tirto.id - Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memberantas terorisme, baik dengan pendekatan kekerasan (misalnya langsung menangkap pelaku teror) atau ideologis. Dua-duanya bisa berjalan paralel atau tanpa menihilkan satu sama lain.
Dalam pandangan Koordinator Eksekutif Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib, pendekatan yang sifatnya ideologis—atau dalam bahasa aparat sering disebut deradikalisasi—saat ini idealnya ditiadakan dulu. Fokus utama haruslah menihilkan potensi serangan.
"Yang disembuhkan pertama adalah simtomnya. Serangannya dulu di-nol-kan, jangan sampai orang-orang [teroris] ini bisa menyerang," ujar Ridlwan dalam diskusi publik di Thamrin, Jakarta, Selasa (22/5/2018) kemarin.
Memberantas terorisme dengan pendekatan ideologis bukan hanya lebih sulit, tapi juga butuh waktu yang lama, dan tentu saja tidak ada jaminan sama sekali untuk berhasil. Dengan bantuan teknologi, semua orang dapat dengan mudah mengakses bahan bacaan "berbahaya", yang dibaca oleh para teroris untuk melegitimasi aksi-aksi mereka.
"Coba googling 'kajian Aman Abdurahman'. Ada di sini. Bisa dipelajari pakai gadget," ujar Ridlwan. Aman yang dimaksud adalah pendiri Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok penganut paham radikal dan sudah membaiat ke ISIS.
Sementara di satu sisi, ada keadaan mendesak yang mesti segera ditangani. Menurut Ridlwan, teroris punya seribu satu cara untuk melancarkan serangan. Mereka bisa menggunakan senjata api atau bom. Kalau bahan-bahannya tidak tersedia, mereka bahkan bisa membuatnya dari pupuk urea atau bahkan hanya bermodalkan senjata tajam.
Beda dengan Ridlwan yang menekankan cara-cara represif, Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf berpandangan, penanganan terorisme harus tetap memprioritaskan pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurutnya penegakan hukum berbasis HAM lebih menghasilkan dampak positif.
"Tidak akan pernah berhasil sebuah negara tangani terorisme dengan represif tanpa pertimbangkan HAM. Jika satu orang salah tangkap, ada 10 orang balas dendam. Maka PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) memandang tidak mungkin menang lawan teror kalau tidak ada HAM," ujar Al Araf.
Pemerintah diwakili Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengakui kalau sampai saat ini cara yang digunakan dalam melawan terorisme memang masih menggunakan "pendekatan lama". Maksudnya, aparat keamanan belum secara aktif melawan terorisme.
Hal ini, menurutnya, dapat diselesaikan dengan rampungnya revisi UU Pemberantasan Terorisme yang kini sedang digodok di parlemen.
"Ini soal pelibatan kawan-kawan polisi. Kalau bicara TNI, di Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI itu OMSP (operasi militer selain perang) sudah jelas," ujar Jaleswari dalam diskusi yang sama.
Alumnus Universitas Indonesia (UI) itu mengklaim konten draf revisi UU Pemberantasan Terorisme sudah mengedepankan HAM. Ia bahkan menyebut bahwa produk hukum itu lebih baik dibanding peraturan di negara-negara lain.
Pandangan Polisi dan Tentara
Bagaimana pandangan polisi? Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan pemberantasan terorisme harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Ia percaya pencegahan teror bisa dilakukan bahkan dari satuan terkecil di masyarakat yakni Rukun Tetangga (RT).
"Sebagai contoh, salah satunya yang sudah tidak kita lakukan adalah kewajiban wajib lapor di tingkat RT. Itu sekarang sudah banyak tidak dilakukan sehingga menyulitkan petugas untuk melakukan deteksi dini," ujar Setyo.
Pendapat senada disampaikan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan Brigjen TNI M. Nakir. Ia berkata bahwa ancaman terorisme terjadi di segala lini kehidupan.
Menurut Nakir, penyebaran ideologi radikal hanya satu dari sekian banyak bentuk ancaman terorisme. Bentuk ancaman itu, katanya, terus berkembang.
"Terorisme beberapa tahun lalu berbeda dengan hari ini," kata Nakir. Menurutnya, terorisme sudah dalam tahap "membahayakan keselamatan negara."
Menurutnya fokus penanganan terorisme ke depan harus mulai memburu siapa "otak" di balik layar. Sepanjang penanganan hanya dilakukan terhadap orang-orang di lapangan, maka ancaman teror bakal terus berulang.
Kemenhan juga mengingatkan agar seluruh aparat berupaya menekan perkembangan organisasi teroris. Nakir berharap agar revisi UU Pemberantasan Terorisme nantinya bisa menyediakan dasar hukum untuk pemberantasan dan pencegahan terorisme.
"Sebenarnya kami menghendaki dalam UU nanti bagaimana ia tidak hanya sebagai tindakan saja, tapi ada pencegahan sehingga betul-betul kami ingin melawan, berperang dengan teroris itu sampai ke akar-akarnya."
Koopsusgab
Mengenai pemberantasan terorisme, ada satu topik yang luput dalam diskusi tersebut, yaitu dibentuknya Koopsusgab atau Komando Operasi Khusus Gabungan, kekuatan pukul gabungan tiga angkatan yang terdiri dari unit terpilih dari Dengultor 81 Kopassus TNI AD, Sat Bravo TNI AU dan Den Jaka TNI AL.
Leopold Sudaryono, salah satu kolumnis Tirto sekaligus Kandidat doktor dalam bidang Kriminologi, Australian National University, berpendapat salah satu kelebihan satuan ini adalah ketika menangani penyanderaan.
"Skenario ini [penyanderaan] membutuhkan gerak cepat dan kemampuan taktis yang lebih dimiliki oleh unit anti-teror Koopsusgab," katanya.
Namun yang patut dicatat, akan muncul pelanggaran hukum jika Koopsusgab diberikan wewenang penegakan hukum seperti penangkapan dan penahanan dalam upaya mendapat informasi intelijen atau bukti permulaan. Padahal belum tentu yang ditangkap itu benar-benar teroris. Ini bisa disetarakan dengan apa yang dilakukan oleh Tim Mawar, kelompok penculik aktivis, pada masa Orde Baru.
"Perundang-undangan yang ada saat ini (UU TNI, UU Intelijen Negara, UU Penanggulangan Terorisme), bahkan RUU Revisi Terorisme tidak memberikan payung hukum bagi TNI untuk melakukan tindakan polisionil," katanya.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino