tirto.id - Pemerintah akhirnya membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan per 1 April 2020 sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 7/P/HUM/2020 yang dibacakan pada 27 Februari 2020. Namun, lambannya pemerintah merespons putusan itu mengakibatkan peserta BPJS masih harus membayar tarif yang lebih mahal.
“Pemerintah hormati keputusan MA. Prinsipnya, pemerintah ingin agar keberlangsungan JKN terjamin dan layanan kesehatan pada masyarakat," kata Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam keterangan resmi yang diterima Tirto, Selasa (21/4/2020).
Muhadjir merinci, iuran BPJS Kesehatan yang sejak Januari naik menjadi Rp42.000 untuk kelas III kembali menjadi Rp25.500. Kemudian kelas II dari Rp110.000 menjadi Rp51.000, dan kelas I dari Rp160.000 menjadi Rp80.000.
Jumlah itu kembali mengikuti tarif yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Namun, rupanya hal ini masih menimbulkan pertanyaan. Salah satunya dari Widi Arman (28 tahun) yang merupakan peserta BPJS Kesehatan kelas 1.
Dia mengaku memiliki tanggungan 1 orang dan telah membayar iuran BPJS untuk April sebesar Rp320 ribu sehingga kini ia bertanya-tanya ke mana dan bagaimana cara mengurus uang yang telah ia bayar lebih itu.
"Tahu begini mending saya bayarnya belakangan," kata dia, pada Rabu (22/4/2020).
Demikian pula dengan Haryana Sugiya (38 tahun). Pria dengan tanggungan satu orang istri dan 3 orang anak itu mengikuti BPJS Kesehatan kelas 3 secara mandiri sejak 2017. Dia mengaku harus merogoh kocek Rp212.500 setiap bulan untuk iuran BPJS keluarganya.
Meski berat, Harya mengaku telah membayar untuk bulan Januari hingga Maret. Harya sempat gembira ketika membaca berita pemerintah membatalkan kenaikan iuran BPJS, tapi ketika dicek rupanya tarif yang dikenakan kepadanya masih seperti sebelumnya.
"Sangat senang walaupun tetap 'agak' berat untuk bayar. Makanya saya twit, untuk bulan April kok masih belum turun juga padahal putusan MA sudah final," kata Harya kepada reporter Tirto, Rabu (22/4/2020).
Untuk masalah kelebihan bayar, Muhadjir menyebut jumlah pembayaran itu akan diperhitungkan dalam pembayaran bulan selanjutnya.
Lambannya Pemerintah
Pembatalan kenaikan iuran BPJS oleh pemerintah merupakan buntut dari putusan Mahkamah Agung Nomor 7/P/HUM/2020 yang dibacakan pada 27 Februari 2020.
Lewat putusan itu, MA menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur soal tarif baru BPJS Kesehatan bertentangan dengan sejumlah ketentuan di atasnya, antara lain UUD 1945, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menyebut putusan itu berlaku sejak dibacakan yakni 27 Februari 2020.
Karena itu, Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menilai mestinya pemerintah bisa langsung menindaklanjuti putusan itu sejak awal sehingga tarif BPJS baru bisa mulai ditagih sejak April 2020. Jika merujuk pada rilis Menko PMK, maka tarif BPJS baru akan berlaku efektif pada Mei 2020.
Selain itu, kata Timboel, karena putusan MA berlaku sejak dibacakan, maka tarif baru BPJS Kesehatan seharusnya diberlakukan untuk pembayaran bulan Maret, bukan April sebagai mana rilis Muhadjir Effendi.
Dengan demikian, kata Timboel, nasabah BPJS telah melakukan lebih bayar untuk dua bulan (Maret dan April) bukan 1 bulan (April).
"Jangan sampai Perpres nanti dibuat oleh Pak Presiden tanda tangan per 1 April, debat lagi di publik. MA nanti bilang itu kami bacakan per 27 Feb dan sejak itu berlaku. Repot lagi," kata Timboel.
Timboel mengingatkan, mereka yang menjadi nasabah BPJS kelas 3 mandiri adalah warga pekerja informal yang notabene juga terdampak oleh COVID-19. Karenanya, akan sangat membantu jika pemerintah memberlakukan tarif baru BPJS Kesehatan sejak Maret, bukan April.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz