Menuju konten utama

Kisah Dora Sigar, Ibunda Prabowo Subianto

Pada debat capres, Prabowo Subianto menyatakan dirinya keturunan suku Jawa, Banyumas, dan Minahasa. Ibunya Dora Sigar adalah kelahiran Manado, Sulawesi Utara.

Kisah Dora Sigar, Ibunda Prabowo Subianto
Dora Marie Sigar. Instagram/@prabowo

tirto.id - Dalam debat capres keempat yang berlangsung Sabtu (30/3), Prabowo Subianto menyebut tentang keberagaman dalam keluarga besarnya. “Ibu saya seorang Nasrani, saya lahir dari rahimnya seorang Nasrani,” kata Prabowo Subianto dalam debat capres ke-4 di Jakarta, Sabtu 30 Maret 2019.

Ibunda Prabowo, Dora Marie Sigar, lahir di Manado pada 21 Oktober 1921. Namun, sejarah keluarga Dora Sigar tidak berawal di Kota Manado melainkan di Langowan, bagian selatan Kota Manado.

Sejarah keluarga Dora Sigar di Langowan berkaitan dengan makam Tawaijln Sigar alias Benyamin Thomas Sigar. Cerita yang beredar soal Tawaijln Sigar merupakan orang penting pada masanya. Ia adalah pemuka masyarakat, pernah jadi komandan pasukan Tulungan yang ikut melawan Diponegoro.

Lokasi makam Tawaijln Sigar tidak begitu jauh dari Sentrum—kota distrik Langowan, Minahasa, Sulawesi Utara.

Prabowo Subianto Djojohadikusumo bukan seseorang yang mengingkari sejarah keluarganya. Ia pernah berkunjung ke makam leluhurnya sejak muda, termasuk ke makam Benjamin Thomas Sigar—yang sohor sebagai salah satu penangkap Pangeran Diponegoro.

Ayah Dora adalah Phillip Frederik Laurens Sigar dan ibunya adalah Corneli Emilia Maengkom. Keduanya dari etnis Minahasa. Ayah dan ibu Dora berasal dari keluarga birokrat kolonial Minahasa.

Menurut Adrianus Kojongian, jurnalis senior sekaligus sejarawan Minahasa yang tinggal di Tomohon, seperti dicatat dalam blog pribadinya, Phillip Fredrik Laurens Sigar, yang kelahiran Langowan 17 Mei 1885 adalah anak dari J Alling dan Phillips Roeland Sigar. Ia memulai karier birokrat dengan magang di kantor keresidenan Manado dan pernah menjadi anggota Dewan Kota (Gemeenteeraad) Manado dan anggota Volksraad (Dewan Rakyat).

Pada masa pensiun, Phillip Fredrik Laurens Sigar menetap di Negeri Belanda, bersama anak-anaknya yang bersekolah di sana, Dora salah satunya. Dora pernah sekolah di Christelijk Hogare Burger School di Negeri Belanda. Suku Minahasa, tergolong orang-orang yang cukup peduli dengan pendidikan modern, untuk laki-laki atau perempuan, pendidikan haruslah cukup, termasuk orangtua dari Dora.

Tak banyak perempuan bersekolah hingga sekolah menengah di zaman Dora muda. Saudara-saudarinya adalah orang-orang berpendidikan dan menikahi orang-orang berpendidikan, di antaranya sarjana hukum.

Dora sudah berada di Negeri Belanda sejak berusia 12 tahun. Ia tentu merasakan zaman pendudukan Jerman di Negeri Belanda. Seperti dicatat Aristides Katoppo dkk dalam biografi Sumitro Djojohadikusumo, Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000:396), "orangtua Dora adalah ambtenaar (pejabat) kelas tinggi sehingga berstatus layaknya warga negara Belanda. Selama di Negeri Belanda, Dora belajar ilmu keperawatan pasca bedah di Utrecht. Dora adalah penganut Calvinis."

Perjumpaan pertama antara Dora dengan Sumitro Djojohadikoesoemo—ayah dari Prabowo—terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Indonesia Christen Jongeren (Mahasiswa Kristen Indonesia). Sumitro sendiri sempat mengenyam pendidikan di Nederlandse Economische Hogeschool, Rotterdam, Belanda.

Pada awalnya, mereka berdua biasa saja. Setelah acara itu, beberapa perjumpaan lain terjadi. Perjumpaan Dora dan Sumitro penting lainnya adalah ketika Sumitro harus menjalani perawatan usus besar akibat tumor. Dora bertindak sebagai perawatnya, cinta pun bersemi.

“Dia menuduh saya yang naksir duluan. Padahal dia yang naksir saya,” kata Sumitro dalam biografinya.

Menurut Sumitro, Dora sering bersepeda antar-kota di Negeri Belanda. Apalagi waktu Sumitro baru selesai operasi usus besar. “Dora rewel, maunya ngurus saya terus, hahaha.”

Sumitro—yang bertahun-tahun tak pulang—pada 1946 pun harus pulang lebih dulu ke Indonesia. Setahun berikutnya, Dora pun menyusul Sumitro.

Infografik Dora Marie Sigar

Infografik Dora Marie Sigar. tirto.id/Quita

Sumitro dan Dora akhirnya menikah pada 7 Januari 1947 di kawasan Matraman, pada masa-masa perang. Dora yang punya wajah agak Belanda, sangat tidak menguntungkan di masa-masa itu. Dengan punya tampang atau foto terlihat Belanda saja, seseorang bisa menjadi sasaran buta kaum Republiken yang benci setengah mati pada Belanda. Sumitro, seperti ayahnya juga, ikut di pihak Republik juga. Suatu kali, Sumitro pernah bercanda dengan istrinya.

“Kamu kualat karena leluhur kamu zaman dulu memihak de Kock (Belanda) dalam peperangan Jawa. Sedangkan leluhur saya memihak Pangeran Diponegoro. Jadi kamu sekarang dihukum harus kawin dengan saya,” kata Sumitro pada Dora yang kemudian lebih dari separuh abad bersama.

Keduanya adalah pasangan berbeda agama. Mereka berdua sempat tinggal di rumah orangtua Sumitro, Margono Djojohadikusumo—yang sudah jadi orang penting dalam Republik Indonesia. Keluarga Sumitro adalah keluarga Muslim.

Orangtua Dora dan Sumitro tidak keberatan atas perbedaan itu. Perkawinan Sumitro dengan Dora membuat keluarga besar mereka penuh keragaman. Anak-anak Sumitro punya keyakinan yang bermacam-macam.

Hidup Dora sebagai ibu rumah tangga bersama Sumitro, tidaklah selalu mulus. Ada masa Sumitro jadi menteri kabinet di zaman demokrasi liberal. Ada juga masa Sumitro jadi buronan karena dituduh dalam kasus korupsi.

Dalam kondisi terakhir, Dora tetap bersama Sumitro. Dalam kondisi sulit dia membesarkan anak-anaknya: Biantiningsih Miderawati Djiwandono, Marjani Ekowati le Maistre, Prabowo Subianto Djojohadikusumo, dan Hashim Sujono Djojohadikusumo. Sampai akhirnya Dora Sigar meninggal dunia di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura pada 23 Desember 2008.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra