Menuju konten utama

Mengenal Helicopter Parenting dan Apa Dampaknya Bagi Anak?

Mengenal apa itu helicopter parenting dan bagaimana dampaknya bagi anak?

Mengenal Helicopter Parenting dan Apa Dampaknya Bagi Anak?
Ilustrasi Helicopter Parenting. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Setiap orang tua memiliki pola asuhnya masing-masing terhadap anaknya. Wajar saja jika orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya.

Namun, jika orang tua terus menerus mengawasi anaknya, sampai-sampai si anak tidak bisa bersosialisasi dengan teman-teman seumuran dan lingkungannya, ini bisa jadi preseden buruk bagi si anak sendiri.

Menurut studi pada 2018 oleh American Psychological Association yang dikutip dari Health Essentials, orang tua yang terlalu mengontrol anaknya terutama pada usia 2 tahunan, akan membuat emosi dan tingkah laku anak tidak stabil ketika anak berusia 5 tahun.

Akibatnya, ketika menginjak usia 10 tahun, si anak bisa mengalami masalah-masalah emosi. Anak ini biasanya juga tidak akan terlalu berhasil di sekolah.

Kalau sudah seperti ini, jangan-jangan orang tua, atau mungkin Anda, telah mengaplikasikan helicopter parenting kepada anak Anda. Berikut adalah penjelasan singkatnya tentang tipe parenting ini.

Pengertian Helicopter Parenting

Menurut Very Well Family, helicopter parenting itu merujuk pada pola asuh yang terlalu protektif dan sangat terlibat dalam banyak segi kehidupan si anak. Terutama ketika si anak berada dalam kondisi, yang dianggap bisa merugikan kesejahteraan si anak.

Kalau diibaratkan, orang tua dalam pola asuh ini seperti sebuah helikopter yang terus melayang-layang pada satu tempat di udara atau menunggui dekat objek, dalam konteks ini, objek adalah si anak yang diasuh.

Dilansir dari Web MD, helicopter parenting ini pertama kali digunakan dalam buku Haim Ginot yang terbit 1969 berjudul Parents & Teenagers.

Dalam buku ini, Ginot berbicara kepada seorang remaja yang membandingkan ibunya dengan sebuah helikopter.

Remaja ini mengatakan, kalau ia lelah dengan suara ribut dan udara panas yang dibuat oleh ibunya, sama seperti ketika sebuah helikopter melayang-layang di udara.

Orang tua dengan pola asuh helikopter biasanya akan menjadwalkan begitu banyak aktivitas pada anaknya yang mulai tumbuh besar.

Untuk anak-anak usia SMA, orang tua akan memonitor nilai dengan sangat ketat, serta akan sangat terlibat ketika si anak nilainya tidak memuaskan.

Sementara untuk anak yang sudah kuliah, orang tua "helikopter" biasanya akan sangat terlibat dalam kehidupan kampus si anak. Seperti pemilihan jurusan, bahkan terlibat dalam akitivitas keseharian.

Menurut Michelle M. Reynolds, seorang psikolog klinis dan pendiri LifeCatalyst: Therapy and Coaching, yang dikutip dari Very Well Family, orang tua helikopter memang akan sangat terlalu protektif dan terus menerus khawatir dengan anak-anak mereka.

Orang tua semacam ini akan mengatur hal-hal kecil dan mengintervensi terus-menerus, supaya segala sesuatu bisa berjalan secara mulus buat anak mereka.

Dampak Helicopter Parenting Bagi Anak

Walaupun tidak semuanya berakibat buruk, misalnya, dengan pola asuh semacam ini relasi antara orang tua dan anak bisa jadi sangat dekat.

Orang tua juga jadi tahu apa saja yang terjadi pada kehidupan si anak, termasuk terlibat di dalamya. Namun, pola asuh helikopter ini, ternyata lebih banyak berdampak buruk, ketimbang dampak positif.

Dilansir dari Web MD, beberapa dampak buruk yang bisa terjadi akibat pola asuh helikopter adalah:

1. Perkembangan sosial dan akademik yang lambat

Menurut studi yang dilakukan terhadap anak umur 2 hingga 10 tahun, terbukti bahwa orang tua yang terlalu controlling, akan membesarkan anak-anak yang sulit untuk mengatur emosi dan tingkah laku. Anak-anak ini juga tidak memiliki social skills yang baik, termasuk tidak akan terlalu berhasil ketika di sekolah.

2. Masalah kesehatan mental

Orang tua yang terlalu mengawasi dan mengatur anaknya akan menciptakan anak-anak dengan kepercayaan diri yang rendah.

Anak-anak ini akan merasa kalau orang tua mereka, termasuk mereka sendiri, tidak percaya kalau mereka bisa melakukan segala sesuatu secara mandiri.

Selain itu, ketika mereka sudah menjadi mahasiswa, anak-anak dengan pola asuh helikopter akan lebih mudah mengalami depresi, dan kecemasan berlebihan.

3. Burnout

Anak yang dibesarkan dengan pola asuh helikopter akan mudah mengalami kelelahan akademis, atau academic burnout, dibanding teman-temannya, karena mereka takut orang tuanya akan marah kalau mereka gagal dalam bidang akademik.

4. Kurang Kontrol Diri

Anak yang dibesarkan dengan pola asuh helikopter biasanya akan sulit menerima kenyataan, dan sulit untuk mengatasi masalah atau mengatasi stress ketika mereka menghadapi kenyataan hidup yang sulit.

Anak-anak semacam ini, akan mengalami kesulitan untuk mengontrol diri, termasuk emosi, ketika mereka masuk dalam fase kedewasaan.

Biasanya mereka akan menganggap fase dewasa adalah fase yang melelahkan. Mereka tidak tahu caranya, dan tidak mau menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi.

Poinnya adalah, bukan berarti orang tua tidak boleh khawatir atau terlibat dalam hidup anak-anak mereka.

Yang penting adalah, keseimbangan, atau porsi yang pas. Jadi, orang tua harus tetap terlibat, namun juga tetap memberikan ruang sebesar-besarnya kepada anak untuk bertumbuh dewasa dan menyelesaikan masalah mereka secara mandiri.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Lucia Dianawuri

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Lucia Dianawuri
Penulis: Lucia Dianawuri
Editor: Yandri Daniel Damaledo