tirto.id - Fahri Hamzah dan Fadli Zon mendapat bintang kehormatan Mahaputera Nararya dari pemerintah. Selama Joko Widodo menjabat sebagai presiden, keduanya kerap melontarkan kritik kepada pemerintah karena posisi mereka sebagai oposisi. Pemberian penghargaan kepada kedua orang ini juga dipertanyakan beberapa pihak terkait jasa apa yang telah mereka perbuat sehingga memenuhi kriteria sebagai penerima penghargaan.
Bintang Jasa Mahaputera adalah salah satu penghargaan paling bergengsi yang bisa didapatkan seseorang. Levelnya hanya satu tingkat di bawah Bintang Republik Indonesia, tanda kehormatan tertinggi yang diakui oleh negara. Meski di antara Bintang Jasa Mahaputera ada lagi beberapa kelas dan Nararya adalah yang paling bontot.
Semakin tinggi bintang jasa atau tanda kehormatan tersebut, biasanya penerimanya juga kian sedikit. Misalnya Bintang Republik Indonesia. Selain presiden, hanya ada 5 orang lain yang menerima penghargaan serupa. Dua diantaranya berasal dari luar negeri, yakni Raja Salman dari Arab Saudi dan Raja Carl XVI Gustav dari Swedia.
Pemberian bintang jasa dan tanda kehormatan memang punya beberapa persyaratan. Ini diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU 20/2009. Dalam ketentuannya, tanda kehormatan diberikan kepada seseorang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi atas kesetiaan yang luar biasa terhadap bangsa dan negara.
Beberapa poin lain yang juga wajib dipenuhi adalah penerima berstatus sebagai warga negara Indonesia (WNI) yang telah berjasa terhadap bangsa dan negara; setia terhadap tanah air; tidak pernah dapat pidana penjara berdasar putusan pengadilan dengan pidana penjara paling singkat lima tahun. Syarat lain tergolong tafsir karet, misalnya: berkelakuan baik dan memiliki integritas moral serta keteladanan.
Mereka nantinya akan diseleksi oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Namun poin pentingnya adalah individu, institusi, dan organisasi bersangkutan harus mendapat rekomendasi dari tempat mereka bekerja.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, meski kedua orang itu—Fahri dan Fadli—menjadi polemik, DPR sendiri yang mengusulkan mereka untuk mendapat tanda kehormatan. Kendati DPR periode sekarang didominasi PDIP, dua orang itu tetap populer.
"Yang kemarin banyak diperdebatkan itu mengapa Fahri Hamzah dan Fadli Zon itu mendapat juga Bintang Mahaputera. Saudara yang diletakkan oleh Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan itu adalah mereka yang diusulkan oleh lembaganya. Kalau itu pejabat negara, bisa diusulkan lembaganya," kata Mahfud lewat konferensi pers daring, Kamis (13/8/2020).
Tiada Standar yang Jelas
Terpilihnya orang-orang atau institusi sebagai penerima gelar dan tanda kehormatan tidak punya standar yang baku. Presiden dan Wakil Presiden diberikan secara otomatis. Namun sisanya diberikan berdasar pertimbangan dari institusi dan dewan yang menyeleksi nama-nama yang diajukan.
Pertimbangan itu tidak punya tolok ukur standar yang jelas. Fahri dan Fadli, misalnya, dianggap telah berkontribusi kepada masyarakat. Namun secara spesifik apa yang telah mereka lakukan untuk membantu masyarakat tidak pernah disampaikan dengan rinci.
Mahfud menjelaskan pemberian tanda jasa kepada kedua tokoh tersebut sudah direncanakan sejak 2010. Selain Fahri dan Fadli, ada pula mantan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan yang sudah mendapatkan kehormatan serupa. Bagi Mahfud, justru aneh jika Wakil Ketua DPR lain sudah diberi, sedang dua orang ini tidak.
"Kalau kita tolak padahal yang sebelumnya, yang lain-lain, sudah dikasih dalam jabatannya, itu kan tidak baik," ujar Mahfud lagi.
Tapi jika pertimbangan utamanya adalah kontribusi mereka ketika menjabat, kinerja DPR tak dapat dikatakan baik. Apalagi ketika keduanya menjabat sebagai Wakil Ketua DPR periode 2014-2019, banyak capaian yang jauh dari kata memuaskan bagi publik.
Indonesia Corruption Watch mencatat DPR periode 2014-2019 menghabiskan anggaran Rp1,62 triliun atau sekitar Rp323,4 miliar/tahun hanya untuk mengesahkan undang-undang. Sampai dengan akhir masa jabatan, DPR hanya mengesahkan 91 RUU yang terdiri dari 36 RUU Prolegnas dan 55 RUU Kumulatif Terbuka. Padahal ada 189 Prolegnas yang harus diselesaikan oleh anggota dewan.
Pada periode yang sama, masa jabatan anggota dewan ditutup dengan demonstrasi besar-besaran bertajuk #ReformasiDikorupsi. Pemerintah dan DPR sudah mengesahkan Revisi UU KPK yang dianggap melemahkan penegakan kasus korupsi dan berusaha untuk mengesahkan Revisi KUHP yang belum matang.
Peninggalan DPR periode 2014-2019 kian parah dengan adanya penundaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Alasannya, pembahasan belum selesai dan DPR periode 2014-2019 mau tak mau harus menyerahkan pembahasannya kepada DPR periode 2019-2024. Hasilnya, sekarang RUU PKS bahkan dicabut dari Prolegnas 2020.
Namun itu tak menghentikan pemerintah memberikan tanda jasa kepada Fahri dan Fadli. Kedua orang itu juga merasa layak mendapatkan penghargaan dari pemerintah. Sambil bercanda, Fadli mengaku penghargaan ini tak lepas dari banyaknya kritik yang ia berikan kepada pemerintah.
"Berarti kritik itu diakui Pemerintah, makanya kalau mau banyak penghargaan banyak-banyaklah kritik," kelakar Fadli dalam siaran yang dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (13/8/2020).
Ramai Bias dan Gimmick Belaka
Di Amerika Serikat, tanda jasa dan kehormatan untuk sipil disebut Medal of Freedom atau Medali Kebebasan. Baik Presiden Barack Obama maupun Donald Trump membagikan penghargaan ini ke banyak individu. Di antara mereka yang mendapat, selalu saja ada orang-orang yang dianggap publik sengaja diberi penghargaan atas dasar kepentingan politik.
Kolumnis dailyrepublic, Ruben Navarrette, menulis bahwa ketika aktivis hak sipil Dolores Huerta mendapat penghargaan Medali Kebebasan dari Obama pada 2012 publik terbelah. Kaum liberal menyambut baik penghargaan tersebut, sedangkan kaum konservatif tidak suka orang dengan rekam jejak seperti Dolores, yang sebelumnya mendukung Hillary Clinton, menerima penghargaan.
Sebagai aktivis, Dolores adalah salah satu tokoh yang didengar di antara orang Amerika Latin di AS. Semasa pemilu presiden AS tahun 2008, dukungan Dolores jatuh kepada Clinton dan dia berusaha menggembosi suara Obama. Dia menyebut Obama mencuri slogannya, “Yes, we can”, dan mengatakan Obama hanya mengenal orang Amerika Latin selama enam bulan saja. Jauh berbeda dengan Clinton yang dekat dengan orang Amerika Latin selama bertahun-tahun.
Bagi Navarette, penghargaan yang diberikan Obama kepada Dolores hanyalah “gimmick pemilu untuk meyakinkan orang Amerika Latin bahwa Obama ada di sisi mereka.” Selain Dolores, Obama juga pernah memberikan penghargaan pada Warren Buffet, salah satu pendukungnya pada pilpres 2008.
New York Times mencatat Trump juga melakukan pemberian penghargaan yang kontroversial ketika menganugerahi Babe Ruth, Elvis Presley, dan Miriam Adelson pada 2018. Ruth dan Presley jelas—pemain bisbol ternama dan penyanyi yang terkenal seantero dunia. Tapi Adelson? Dia seorang filantropis yang namanya tidak begitu terkenal.
Suami Miriam Adelson, Sheldon Adelson, adalah orang kaya raya yang menyumbang 120 juta dolar AS kepada Partai Republik yang mendukung Trump. Sheldon pula yang memengaruhi perpindahan Kedutaan Besar AS di Israel ke Yerusalem. Seperti dicatat New York Times, pemberian medali ini selalu merefleksikan “pandangan pribadi presiden, bias, dan terkadang, penghargaan politis.”
Sementara itu, di Indonesia, pemberian tanda jasa dari pemerintahan Jokowi kepada dua orang dari kelompok oposisi menjadi sorotan publik. Semasa menjabat, Jokowi memang salah satu presiden yang kerap mengumbar tanda jasa dan kehormatan kepada banyak tokoh.
Pada 2015, misalnya, ada 82 tokoh yang menerima tanda jasa atau tanda kehormatan. Tahun 2016 ada sembilan tokoh yang mendapatkan tanda kehormatan dan tahun 2017 delapan orang mendapatkan penghargaan serupa. Tahun 2018 ada delapan orang menerima tanda kehormatan tersebut dan meningkat lagi menjadi 29 orang di tahun 2019. Sementara pada 2020 jumlahnya mencapai 53 orang.
Sebagaimana dilansir BBC Indonesia, peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lucky Sandra Amalia, memandang penghargaan yang diberikan Jokowi kepada "duo F" hanyalah usaha membungkam kritik.
Utamanya adalah demi kedamaian jelang Pilkada 2020. Dalam perebutan kepala daerah itu, politik dinasti menjamur di mana-mana. Salah satu peluang terjadi di Solo, tempat Gibran Rakabuming, putra Jokowi, mencalonkan diri sebagai wali kota. Dengan penghargaan ini, Lucky meniai Jokowi ingin meredam kritik dari Fahri dan Fadli yang punya cukup banyak pengikut di media sosial.
"Saya pikir membungkamnya, selain yang umum, ini juga karena sedang mendekati Pilkada. Pemerintah membutuhkan dukungan," ujar Lucky.
Editor: Ivan Aulia Ahsan