Menuju konten utama

Mengapa Kelompok Penyandang Disabilitas Menolak Perpres Baru Jokowi

Penyandang disabilitas merasa perpres baru tak transparan dan rawan konflik kepentingan.

Mengapa Kelompok Penyandang Disabilitas Menolak Perpres Baru Jokowi
Presiden Joko Widodo bersiap memimpin rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (18/2/2020).ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pd

tirto.id - Presiden Joko Widodo belakangan punya perhatian khusus untuk penyandang disabilitas. Tak tanggung-tanggung, ia menerbitkan dua peraturan sekaligus: Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 dan 68.

Perpres 67/2020 membahas tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Penghargaan dalam Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Peraturan yang diteken pada 8 Juni ini merupakan regulasi turunan dari Pasal 141 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

"Pemberian penghargaan bertujuan untuk memotivasi orang perseorangan, badan hukum, lembaga negara, dan penyedia fasilitas publik dalam mewujudkan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan," demikian bunyi pasal 2.

Lewat keterangan tertulis, Juru Bicara Presiden Angkie Yudistia mengatakan lewat perpres ini diharapkan "setiap masyarakat menjadikan penyandang disabilitas sebagai bagian yang layak untuk mendapat hak serta tanggung jawab yang sama dengan masyarakat umum."

Perpres kedua mengatur tentang Komisi Nasional Disabilitas (KND). Perpres ini juga merupakan peraturan turunan dari UU Penyandang Disabilitas.

KND berstatus lembaga non-struktural yang bersifat independen, langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Bab III tentang Organisasi, pasal 7, menyebutkan anggota KND berjumlah tujuh orang, terdiri dari seorang ketua, seorang wakil ketua, dan lima orang anggota biasa. Komposisinya harus memperhatikan keterwakilan perempuan; empat orang di antaranya harus mewakili dan merepresentasikan keberagaman disabilitas.

Dalam menjalankan tugas KND dibantu oleh Kepala Sekretariat. Dalam pasal 9 tertulis: "Kepala Sekretariat merupakan jabatan pimpinan tinggi pratama atau jabatan struktural eselon II yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri." Sekretariat KND ini berkedudukan di bawah Kementerian Sosial.

Sebagaimana dipraktikkan komisi lain, tujuh calon anggota KND dijaring dan diseleksi oleh tim bernama Panitia Seleksi Calon Anggota KND. Panitia Seleksi itu, yang berjumlah lima orang, dibentuk oleh Menteri Sosial. Itu tertulis di pasal 14. Orang-orang yang lolos dari seleksi akan dilantik langsung oleh Presiden dan akan bekerja selama lima tahun.

Namun, khusus kepengurusan pertama, seluruh anggota akan ditunjuk langsung oleh Presiden atas usulan Menteri Sosial. Itu tertulis di dalam Bab VII tentang Ketentuan Peralihan, khususnya pasal 30: "Untuk pertama kalinya, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota KND ditunjuk oleh Presiden atas usul Menteri."

Dikritik Penyandang Disabilitas

Sekilas dua peraturan ini berada di 'jalur yang benar'. Pemerintah seperti benar-benar mengupayakan agar para penyandang disabilitas diperlakukan setara seperti masyarakat pada umumnya. Namun organisasi penyandang disabilitas justru melemparkan kritik karena menilai peraturan ini masih mengandung masalah.

Menurut Ketua DPP Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu, KND adalah lembaga yang "kontradiktif."

"Di satu sisi disebut KND lembaga independen, tapi di sisi lain Sekretariat KND di bawah Kemsos yang harusnya dipantau KND. Ada konflik kepentingan. Dikhawatirkan KND ini akan mandul," kata Maulani saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (24/6/2020) siang.

Maulani mengatakan HWDI dan beberapa organisasi lain sudah melayangkan protes terkait struktur KND sebelum draf perpres diteken. HWDI bergabung dalam Koalisi Nasional Kelompok Kerja Implementasi UU Penyandang Disabilitas (Koalisi Pokja), yang fokus mengadvokasi isu regulasi disabilitas.

Protes dilayangkan pada akhir 2019, ketika koalisi menggelar pertemuan dengan Staf Khusus Presiden yang ditugasi menangani isu disabilitas.

Hal lain yang diprotes adalah perkara transparansi pembahasan perpres. Pada Februari lalu, koalisi bertemu dengan Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo. Tjahjo berjanji akan mengkaji kembali draf rancangan Perpres KND. Namun diketahui kemudian draf sudah dibahas di Sekretariat Negara.

Hingga Juni 2020, kata Maulani, tak ada komunikasi apa-apa lagi antara koalisi dengan pemerintah. "Akhirnya, pada 8 Juni Perpres KND diteken oleh Presiden, sampai informasinya ke kami 19 Juni, dan tetap menempatkan posisi Sekretariat KND melekat sebagai unit kerja di kelembagaan Kemsos," kata Maulani.

"Kami protes dan tidak diakomodasi. Tidak mencerminkan niat tulus dari upaya pemenuhan hak disabilitas."

Karena protes tak digubris, koalisi membuat petisi pada 23 Juni lalu. Dalam petisi yang kini sudah diteken oleh 161 organisasi itu mereka mendesak Presiden untuk merevisi perpres dan menunda pemberlakukannya selama proses revisi berjalan, terutama terkait pemilihan anggota KND pertama.

Fajri Nursyamsi, Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) yang sama-sama tergabung dalam koalisi, juga menyoroti minimnya transparansi dari pemerintah dalam pembentukan perpres ini.

"Pembentukan yang minim transparansi informasi menjadikan masyarakat penyandang disabilitas tidak mengetahui apa yang sedang dibahas dan bagaimana pertimbangan dari pemilihan berbagai ketentuan yang saat ini tercantum dalam Perpres KND," katanya saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu siang.

Ia lantas menjelaskan mengapa menempatkan Sekretariat KND di bawah Kemsos itu keliru.

"Dengan dilekatkan kepada Kemsos, maka KND akan terbatas menjalankan tugasnya. Kemsos justru saat ini banyak mendapat kritik dari organisasi penyandang disabilitas karena masih melihat disabilitas dari pendekatan belas kasih (charity based)," kata Fajri.

KND dalam UU Penyandang Disabilitas telah diatur sebagai lembaga independen dan non-struktural yang memiliki tugas sendiri, salah satunya mengawasi dan mengevaluasi kinerja pemerintah dalam melaksanakan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Karena itu KND idealnya sama seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan.

Oleh karena itu menurutnya lewat perpres ini KND justru "berpotensi terjerat dalam konflik kepentingan dengan Kemsos, yang pekerjaannya akan sering menjadi sasaran evaluasi, pemantauan, dan advokasi sebagai tugas KND."

Petisi itu juga berisi kritik soal komposisi anggota KND yang hanya mengakomodasi empat penyandang disabilitas. Fajri mengatakan itu sama saja tidak memberikan kesempatan penuh bagi penyandang disabilitas.

"Proses penerbitan Perpres KND tidak menerapkan prinsip 'nothing about us without us' yang sejak diberlakukannya UN CRPD (Konvensi PBB mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) di negara-negara anggota PBB prinsip ini selalu didorong untuk terus diimplementasikan. Prinsip itu memberikan makna bahwa para penyandang disabilitaslah yang paling memahami persoalan apa yang mereka hadapi, dan bagaimana cara menyelesaikannya." katanya.

"Yang lebih buruk, pemilihan panitia seleksi dan penunjukan anggota KND untuk pertama kalinya tidak melibatkan organisasi penyandang disabilitas, yang berisiko mengganggu independensi dan keberpihakan terhadap penyandang disabilitas dari panitia seleksi dan anggota KND tersebut."

Menteri Sosial Juliari Batubara menampik tudingan konflik kepentingan. Ia mengatakan lembaganya tidak bakal intervensi.

"Tidak perlu dikhawatirkan karena sekretariat hanya bersifat dukungan administratif belaka dan tidak akan ada intervensi Kemsos di dalamnya," kata Juliari lewat keterangan tertulis yang wartawan Tirto terima dari Dirjen Rehabilitas Sosial, Harry Hikmat, Rabu sore.

Juliari juga menegaskan keberhasilan KND ditentukan oleh kinerja komisioner terpilih itu sendiri, bukan yang lain.

Baca juga artikel terkait PENYANDANG DISABILITAS atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino