tirto.id - Sebelum Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) berdiri pada 1926, sudah ada beberapa organisasi di Nusantara yang menggunakan nama senada. Ada Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Bangsa), Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Pedagang), sampai dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran).
Nama-nama organisasi yang memuat kata "nahdlatul" di atas semuanya lahir di Jawa Timur. Otaknya juga sama: seorang kiai kharismatik bernama K.H. Wahab Chasbullah, salah seorang tokoh generasi pertama NU. Seseorang yang, oleh Martin van Brulnessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994: 34), dianggap sebagai tokoh utama di balik berdirinya NU sebagai organisasi Islam besar di Nusantara sampai saat ini.
Setelah nyantri selama empat tahun di Pesantren Tebuireng, pada 1908 Kiai Hasyim memerintahkan Kiai Wahab untuk belajar ke Mekah. Pada tahun berdirinya Budi Utomo itulah Kiai Wahab akhirnya berangkat ke Mekah.
Sejak muda, Kiai Wahab adalah—dalam bahasa Van Bruinessen—“pengorganisir yang bersemangat”. Hal ini terlihat saat Kiai Wahab menetap di Mekah dan mendengar bahwa di Jawa berdiri Serikat Islam dan Muhammadiyah pada 1912. Bersama Ajengan Abdul Halim, Ajengan Ahmad Sanusi, dan Kiai Mas Mansur, Kiai Wahab kemudian mendirikan Syarikat Islam Cabang Mekah (Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi, 2010: 98)
Begitu pulang ke tanah air pada 1914, Kiai Wahab menetap di Surabaya dan aktif di Serikat Islam. Dua tahun kemudian, bersama Kiai Mas Mansur, kawannya yang juga telah kembali setelah mengentaskan pendidikannya di Al-Azhar, Kairo, mendirikan Nahdlatul Wathan.
Bagi Anda yang mengetahui bahwa Nahdlatul Wathan merupakan organisasi masyarakat di Lombok, Nusa Tenggara Timur, dan didirikan oleh Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, tentu saja akan mengenyitkan dahi ketika membaca paragraf di atas.
Di Lombok, Nahdlatul Wathan sangatlah berpengaruh, termasuk dalam jumlah massa. Tidak heran jika banyak yang rancu membedakan keduanya, sehingga dari sanalah muncul salah tafsir dan menganggap bahwa Nahdlatul Wathan di Lombok adalah cikal bakal berdirinya NU. Padahal keduanya berbeda.
Untuk memudahkannya, kita bisa membaginya menjadi dua versi Nahdlatul Wathan.
Yang pertama adalah yang didirikan oleh Kiai Wahab bersama Kiai Mas Mansur di Surabaya pada 1916. Ini adalah sekolah Islam yang memiliki corak berbeda dengan madrasah di pesantren-pesantren pada umumnya pada era itu. Bisa dibilang Nahdlatul Wathan yang ini merupakan sebuah lembaga pendidikan agamis yang bercorak nasionalis moderat pertama di Nusantara. (Van Burlnessen, 1994: 35)
Selain Nahdlatul Wathan, Kiai Wahab juga banyak mendirikan “organisasi” dengan nama-nama yang hampir mirip. Seperti Sjubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) atau pada 1918 mendirikan koperasi pedagang (yang kebanyakan juga anggotanya adalah kiai) dengan nama Nahdlatul Tujjar.
Dari sinilah kerancuan anggapan bahwa Nahdlatul Wathan sebagai cikal bakal Nahdlatul Ulama kemudian muncul. Pada 1924, Kiai Wahab mengusulkan kepada Kiai Hasyim bahwa perlu dibuat semacam organisasi ulama untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan lembaga pendidikan seperti pesantren di Jawa, khususnya di Jawa Timur.
Munculnya ide itu dari Kiai Wahab bisa dimaklumi. Sebelum ada konsep Bahtsul Masail yang kita kenal saat ini, Kiai Wahab sudah punya Tashwirul Afkar sejak 1919. Tashwirul Afkar adalah organisasi yang rutin mengadakan diskusi tentang seputar masalah-masalah agama dengan beberapa ulama tradisional di Surabaya.
Aktivitas Kiai Wahab itulah yang membaut Sarekat Islam punya dua tokoh yang sama-sama mumuni di Surabaya. Pada 1920-an itu, Serikat Islam punya Tjokroaminoto dengan aktivitas politik di satu kaki, dan Kiai Wahab dengan Nahdlatul Wathan dan kelompok Tashwirul Afkar di kaki yang lain. (Van Burlnessen, 1994: 36)
Sampai kemudian, setelah terjadi perdebatan yang keras dengan beberapa kiai di Jawa, ide dari Kiai Wahab yang belum pernah ada sebelumnya ini pun diterima oleh Kiai Hasyim. Persetujuan yang muncul dari Kiai Hasyim juga didasari peralihan kekuasaan di Mekah. Ibnu Saud mengambilalih kekuasaan dan situasi itu dicemaskan akan berdampak pada praktik peribadatan umat Islam di Nusantara karena corak ideologi Ibnu Saud yang puritan.
Kekhawatiran itulah yang tercermin dari tulisan Kiai Hasyim dalam pembukaan Anggaran Dasar organisasi para ulama itu. Sebuah pembukaan yang berisi bahwa pembentukan organisasi ulama untuk membela agama Islam merupakan konsekuensi logis dan perlu untuk mempersiapkan diri dari perubahan kekuasaan di Mekah. Sebuah risalah yang kemudian melahirkan Nahdlatul Ulama, atau Kebangkitan Ulama, pada 1926.
Nahdlatul Wathan di Lombok
Jika Kiai Wahab mendirikan Nahdlatul Wathan di Surabaya sebagai bagian dari reformasi pendidikan di kalangan pesantren (salah satunya dengan meninggalkan sistem patron kiai sebagai pengasuh, dan mengubahnya menjadi model yayasan), maka di Lombok Nahdlatul Wathan didirikan sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan.
Nahdlatul Wathan di Lombok merupakan perwujudan dari sejarah penyebaran perkembangan Islam di Nusantara. Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat (Bandung, 1995: 112) menyebut bahwa salah satu media penyebaran Islam di Nusantara melalui ajaran tasawuf.
Ajaran tasawuf dianggap lebih mudah dicerna oleh masyarakat Nusantara. Dan salah satu lembaganya kemudian dikenal dengan istilah “tarekat”. Istilah itu berasal dari bahasa Arab, “thoriqoh” atau "jalan", atau secara kontekstual sebagai “jalan yang direstui Tuhan”. Perkumpulan tarekat ini pun muncul dalam lingkungan Islam tradisional dengan mengamalkan zikir-zikir tertentu dan menyampaikan suatu sumpah (bai’at) yang formulanya telah ditentukan oleh pemimpin atau pengasuh kelompok tersebut. (Zamakhsaru Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta, 1990: 135)
Organisasi-organisasi tarekat muncul dan berkembang sejak abad ke-9. Organisasi tarekat paling awal yang tercatat di Nusantara adalah Tarekat Suhrawardiyah yang didirikan oleh Abdul Qahir Abu Najib as-Suhrawardi (Dimensi Mistik Islam, Jakarta, 2000: 310). Di era yang sama, berdiri pula Tarekat Qodariyan yang didirikan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (1088-1166) di Baghdad, Irak.
Di Nusantara lalu muncul tarekat-tarekat sejenis yang berafiliasi dengan tarekat di Timur Tengah dan sekitarnya. Ada Naqsyabandiyyah, Khalwatiyah, Tijaniyah, Syattariyah, dan Sammaniyah. Meski begitu, bermunculan pula tarekat-tarekat di tingkat lokal.
Van Bruinessen (1995: 142-143) mencatat beberapa tarekat lokal di Nusantara, seperti Tarekat Akmaliyah di Kawasan Cirebon-Banyumas, Shiddiqiyah, dan Wahidiyah di Jawa Timur. Termasuk juga Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan yang diasuh TGKH. Abdul Madjid di Lombok.
Meskipun secara keorganisasian tarekat ini baru resmi berdiri sejak 1964, namun secara kelembagaan dan pengaruh komunal, Nahdlatul Wathan di Lombok usianya lebih tua dari itu. Dalam Biografi TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid oleh Shahibul Ahyan disebutkan bahwa TGKH. Abdul Madjid telah mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah pada 1937, 21 tahun setelah Kiai Wahab mendirikan Nahdlatul Wathan di Surabaya.
Yang perlu diperhatikan adalah keduanya tidak punya kaitan sebagai organisasi. Artinya, memang secara kebetulan saja kedua nama ini sama, meskipun TGKH. Abdul Madjid pernah menjabat sebagai konsulat Nahdlatul Ulama pada 1950.
Sama halnya dengan sistem pendidikan Nahdlatul Wathan versi Kiai Wahab yang lebih reformis, Nahdlatul Wathan TGKH. Abdul Madjid juga memiliki semangat yang sama. TGKH. Abdul Madjid mengubah sistem halaqah, sistem pendidikan tradisional yang tidak mengenal kelas di Lombok, dengan menggunakan sistem yang diperolehnya dari Madrasah al-Shaulatiyah Mekah yang lebih modern. Setelah mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah yang dikhususkan untuk santri putra, TGKH. Abdul Madjid lalu mendirikan Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah yang dikhususkan untuk santri putri.
- Baca juga: Pesantren Modern Salaf dan Istilah Salafi
Keduanya kemudian dikenal sebagai lembaga yang menanamkan nilai-nilai cinta tanah air kepada santri-santrinya, mengajarkan pentingnya berdiri sebagai bangsa yang mandiri dan bebas dari tindasan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada perkembangannya, kemudian muncul gerakan Al-Mujahiddin yang dikomando langsung oleh TGKH. Abdul Madjid.
Pada 1 Maret 1953 di Pancor, Lombok Timur, akhirnya didirikan Nahdlatul Wathan (11 tahun kemudian barulah berdiri tarekatnya). Nama yang tidak hanya menjadikan nama TGKH. Abdul Madjid menjadi begitu tersohor, melainkan juga kadang memicu kesalahpahaman bahwa Nahdlatul Wathan yang masih eksis dan dikenal sampai saat ini adalah yang di Lombok, bukan Nahdlatul Wathan milik Kiai Wahab yang merupakan cikal bakal Nahdlatul Ulama.
Ini bukan perbandingan. Kedua organisasi, juga tokoh-tokohnya, pernah memainkan peran masing-masig dalam sejarah umat Islam di tanah air, dengan cara sendiri-sendiri dan di wilayah masing-masing. Keduanya adalah cerita baik dari masa silam, seperti yang pernah dikatakan TGKH. Abdul Madjid:
“Setiap orang akan menjadi cerita bagi generasi setelahnya, maka jadikanlah dirimu cerita yang baik bagi orang-orang yang memahami sejarah,” pesan Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. (M. Noor dkk, 2004: vii)
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS