tirto.id - Pada rangkaian kampanye Pilpres 2019 beredar sebuah video yang menampilkan Sandiaga Uno, kala itu cawapres nomor urut 2, melakukan tabur bunga di makam Kiai Bisri Syansuri. Setelah selesai, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu terlihat melangkahi makam tersebut untuk beralih menabur bunga ke makam lain. Sedangkan Prabowo yang juga hadir dalam kegiatan itu memilih memutar ketimbang melangkahi makam.
Video itu kemudian viral dan mengundang kritik dari berbagai pihak. Salah satunya Nasyirul Falah Amru, aktivis NU yang juga anggota DPR dari PDIP. Dia menyebut tindakan itu tak sopan dan menyinggung warga NU.
“Sebenarnya dia tahu nggak sih etika ziarah makam leluhur? Apa yang diperlihatkan Sandiaga dengan melangkahi makam Kiai Bisri itu bukan cermin menghormati leluhur,” ujar pria yang akrab disapa Gus Falah itu sebagaimana dikutip Detik.
Kritik serupa juga datang dari Amin Abdul Kadir Karding yang kala itu menjadi Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf. Tindakan Sandi melangkahi makam, menurut Karding, bukan saja merefleksikan rendahnya pengetahuan Sandi soal adab berziarah, tapi juga mencerminkan ketidakpekaan Sandi terhadap ulama sekaligus sejarah bangsa.
“Sangat disayangkan, sosok yang disebut-sebut sebagai santri padahal tidak pernah mondok ternyata tidak memiliki kepekaan terhadap ulama dan ahistoris (lupa sejarah),” ujar Karding kepada Tirto, Senin (12/11/2018).
Sementara itu Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menilai apa yang dilakukan Sandi mestinya tidak dijadikan fokus perbincangan politik. "Saya belum lihat sih. Tapi ya saya kira itu kan teknis banget ya. Mungkin agak repot atau apa [makanya langkahi makam]," kata Fadli.
Tapi apa lacur, tindakan Sandiaga saat itu terlanjur bikin warga NU kecewa. Bagi mereka, Kiai Bisri Syansuri adalah ulama yang disegani. Selain merupakan salah satu tokoh pendiri NU, ia juga disegani karena kedalaman ilmu fikihnya.
Berasal dari Keluarga Kiai
Kiai Bisri Syansuri lahir di Pati pada 18 September 1886. Tayu, desa di mana ia dilahirkan, punya kultur Islam yang kuat sebagaimana lazimnya daerah pesisir Jawa. Keluarga dari garis ibunya adalah keluarga pendakwah.
Bisri Syansuri muda memulai pendidikan Islam pada usia tujuh saat belajar Alquran pada Kiai Soleh di kampung halamannya. Ia juga belajar fikih—bidang ilmu yang kemudian menjadi spesialisasinya—pada Kiai Abdul Salam, seorang penghafal Al-Qur'an dan kitab-kitab fikih. Ilmu nahwu-saraf, tasawuf, tafsir, dan hadis pun dilahapnya.
Dalam artikel "Kiai Bisri Syansuri Menuntut Ilmu", Kendi Setiawan menyebut bahwa dari didikan Kiai Abdul Salam inilah karakter Bisri remaja terbentuk. Ia memang dikenal sebagai ulama yang disiplin dalam menjalankan aturan-aturan agama.
Setelah nyantri sebentar di Rembang, Bisri remaja lalu berkelana ke Madura. Ia berguru kepada gurunya ulama-ulama besar Jawa kala itu, Kiai Kholil, di Bangkalan. Kepada Kiai Kholil ia memperdalam ilmu fikih dan tasawuf.
“Selain berguru ilmu agama kepada KH Kholil Bangkalan, ia juga bertemu dengan KH Wahab Hasbullah, seorang santri asal Tambak Beras Jombang yang kemudian menjadi teman karib dalam menyebarkan agama Islam baik melalui partai maupun lembaga keagamaan,” tulis Kendi Setiawan.
Kedua sahabat ini lantas berguru pula kepada Kiai Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Masa enam tahun menimba ilmu di Tebuireng ini meluaskan jejaringnya. Di sinilah ia bertemu kawan-kawan santri yang di kemudian hari menjadi kiai-kiai besar.
Dari Pesantren Tebuireng, Bisri muda lantas melanjutkan kembara intelektualnya ke Makkah. Lagi-lagi ia berangkat bersama dengan Wahab. Pada 1912 mereka berangkat, pertama kali dengan niat ibadah haji. Usai berhaji, kedua karib ini lalu berguru selama dua tahun di bawah bimbingan beberapa ulama. Salah satu guru mereka adalah ulama terkenal Syaikh Khatib Minangkabau.
Greg Barton dalam dalam Biografi Gus Dur (2017) menyebut di Makkah pula Bisri muda menikah. Istrinya tak lain adalah adik kandung Wahab yang bernama Chadijah. Bisri memang tertarik dengan adik sahabatnya itu.
“Akhirnya, sebelum kembali ke Jombang, pasangan ini resmi menikah di Makkah. Setelah menikah, pasangan muda Bisri dan Chadijah beserta ibu Wahab kembali ke Jombang,” tulis Greg Barton (hlm. 31).
Dari perkawinan ini lahirlah Solichah yang di kelak menjadi istri Kiai Wahid Hasyim dan ibu dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kehidupan Kiai
Sepulang dari Makkah, Bisri menjadi pengajar di Pesantren Tambakberas, Jombang selama dua tahun. Pada 1917, Bisri mendirikan pesantrennya sendiri di Denanyar, di pinggiran kota Jombang. Ia menamainya Pesantren Mambaul Ma’arif.
Denanyar tambah bergeliat ketika pesantren Kiai Bisri berdiri. Dari sebuah desa tandus, daerah itu menjadi ramai dan lebih makmur. Di luar pengajaran agama Islam, Kiai Bisri juga mengembangkan pertanian untuk menghidupkan desa itu.
Greg Barton berkomentar dalam bukunya, “Kiai Bisri telah membuktikan dirinya bukan sekadar seorang ahli fiqih (yurisprudensi Islam), dan seorang administratur pendidikan yang berbakat, melainkan dia juga seorang ahli pertanian yang cakap. Pesantrennya di Denanyar terkenal oleh karena pendekatan yang teratur dan berdisiplin terhadap keilmuan dan kehidupan bersama” (hlm. 29).
Greg Barton juga menyebut bahwa Kiai Bisri, sejauh yang diketahui, adalah kiai pertama yang mendirikan pesantren khusus bagi santri perempuan. Pesantren putri itu didirikan pada 1930. Disebut Kendi Setiawan dalam "Perjuangan Kiai Bisri Membangun Pesantren Mambaul Ma’arif", Kiai Bisri mulanya membangun empat kelas untuk santri putri. Namun, penerimaan masyarakat tak begitu positif pada mulanya. Meski begitu ia tetap pada rencananya.
Nama Kiai Bisri Syansuri barangkali tak seterkenal Kiai Hasyim Asy’ari yang digelari Hadratussyaikh atau Kiai Wahab yang tajam naluri politiknya. Namun, perannya dalam organisasi-organisasi embrio NU tak kalah penting.
Seperti disebut Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama (2009), kiprah pertama Kiai Bisri adalah dalam madrasah Nahdlatul Wathan yang berdiri pada 1916. Kiai Bisri ikut pula menjadi pengajar di madrasah yang dikelola dengan sistem modern itu. Ia juga ikut bergabung dalam Tashwirul Afkar, suatu kelompok diskusi keislaman di Surabaya yang juga dimotori Kiai Wahab (hlm. 29).
Di Panggung Nasional
Aktivitas Kiai Bisri Syansuri meningkat ke aras nasional selepas kemerdekaan. Kendi Setiawan dalam "Cara Kiai Bisri Syansuri Menghadapi Penjajah Jepang" menyebut bahwa pada 1946 ia ikut ditunjuk menjadi anggota Komite Nasional Indonesia (KNIP). Kala itu ia mewakili Masyumi, di mana NU bernaung di dalamnya.
Kiai Bisri juga ambil bagian dalam revolusi dengan menjadi wakil ketua Markas Oelama Jawa Timur (MODT) pada 1947. Tak lama lembaga ini bubar dan Kiai Bisri ikut dalam Markas Barisan Hizbullah Sabilillah (MBHS). Tak tanggung-tanggung, di usianya yang kala itu menginjak kepala lima, Kiai Bisri menerima tanggung jawab sebagai ketua MBHS. Selama masa-masa perang, Kiai Bisri banyak berperan sebagai penghubung laskar. Kiprah Kiai Bisri berlanjut di Dewan Konstituante pada 1955 hingga dibubarkan pada 1959.
Di panggung nasional, Kiai Bisri termasuk kiai NU yang sangat kuat berpegang pada fikih. Ini berbeda dengan karibnya, Kiai Wahab, atau ketua Tanfidziyah NU 1950-an, Idham Chalid, yang cenderung luwes.
“Berlainan dengan Wahab dan pengikutnya, Idham Chalid, Bisri Syansuri tidak percaya akan pendekatan ‘pragmatik’ terhadap politik. Sebagaimana kebanyakan ulama NU, ia enggan terlibat dalam konfrontasi dengan pemerintah, tetapi berlainan juga dengan banyak politisi NU, ia tidak mau surut dalam hal-hal prinsip,” tulis Greg Barton dalam bukunya (hlm. 128).
Keteguhan itu terlihat, misalnya, ketika ia menentang pembubaran DPR hasil pemilu 1955 pada 1960. Sebagai gantinya, Presiden Sukarno lalu membentuk DPR Gotong Royong. Idham Chalid sebagai wakil NU kala itu menyetujui ide Sukarno itu. Begitu juga dengan Kiai Wahab.
Tak seperti sahabatnya, Kiai Bisri tegas menolak pembentukan DPR-GR. Ia bertumpu pada argumentasi fikih bahwa DPR-GR itu adalah ghosob—perampasan hak orang lain. Secara fikih, Kiai Bisri menyebut Sukarno telah merampas hak pemilih dan anggota DPR yang dipecat.
Menurut Kiai Bisri, seperti disebut Greg Fealy dalam bukunya (hlm. 278), “Jika NU menerima posisi dalam DPR-GR, ini berarti NU telah membiarkan, bahkan ikut mengambil keuntungan dari tindakan yang melanggar hukum.”
Meski begitu, kesetiaannya pada NU tak perlu diragukan. Itu ditunjukkannya ketika menjabat Rais Aam NU, menggantikan Kiai Wahab yang meninggal pada 1971. Untuk ini ia tak segan berpolemik dengan pemerintah kala RUU perkawinan yang sekuler diajukan.
Ketika NU masuk dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kiai Bisri diangkat sebagai ketua Dewan Syuriah-nya. Menurut Greg Barton, atas perannyalah PPP mendulang suara cukup besar pada Pemilu 1977. Ia juga berusaha menghentikan “Golkarisasi” kiai-kiai NU kala itu.
“Kiai Bisri bahkan mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa adalah sebuah kewajiban agama bagi semua muslim untuk memberikan suaranya kepada PPP. Partai ini mengikuti Pemilu 1977 dengan cukup baik. Bahkan di ibu kota Jakarta, PPP mengatasi Golkar (43,5 persen dibanding 39,3 persen perolehan Golkar),” tulis Greg Barton (hlm. 129)
Jejak langkah Kiai Bisri terhenti karena usia. Kondisi kesehatannya terus menurun sejak akhir 1970-an. Pada 25 April 1980, tepat hari ini 40 tahun lalu, ia mengembuskan napas terakhir dan dimakamkan di Jombang.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 14 November 2018 dengan judul "Mengenal Kiai Bisri Syansuri yang Makamnya Dilangkahi Sandiaga Uno". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan