tirto.id - Sedari siang di hari pencoblosan 17 April 2019, foto hasil pemilihan presiden di beberapa TPS di Langowan sudah beredar lewat WhatsApp. Di TPS 01 Desa Karumenga, Kecamatan Langowan Timur, Kabupaten Minahasa, pasangan calon 01 (Jokowi-Ma’ruf Amin) mendapat 230 suara dan pasangan calon 02 (Prabowo-Sandiaga) hanya dapat 7 suara. Dengan 3 suara tidak sah.
Sementara itu di TPS 04 Desa Walewangko, Langowan Barat paslon 01 mendapat 220 suara dan paslon 02 mendapat 9 suara. Dengan 4 suara tidak sah. Di TPS 03 Desa Paslaten, masih di Langowan Barat, paslon 01 mendapat 181 suara dan paslon 02 memperoleh 19 suara. Dengan 2 suara tidak sah.
Kampung-kampung itu tidaklah jauh dari Desa Wolaang. Di desa itu terdapat makam Benjamin Thomas Sigar dan keluarga Sigar lainnya. Mereka satu darah dengan Prabowo Subianto. Dora Marie, ibunda Prabowo, berasal dari marga Sigar. Leluhur Prabowo memang orang terpandang di Langowan pada masa lalu. Salah satu rumah keluarga Sigar berada tidak jauh dari Tugu Schwarz.
Pada Pilpres 2014 Prabowo, yang maju bersama Hatta Rajasa, tidak berjaya di Sulawesi Utara. Prabowo kalah tipis di sana. Jokowi menang 53,88 persen (724.553 suara), sementara Prabowo meraih 46,12 persen suara (620.095 suara).
Sebulan jelang Pilpres 2019, Prabowo pernah mengaku, "Dalam darah saya mengalir darah Minahasa.” Itu baru soal suku. Soal agama, kepada rakyat Minahasa, Prabowo bilang, “Saya lahir dari ibu Kristen, mana mungkin saya mendukung Islam radikal?"
Tapi omongan itu tak membuat perolehan suaranya di Sulawesi Utara, bahkan di Kabupaten Minahasa khususnya, menjadi lebih baik.
Berdasarkan hasil hitung suara Pilpres 2019 yang masuk ke KPU hingga hari ini (11/5/2019) pukul 10:30 WIB, pasangan Prabowo-Sandiaga Uno mendapat 321.591 suara di Sulawesi Utara, yang 61 persen warganya penganut Kristen. Sementara lawannya, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin, memperoleh 1.088.891 suara. Jokowi yang tidak punya darah Minahasa malah berjaya dan Prabowo merosot tajam.
Lebih menyakitkan lagi, kabupaten leluhurnya bukan penyumbang suara terbesar untuknya. Di Kabupaten Minahasa, di mana umat Kristen persentasenya lebih dari 84 persen, Prabowo-Sandiaga cuma dapat 21.305 suara, dan Jokowi-Ma'ruf Amin malah dapat 192.834 suara.
Merinci per kecamatan di Minahasa, Prabowo-Sandiaga tidak satu pun unggul. Bahkan di kecamatan yang terdapat kampung nenek moyangnya, Langowan Timur, pasangan calon itu cuma dapat dapat 1.063 suara. Sementara Jokowi-Ma'ruf Amin menanggok 7.486 suara.
Di Desa Wolaang, di mana terdapat makam Benjamin Thomas Sigar, leluhurnya yang ikut melumpuhkan Diponegoro, Prabowo-Sandiaga hanya mendapatkan 110 suara. Sementara Jokowi-Ma'ruf Amin memperoleh 1.239 suara.
Rupanya, di daerah yang terkait dengan sejarah keluarga Prabowo, Jokowi malah bisa menang telak. Tak hanya itu, penurunan jumlah suara Prabowo juga sangat besar di daerah Minahasa dibandingkan Pilpres 2014.
Gara-Gara Politik Identitas
Antropolog Nono S. A. Sumampouw, yang tinggal di Manado dan telah merilis buku Menjadi Manado: torang samua basudara, sabla aer, dan pembentukan identitas sosial (2015), ikut mengamati Pilpres 2019 ini. Menurut Nono, Jokowi menang di daerah Minahasa yang Kristen. Sementara Prabowo bisa mendapat suara lebih banyak di daerah seperti Bolaang Mangondow yang punya basis Islam Sulawesi Selatan. Ada kecenderungan di daerah dengan basis Islam itu menganggap Minahasa sebagai “saingan”. Nono sejak hari pertama Pilpres sudah meyakini Jokowi-Ma'ruf Amin akan menang di daerah Minahasa.
Bukan hanya Nono. Orang dari partai pendukung Prabowo-Sandiaga di Minahasa, yang enggan disebut namanya, setahun yang lalu sudah meramalkan kepada saya bahwa Prabowo tidak akan menang di Sulawesi Utara. Soal kenapa Prabowo sulit berjaya, kata orang itu, 212 jadi jawabannya.
Terkait rangkaian peristiwa yang sukses memenjarakan Ahok itu, orang-orang Minahasa memperhatikan dari jauh. “Manado-Minahasa adalah salah satu kota paling pertama dan antusias bikin lilin untuk Ahok,” kata Nono ketika saya hubungi, Kamis (2/5/2019). Diperlakukannya Ahok secara berlebihan cukup mengganggu banyak orang Minahasa.
Kedekatan Prabowo Subianto dengan kelompok Islam yang dianggap garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) pimpinan Rizieq Shihab atau Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang mencita-citakan negara Islam ala khilafah, juga menjadi masalah besar di mata banyak orang Sulawesi Utara. Betapapun harus diakui, dominasi kelompok Islam macam itu merupakan kengerian tersendiri bagi sebagian orang. Bahkan bagi banyak orang Islam di Indonesia, apalagi bagi orang Kristen Minahasa.
Pernyataan Prabowo Subianto soal dirinya yang berdarah Minahasa dan terlahir dari ibu yang Kristen tampaknya tidak berpengaruh banyak di kampung halaman nenek moyangnya.
Sudahi Politik Identitas
Sementara itu, Jokowi, masih menurut Nono Sumampouw, “dilihat lebih bersahabat bagi mereka [orang Minahasa].” Orang-orang Minahasa, lanut Nono, adalah pendukung Pancasila yang sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mengaku atau tidak, kubu Prabowo-Sandiaga telah sukses menampilkan diri dengan politik identitas mereka. Prabowo diklaim sebagai calon presiden hasil dari Ijtima Ulama. Menurut Nono, dekatnya koalisi Prabowo dengan partai-partai yang membawa panji-panji Islam dianggap bisa mengancam kehidupan Pancasila dan bisa membuat Indonesia jatuh ke pelukan khilafah yang diinginkan kelompok Islam.
Memaksakan Pancasila pada agama tertentu nyaris menjadi masalah seperti di tahun 1945. Jika Pancasila diubah lagi seperti kemauan kelompok Islam agar sila pertama menyesuaikan syariat Islam, tentu akan membuat wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya non-Muslim, seperti Sulawesi Utara dan daerah Indonesia Timur lainnya, resah.
Kekalahan telak Prabowo di kampung nenek moyangnya ini seharusnya bisa menjadi pesan bagi siapa saja yang maju di pilpres berikutnya dan ingin merebut hati masyarakat Minahasa. Jika caranya masih seperti pada 2014 dan 2019, yaitu tetap memainkan politik identitas secara masif dan mencolok, maka ada beberapa wilayah yang mesti direlakan untuk diambil kandidat lain.
Kecuali daerah seperti Minahasa dan Sulawesi Utara, yang pemilihnya hanya 1 jutaan, tidak dianggap penting sebagai pendulang suara.
Editor: Ivan Aulia Ahsan