnick, menyebut Norman Mailer dan Truman Capote terilhami gaya tulisan Ross. Mailer menulis Armies of the Night yang mendapat Pulitzer untuk karya non fiksi terbaik, dan Capote membuat In Cold Blood yang dahsyat itu. Capote pernah berujar, meski laporannya tentang pembunuhan di Kansas itu seperti novel dan terasa fiktif, semua fakta di dalam buku itu benar dan akurat. Dengan kata lain: ia adalah laporan jurnalistik, sama seperti Ross menyebut karya Picture.
Ross pula dikenal sebagai penulis yang amat menguasai metode "fly-on-the-wall". Dengan memakai metode ini, penulis menjaga jarak dari narasumber dan cerita dirangkai dari apa yang dikatakan dan dilakukan narasumber. Contoh terbaiknya, tak lain tak bukan, adalah profil Franklin dan Hemingway. Salah satu kehebatan Ross, bisa jadi, adalah kekuatannya untuk menahan diri tak berkomentar ataupun tak ikut masuk dalam tulisan. Walau di beberapa tulisan --semisal Workouts atau Picture-- ia mau tak mau ikut menceburkan diri.
Ross adalah satu dari sedikit sekali jurnalis yang pernah kerja bersama pendiri The New Yorker, Harold Ross --tak ada hubungan darah dengan Lilian-- dan David Remnick. Kariernya merentang panjang, dari 1945 hingga 2012. Ia pernah menulis Charlie Chaplin, Marlon Brando, Al Pacino, Clint Eastwood, hingga Robin Williams. Ia mengalami masa kejayaan media cetak, menyaksikan munculnya internet, dan pada akhirnya memulai masa senja media cetak.
Baca Juga:Media Cetak Bisa Mati, (Jurnalisme) Seharusnya Tidak
Sepanjang kariernya, Ross menulis kurang lebih 400-an artikel di rubrik Talk of the Town, dan telah menghasilkan 13 buku. Artikel terakhirnya yang muncul di situs The New Yorker pada 1 Februari 2012 berkisah tentang sahabat baiknya, J.D Salinger. Cara menulis selebriti yang dilakukan oleh Ross juga memberi cara pandang baru bagaimana menulis dunia hiburan dengan baik dan benar.
Dalam email ke Associated Press, David Remnick menyebut Ross sebagai penulis pionir. "Baik sebagai seorang perempuan yang menulis di The New Yorker dan sebagai seniman yang amat inovatif, seseorang yang membentuk penulisan non fiksi dalam Bahasa Inggris."
Lillian Ross, penulis hebat yang membuka jalan bagi para jurnalis pencerita setelahnya, meninggal dunia pada Rabu, 20 September 2017. Susan Morrison, editor di The New Yorker, mengatakan Ross meninggal di Rumah Sakit Lenox Hill karena stroke.
Selamat jalan, Ross!
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti