Menuju konten utama
Pilpres Brasil

Mengapa Orang Brasil Pilih Politikus Lawas Jadi Presiden?

Lula da Silva mendapat banyak suara dan mungkin jadi Presiden Brasil lagi mengalahkan petahana. Sebenarnya ini pilihan wajar masyarakat.

Mengapa Orang Brasil Pilih Politikus Lawas Jadi Presiden?
Mantan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, yang mencalonkan diri untuk pemilihan kembali, tiba untuk pertemuan dengan para pemimpin Partai Keberlanjutan Rede di Brasilia, Brasil, Kamis, 28 April 2022. AP/Eraldo Peres

tirto.id - Artikel sebelumnya di tautan berikut: Lula dan Kegagalan Political Comeback Politikus Amerika Latin

Tidak ada figur presiden sempurna yang bisa memenuhi tuntutan dari setiap elemen masyarakat, termasuk di Brasil. Hal ini juga berlaku untuk politikus dengan rekam jejak secemerlang Luiz Inácio Lula da Silva—atau populer dipanggil Lula.

Lula adalah kandidat kuat Presiden Brasil yang menduduki jabatan tersebut pada 2003-2010. Ia sedang bersaing dengan petahana Jair Bolsonaro. Siapa pemenangnya akan ditentukan dalam pemilu putaran kedua yang diselenggarakan 30 Oktober nanti.

Salah satu yang tidak atau belum dapat dipuaskan Lula, yang percaya dengan ideologi kiri, adalah para pegiat lingkungan. Mereka mungkin kecewa pada Lula karena berencana tetap melanjutkan eksplorasi tambang minyak barumeskipun ia juga berjanji akan berinvestasi untuk energi hijau.

“Sepanjang kalian tidak punya energi alternatif, kalian akan terus memakai energi yang ada sekarang,” ujar Lula kepada Time beberapa bulan silam.

Dilansir dari laporan Associated Press,riwayat kinerja Lula untuk perlindungan lingkungan di Brasil juga agak problematis.

Administrasinya dulu memang punya sederet prestasi mengesankan: menekan tingkat deforestasi sampai 82 persen, mengamankan anggaran miliaran dolar dari Jerman dan Norwegia untuk konservasi hutan hujan Amazon (yang 60 persen areanya terletak di teritorial Brasil), bahkan mendorong negara-negara kaya dalam forum PBB agar berdonasi untuk mitigasi iklim di negara lebih miskin.

Lula juga pernah mengangkat aktivis Marina Silva sebagai menteri lingkungan, tidak lain untuk menggencarkan misi perlindungan alam.

Di sisi lain, ia juga fokus mengembangkan ekspor komoditas pertanian dan ternak yang praktik industrinya kerap bertubrukan dengan agenda prolingkungan. Karena komoditas di sektor tersebut sangat membantu kemakmuran masyarakat, Lula akhirnya luluh juga. Lula di periode kedua mulai agak melunak pada sektor agrobisnis sampai-sampai Menteri Silva memutuskan undur diri.

Sebagai contoh, sepanjang 2007-2011, administrasinya mengizinkan bank BUMN untuk meminjamkan miliaran dolar pada korporat raksasa pengemasan daging JBS. JBS kelak diinvestigasi karena sudah disuplai dengan komoditas daging dari peternakan di kawasan hutan yang dibabat secara ilegal.

Dalam wawancara radio Juni kemarin, Lula juga mengaku tidak menyesali keputusannya satu dekade silam untuk mendukung proyek pembangunan bendungan Belo Monte untuk pembangkit listrik tenaga air, yang dampaknya adalah tergusurnya 40 ribu warga dan kekeringan Sungai Xinguyang ikannya menjadi sumber pemasukan komunitas setempat. Belo Monte, kata Lula, perlu dibangun untuk memenuhi kebutuhan energi Brasil, di samping juga menciptakan banyak lapangan kerja.

Dampak dari proyek bendungan lain juga tidak terlalu Lula hiraukan, termasuk kacaunya migrasi ikan air tawar sejenis lele, dourada, yang dikonsumsi masyarakat di sepanjang Sungai Madeira. “Banyak jenis ikan lele di Madeira yang bisa dibudidayakan di tangki,” dalih Lula.

Terlepas masih ada pihak yang kecewa oleh kebijakan lama Lula, ia tetap menawarkan proposal yang menarik bagi gerakan prolingkungan. Salah satunya adalah komitmen untuk mengakhiri pertambangan emas ilegal di kawasan hutan lindungyang kasusnya dilaporkan meningkat beberapa tahun belakangan. Kemudian juga memperkuat lagi otoritas polisi federal dan institusi perlindungan lingkungan untuk menghukum aktivitas ilegal di belantara Amazon.

Lula juga berjanji akan mendirikan kementerian khusus untuk urusan masyarakat tradisional. Tujuannya agar komunitas yang jumlahnya terdiri dari 896 ribu jiwa ini punya otoritas lebih kuat dalam pengambilan keputusan terkait perlindungan hutan hujan Amazon. Sebanyak 12,5 persen teritorial Amazon, atau kira-kira luasnya 107 juta hektare, terdaftar sebagai Lahan Masyarakat Suku Asli.

Dampak dari semua tawaran tersebut, seperti dilansir dari Foreign Policy, adalah aktivis lingkungan kembali bersemangat menyambut Lula. Mantan menteri Marina juga telah menyatakan bersedia mendukung Lula apabila mantan bosnya itu mau berkomitmen pada 20 poin kebijakan lingkungan yang ia tawarkan. Proposal dari Silva meliputi penerapan tarif karbon pajak, insentif bagi praktik pertanian berkelanjutan, dan badan otoritas yang dapat mengawasi kebijakan publik Brasil agar sesuai target Perjanjian Paris.

Singkat kata, Lula adalah pilihan yang paling realistis dibandingkan kandidat lain, Bolsonaro.

Selama tiga tahun pertama Bolsonaro berkuasa, sekitar 34 ribu kilometer persegi hutan Amazon, kira-kira seluas Provinsi Jawa Barat atau Jawa Tengah, dibabat habis. Dikutip dari Mongabay, tingkat deforestasi selama era Bolsonaro nyaris menyentuh angka 60 persen.

Tingginya tingkat pembabatan sampai membuat para ilmuwan berkesimpulan bahwa situasinya sudah berada di point of no return—karena hutan-hutan yang sudah terlanjur dihancurkan tersebut bakal sulit “disembuhkan”. Mereka akan berubah jadi padang sabana kering, yang dalam prosesnya bakal melepas lebih banyak gas rumah kaca sehingga memperparah kerusakan iklim global.

Artikel lain dari Mongabay melaporkanpada 2020, kantor pemerintah untuk urusan suku tradisional, FUNAI, meloloskan aturan yang bermasalah. Isinya memperbolehkan warga mendaftarkan properti pribadi di lahan milik masyarakat tradisional yang masih dalam proses demarkasi (status kepemilikannya belum diakui resmi oleh pemerintah). Semenjak itu pemerintah pusat sudah mendaftarkan lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan dengan total seluas 250 ribu hektare di teritorial 49 suku tradisional.

Perusakan lingkungan ini tidak bisa dipisahkan dari kepentingan sektor agrobisnis, terutama jaringan besar pengusaha perkebunan dan pertanian. Merekalah yang membutuhkan lahan seluas-luasnya untuk mengolah komoditas.

Komunitas agrobisnis inilah yang menjadi salah satu basis kuat pendukung Bolsonaro—sekaligus donatur besar-besaran untuk kampanyenya—pada pemilu lalu dan sekarang. Sikap menyokong Bolsonaro sangat bisa dipahami karena, seperti disampaikan Jose Carlos Hausknecht dari kantor konsultan MB Agro kepada Bloomberg, “secara historis mereka hampir selalu dipersekusi karena [aktivitasnya dikaitkan dengan] isu lingkungan di Brasil.” “Meskipun mau melakukan hal yang benar, mereka selalu saja dihubung-hubungkan dengan deforestasi.”

Singkatnya, di mata mereka, Bolsonaro adalah pahlawan. Bolsonaro tidak lain adalah kepanjangan tangan mereka.

Sebaliknya, tidak mengherankan pula apabila Lula, yang berkomitmen melawan deforestasi ilegal dan mengupayakan nol deforestasi, bukan pilihan menarik untuk didukung para pebisnis dan petani besar.

Lula beberapa kali menyinggung aktivitas agresif industri agrobisnis dalam kampanye. Lula pernah berkomentar bahwa industri tidak perlu menebang sebatang pohon pun hanya untuk menanam lebih banyak kedelai, tebu, dan membuka lahan peternakan. Ia juga sempat mengatakan bahwa petani “tidak berhak menginvasi lahan milik masyarakat tradisional.”

Infografik Bolsonaro dan Hutan Amazon

Infografik Bolsonaro dan Hutan Amazon. tirto.id/Fuad

Meski tampak galak, bukan berarti jika Lula menang akan menjadi “hari kiamat” bagi industri agrobisnis. Sebabnya, seperti kata Senator Wellington Fagundes dari negara bagian penghasil gandum utama Brasil, agrobisnis adalah sektor yang pragmatis. Karena itu kemungkinan besar mereka mau beradaptasi dengan kebijakan pemerintahan baru.

Lula juga berusaha menarik perhatian kalangan agrobisnis, misalnya dengan proposal program kredit “hijau” atau pinjaman bersubsidi bagi mereka yang mau memenuhi standar praktik pertanian ramah lingkungan. Contohnya seperti mengonversi padang rumput yang terdegradasi jadi lahan pertanian dan memperbanyak pemakaian biopestisida yang relatif lebih aman bagi lingkungan.

Meskipun tidak semua pandangan Lula tentang lingkungan dapat memuaskan setiap pemilih suara, dirinya adalah satu-satunya kandidat yang timnya berkenan merespons dan mendengarkan laporan dari Akademi Sains Brasil. Bulan Juni silam, organisasi tersebut memohon agar siapa pun nanti yang berhasil menduduki Palácio do Planalto di Brasilia mau berinvestasi di bidang sains, pendidikan, dan pembangunan berkelanjutan.

Di pengujung hari, setelah lelah membanting tulang untuk cari uang, rakyat Brasil mungkin hanya ingin presiden yang “normal”.

Dia yang mau bersungguh-sungguh mengupayakan agar warganya bisa makan tiga kali sehari; yang tidak memberikan komentar ngawur bahwa hasil riset ilmiah badan lingkungan adalah “kebohongan”; menyuruh pihak-pihak yang khawatir pada pemanasan global agar mengurangi frekuensi buang hajat; atau akun sosial medianya sampai ditangguhkan karena pernah menyebarkan hoaks bahwa orang Inggris lebih cepat terkena AIDS karena sudah menerima dosis lengkap vaksin Covid-19.

(Bersambung...)

Baca juga artikel terkait LULA DA SILVA atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino