Menuju konten utama
Daffy al-Jugjawy

Saat Seorang Anak Petani Bertamu ke Rumah KH Hasyim Asy'ari

Tak banyak kesaksian orang yang pernah bertemu dengan KH. Hasyim Asy’ari atau KH. Wahid Hasyim bisa diwariskan dengan dokumentasi yang baik. Beruntung, KH. Saifuddin Zuhri dalam otobiografinya menulis cukup detail bagaimana pengalamannya bertemu dengan kedua tokoh besar Nahdlatul Ulama itu di Pondok Pesantren Tebuireng.

Saat Seorang Anak Petani Bertamu ke Rumah KH Hasyim Asy'ari
Hasyim Asy'ari. FOTO/Istimewa

tirto.id - Kereta merapat di stasiun Jombang. Situasi stasiun tak terlalu ramai. Eropa tengah tergoncang tahun pertama Perang Dunia Kedua. Proklamasi kemerdekaan Indonesia masih enam tahun lagi. Keadaan Jombang baik-baik saja. Tenang dan normal.

Anggota aktif Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah itu keluar dari gerbong kereta. Pandangannya mengitari area stasiun, mencari seseorang. Seseorang dari Tebuireng yang dalam surat akan menjemputnya. Ditelusuri dengan pandangannya, orang yang dimaksud ternyata ada.

Seorang pemuda. Kulitnya putih, wajahnya tampan. Tubuhnya padat berisi dan sedikit pendek. Sangat sulit menilai jika orang yang menjemputnya ini adalah seorang santri—atau dulunya seorang santri. Pakaiannya tidak mencerminkan itu. Tidak mengenakan sarung dan blangkon. Tetapi peci putih ala Jawaharlal Nehru dan celana panjang. Tampilan yang terlalu modis dan modern tentu saja pada era itu.

“Ahlan wa sahlan, marhaban… ahlan.. ahlan,kata sambutan meluncur sambil menjabat tangan erat. Si tamu tidak kalah ramah menyalaminya.

Keduanya baru kali itu bertemu setelah hanya bertegur sapa lewat surat. Sudah barang tentu keduanya menyebutkan nama masing-masing. Basa-basi memperkenalkan diri sekalipun sudah tahu sama tahu.

“Saifuddin Zuhri,” kata si tamu sambil terus menjabat.

Orang yang menyalami membalas, “Wahid Hasyim.”

Iya, dia KH. Wahid Hasyim, ayah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Zuhri lantas diantarkan Wahid keluar dari stasiun. Lengan Zuhri dipegang begitu erat, seolah Wahid takut Zuhri akan melarikan diri. Tangan Wahid yang lain menjinjing koper Zuhri. Keduanya langsung menuju jalanan depan stasiun. Di sana sudah menunggu delman milik Wahid. Setelah naik dan memastikan tidak ada yang tertinggal, keduanya menuju Pondok Pesantren Tebuireng.

Sepanjang perjalanan, Wahid bercerita banyak sekali kisah lucu di pesantren. Zuhri mendengarnya dengan antusias dan bisa mengikis rasa letih dalam perjalanan.

“Suasana jadi akrab sekali, seakan-akan kami dua orang sahabat yang telah lama berkenalan,” tulis Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2007: 140).

Sayangnya, cerita yang mengasyikkan dari Wahid ini tidak masuk semuanya ke pikiran Zuhri. Ada perasaan sungkan dan minder karena di hadapannya disadari benar adalah orang besar. Meskipun orang di hadapannya itu baru berusia sekitar 25 tahun, selisih sekitar 5 tahun lebih tua dari Zuhri, tetapi Zuhri sadar bahwa “Gus” yang jadi teman bicaranya adalah anak dari seorang kiai paling dihormati di tanah Jawa. Itu membuat Zuhri tidak bisa sepenuhnya menikmati percakapan.

“Dalam fantasiku, orang besar mestilah memperlihatkan mahal senyum. Kalau bicara dihemat. Perhatiannya dipusatkan kepada dirinya bukan kepada yang diajak bicara,” terang Zuhri. “Tapi orang yang satu ini tidak demikian. Pusat perhatiannya ditujukan kepadaku, orang kecil.”

Entah mimpi apa Zuhri sebelumnya, hari itu ia satu delman dengan orang yang diam-diam ia kagumi.

Mendekati Pesantren Tebuireng, dalam hati penuh syukur, Zuhri bisa diberi kesempatan mengunjungi salah satu pesantren yang termasyhur ini.

Begitu sampai, Wahid Hasyim menganjurkan Zuhri untuk istirahat sejenak, “Minumlah dulu, nanti aku antarkan menghadap Hadratus Syaikh.”

Yang dimaksud tentu saja sang ayah, KH. Hasyim Asya’ari. Mendengar akan menghadap Maha Guru, suasana hati Zuhri bercampur antara girang dan tegang. Gembira sekaligus takut. Orang yang akan jadi legenda itu akan ia temui langsung dan berhadap-hadapan. Sudah barang tentu merasa terhormat sekali Zuhri jadinya.

Zuhri mengakui untuk orang yang baru pertama kali bertemu dengan Hadratus Syaikh, akan ada pancaran wibawa yang membuat sedikit tertekan siapa pun yang bertamu.

“Ketika aku memberikan salam, beliau sedang duduk di atas permadani yang memenuhi ruangan tamu yang luas,” terang Zuhri.

Berbeda dengan putranya yang terlihat “modern”, Hadratus Syaikh masih setia dengan baju “Jawa”. Pakaian yang dikenakan terlihat seperti piyama yang tak berkerah. Berwarna putih kain katun, mengenakan sarung dan sorban. Saat Zuhri menghadap, Hadratus Syaikh sedang membaca sebuah surat.

“Aku heran sekali, melihat seorang tua yang usianya lebih dari 70 tahun masih dapat membaca tanpa kaca mata,” tulis Zuhri dalam otobiografinya.

Wahid Hasyim pun mendekat. Memperkenalkan Zuhri kepada ayahnya. Lalu keduanya terlibat pembicaraan menggunakan bahasa Arab yang bercampur bahasa Jawa. Sesekali Wahid menjawab pertanyaan Hadratus Syaikh dengan bahasa Jawa halus. Tentu bukan karena tidak mampu menjawab dengan bahasa Arab, tapi karena rasa hormat kepada orang tua sudah menjadi gerak refleks bicara Wahid.

“Tapi setelah KH. Wahid Hasyim memberitahu bahwa aku dari kalangan Pemuda Ansor, Hadratus Syaikh kontan menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan denganku,” terang Zuhri.

Meski begitu, sesekali Hadratus Syaikh juga menanyai Zuhri dengan bahasa Arab. Zuhri pun menjawabnya dengan bahasa Indonesia, mengikuti cara Wahid yang juga sesekali menjawab percakapan itu dengan bahasa Jawa halus. Artinya, dalam pembicaraan tiga orang itu, ada tiga bahasa yang digunakan oleh masing-masing. Bahasa Arab oleh Kiai Hasyim, Bahasa Indonesia oleh Zuhri, dan Bahasa Jawa halus oleh Wahid Hasyim.

Infografik Guruku Temanku Hikmah Ramadan

Percakapan itu pun jadi panjang. Hadratus Syaikh memberitahu Zuhri bahwa surat yang tadi dibacanya adalah dari seorang ulama terkenal di Jawa Tengah. “Sudah aku anggap sebagai guruku,” kata Kiai Hasyim kepada Zuhri.

Zuhri tahu sifat Kiai Hasyim, salah satunya selalu memandang ulama seangkatannya sebagai guru. Bahkan kepada teman sesama ulama yang berbeda pendapat.

Surat di tangan Kiai Hasyim adalah pernyataan kiai yang—dalam bahasa Kiai Hasyim—“memarahinya” karena berbeda pendapat. Saat itu sedang ada perbedaan pendapat antara kiai tentang hukum terompet dan genderang yang akan digunakan oleh Gerakan Ansor kala baris-berbaris melakukan pawai.

Sebagian kiai membolehkan, sebagian lagi mengharamkan. Dan Kiai Hasyim adalah salah satu yang berada dalam kelompok yang membolehkan. Bagi Kiai Hasyim, penggunaan terompet dan genderang adalah salah satu bentuk identifikasi diri yang menyatakan berbeda dengan pihak Pemerintah Kolonial Belanda.

Pada akhirnya, Kiai Hasyim menyatakan akan sowan ke kiai yang berbeda pandangan dengannya. Dan dalam bahasa Kiai Hasyim, “akan menginsafkan para guru-guruku.” Tentu saja Wahid Hasyim dan Saifuddin Zuhri hanya menunduk tak ingin ikut campur urusan tersebut.

Padahal semua ulama di Jawa juga tahu, ketika masuk bulan Ramadan, Kiai Hasyim akan punya kelas khusus membaca kitab Al-Bukhari. Dan kiai dari seluruh pelosok Nusantara akan datang ke Tebuireng untuk mendengarkannya. (Salah satu kisahnya adalah kedatangan Kiai Kholil Bangkalan, guru Kiai Hasyim sendiri yang ingin berguru ke Tebuireng)

Mengapa banyak kiai yang ingin berguru kepada Kiai Hasyim?

Sebab, ketika kajian kitab Al-Bukhari tersebut, berbeda dengan siapa pun di Nusantara, jika Kiai Hasyim yang melakukan kajian, terdengar “seolah-olah sedang membaca kitab karangannya sendiri.” Sebuah ungkapan yang menunjukkan penguasaan luar biasa dari Kiai Hasyim soal ilmu tafsir hadis.

Sikap rendah hati Kiai Hasyim dengan selalu menganggap orang lain merupakan guru dan mendatangi siapa pun yang bertentangan dengannya semakin ditegaskan pada 1935.

Saat Pemerintah Kolonial Belanda hendak menganugerahkan bintang kehormatan kepada Kiai Hasyim karena Belanda sadar akan cakupan pengaruhnya (terutama di Jawa Timur), jawaban Hadratus Syaikh terang menolak dengan berkata:

“Aku takut pada diriku sendiri akan datangnya rasa ujub dan takabur.”

==========

KH. Saifuddin Zuhri adalah Menteri Agama Indonesia ke-10 pada masa Presiden Sukarno, ayah dari menteri agama sekarang Lukman Hakim Saifuddin. Ia Aktif di Gerakan Pemuda Ansor sejak 1939. Menjadi komandan Divisi Hizbullah Jawa Tengah dan salah satu tentaranya adalah Kolonel Soedirman pada peristiwa “Palagan Ambarawa” Oktober-Desember 1945.

Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang memuat kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagian lagi termuat dalam buku/kitab-kitab. Ia dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.

Baca juga artikel terkait DAFFY AL-JUGJAWY atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi