tirto.id - Yang terjadi pasca-rentetan bom Surabaya: polisi menggelandang puluhan terduga teroris dan sejumlah orang yang tidak terikat langsung dengan aksi terorisme. Untuk yang belakangan dicokok, kesamaannya cuma satu: menuding aksi terorisme sebagai pengalihan isu demi kepentingan politik yang lebih besar.
Korps berbaju cokelat sudah menangkap setidaknya tiga orang. Salah satu di antaranya bekerja sebagai kepala sekolah SMP negeri di Kalimantan Barat, berinisial FSA.
FSA diciduk gara-gara unggahannya yang bertuliskan: “Sekali mendayung 2-3 pulau terlampaui. Sekali ngebom: 1. nama Islam dibuat tercoreng; 2. dana triliunan anti teror cair; 3. isu 2019 ganti presiden tenggelam.”
Mirip seperti FSA, pengajar di Universitas Sumatera Utara berinisial HDL juga ditangkap karena berpendapat jika terorisme adalah pengalihan isu dari #2019GantiPresiden—kampanye yang telah digaungkan sejak jauh-jauh hari oleh sejumlah pihak.
HDL dalam akun Facebook-nya menulis: "Skenario pengalihan yang sempurna ... #2019GantiPresiden." Kini, HDL ditahan kepolisian setempat.
Pemidanaan oleh polisi kembali berlanjut. Pria bernama AAD yang bekerja sebagai juru keamanan diringkus pada Jumat (18/5/2018) karena menulis: “Di Indonesia tidak ada teroris, itu hanya fiksi, pengalihan isu ...”
Menanggapi gejolak penangkapan di atas, pihak kepolisian yang mengusut masing-masing kasus mengungkapkan pandangan seragam. Kabid Humas Polda Kalimantan Barat, AKBP Nanang Purnomo, misalnya, mengatakan kepada Tirto bahwa FSA dinilai menyebarkan kebencian berbasis SARA dan melanggar Pasal 28 ayat (2) UU ITE Nomor 19/2016. Namun, polisi tak menjelaskan secara persis di mana letak kesalahannya.
Sedangkan Kabid Humas Polda Sumatera Utara, AKBP Tatan Dirsan Atmaja, menegaskan HDL dan AAD ditangkap karena unggahannya dinilai telah menimbulkan keresahan di masyarakat.
Sama seperti Nanang, Tatan enggan menjabarkan lebih lanjut pidana apa telah dilakukan DHL dan AAD. Ia mengatakan bahwa penjelasan atau alasan mengenai itu bukan wewenang mereka, tapi urusan peradilan atau praperadilan.
Keengganan polisi menjawab pertanyaan memunculkan tanda tanya. UU ITE telah lama dikritik sebagai pasal karet. Ia bisa menjerat dan menjebloskan orang yang tidak benar-benar terbukti bersalah. Dalam tiga kasus di atas, tak ada yang secara eksplisit menyinggung SARA.
Karo Penmas Mabes Polri, Brigjen Mohammad Iqbal, secara tidak langsung membenarkan dugaan itu. Katanya, penyebaran informasi seperti itu membuat institusinya tidak nyaman.
“Polri tidak nyaman,” katanya di Mabes Polri, Senin (21/5/2018). “Siapa pun yang menyebut rekayasa, kami tunggu buktinya,” lanjutnya dengan nada tegas.
Indonesia Bukan yang Pertama
Ditangkap aparat gara-gara menyuarakan pendapatnya terhadap kasus terorisme bukan sekali ini saja terjadi. Jejak serupa sudah pernah lebih ada terlebih dahulu di beberapa negara.
Di Perancis, pasca-serangan teroris di kantor majalah satir Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang pada 2015 silam, otoritas berwenang langsung bergerak begitu agresif untuk menangkapi orang-orang yang menyuarakan dukungan terhadap terorisme.
Dilansir The New York Times, terdapat 100 orang yang diselidiki pihak berwenang karena membuat atau mem-posting komentar yang dinilai mendukung maupun membenarkan aksi teror. Aksi sapu bersih kepolisian itu dilakukan di Paris, Nice, Tolouse, Strasbourg, sampai Orléans.
Sebagian masyarakat Perancis langsung protes. Mereka menilai penangkapan tersebut sebagai ancaman bagi kebebasan berpendapat. Mereka menuntut otoritas berwenang agar tidak membabi buta meringkus “orang-orang yang mendukung terorisme lewat pernyataan pribadi.”
Pada dasarnya, regulasi di Perancis memang melarang ungkapan yang “memicu atau mendukung aksi kekerasan.” Akan tetapi, Kementerian Kehakiman Perancis meminta undang-undang itu direvisi berkenaan dengan teror yang marak terjadi. Menurut Kehakiman Perancis, mereka yang menyebar hate speechterorisme harus dihukum maksimal (denda $82 ribu serta kurungan penjara 7 tahun).
“Banyak orang mengatakan tidak adil mendukung Charlie Hebdo sambil membiarkan Dieudonné (pelawak Perancis yang dihukum dua bulan kurungan akibat mengunggah postingan bernada dukungan kepada penembak Charlie Hebdo) disensor,” kata Mathieu Davy, pengacara dan pemerhati hak-hak media.
“Tapi, ada batasan yang jelas dalam sistem hukum kita. Saya berhak mengkritik ide, konsep, atau agama. Saya memiliki hak untuk mengkritik kekuasaan di negeri ini. Namun, saya tidak punya hak untuk menyerang orang dan menghasut kebencian.”
Inggris juga punya pengalaman sama. Pada 2015, pengadilan memvonis bersalah gadis 22 tahun asal Irak, Alaa Esyaed, sebab dinilai menyebar dukungan kepada terorisme serta menyerukan agar anak-anak dipersenjatai. Esyaed dihukum tiga setengah tahun penjara.
Dalam menyerukan dukungannya itu, Esyaed memanfaatkan Instagram untuk mengunggah gambar tahanan yang dipancung. Di Twitter, ia membikin puisi berjudul “Bunda Martir” yang mengajak para ibu membangun kamp pelatihan di kebun belakang rumah mereka dan beberapa kali menyerukan agar “Muslim di seluruh dunia menyerang Inggris” dan “membunuh Tentara Salib dan Yahudi.”
Hakim Charles Wide, sebagaimana dikutip The Telegraph, mengatakan bahwa apa yang dilakukan Esyaed “merupakan faktor penting dalam mendorong generasi muda untuk bepergian ke luar negeri dan terlibat dalam aksi terorisme.”
Di lain sisi, Tanvir Qureshi, pembela Esyaed, menyebut materi yang disebarluaskan olehnya “sepenuhnya propaganda” serta tidak ada “saran praktis” untuk melakukan tindakan terorisme. Qureshi menambahkan, postingan Esyaed memperlihatkan sikap Muslim Sunni yang mencoba “menggembleng semangat guna memerangi milisi Syiah di Irak.”
Sementara itu, Esyaed sendiri mengaku telah melakukan tindakan sembrono dengan mengunggah serangkaian posting serupa. Ia juga menyatakan telah mempermudah orang lain untuk mendapatkan, membaca, mendengarkan, atau melihat publikasi terorisme.
Baru-baru ini di Spanyol, kejadian serupa juga terulang. Seperti diwartakan BBC, rapper bernama Cesar Strawberry dihukum satu tahun penjara akibat melontarkan pernyataan bermotif dukungan kepada teroris lewat akun Twitter-nya.
“Ini strategi terkoordinasi yang bertujuan untuk membuat orang takut berbicara, mengekspresikan diri, serta menghambat kebebasan,” ungkap Strawberry perihal penangkapannya.
Setelah kasus Strawberry, aparat berwenang kembali menangkap musisi yang tergabung dalam kelompok rap Insurgencia. Mereka dihukum dua tahun penjara karena dianggap mendukung teroris di salah satu lagunya.
Februari 2018, Mahkamah Agung Spanyol menyetujui hukuman tiga setengah tahun penjara untuk rapper Mallorcan Valtònyc. Valtònyc dinilai “memuja terorisme” dan menghina monarki dalam liriknya. Satu bulan kemudian, rapper Catalan, Pablo Hasél, juga menerima hukuman dua tahun dan denda sebesar $46.700 atas tuduhan yang sama.
Masifnya penangkapan tersebut membuat para rapper menyerukan perlawanan melalui tagar #RapearNoEsDelito (rap bukanlah kejahatan) di Twitter.
Secara keseluruhan, penangkapan tersebut berada di bawah perintah Pasal 578 KUHP Spanyol. Jumlah mereka yang ditangkap akibat melanggar Pasal 578, catat Amnesty International, begitu melonjak: dari semula hanya 3 pada 2011 menjadi 39 enam tahun setelahnya. Dalam dua tahun terakhir, hampir 70 orang dihukum sebab dinilai “mendukung terorisme.”
Sejak 2014, polisi mengadakan Operasi Laba-Laba guna “membersihkan” pengaruh terorisme. Operasi ini menyasar media sosial seperti Facebook dan Twitter. Hasilnya, puluhan orang diringkus akibat “mengunggah pesan berbau terorisme di dunia maya.”
Membungkam Kebebasan?
Apabila dirunut ke belakang, aksi penangkapan ini adalah respons terhadap maraknya teror yang muncul di kota-kota besar Eropa, dari Paris, Manchester, Brussels, sampai Barcelona. Guna meredam kemungkinan timbulnya aksi lanjutan, pemerintah menempuh sejumlah kebijakan preventif. Salah satunya adalah awasi-tangkap-ringkus siapapun yang “mendukung terorisme” di media sosial dan dunia nyata.
Bahkan pada 2017 silam, Uni Eropa telah mensahkan regulasi yang menyatakan bahwa “mendukung terorisme” sama dengan pelanggaran pidana. Ketentuan tersebut termaktub dalam Directive (EU) on Combating Terrorism 2017/541 yang berbunyi, “setiap tindakan memuji atau dukungan aksi teroris secara langsung atau tidak langsung dapat dijatuhi hukuman tindak pidana.”
Tentu saja keputusan ini memancing perdebatan sengit karena regulasi tersebut dipandang mencederai kebebasan berekspresi perorangan. Kelompok-kelompok pembela HAM mengkritik bahwa upaya penangkapan merupakan bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat sipil.
Pelapor Khusus PBB tentang Kontra-terorisme, Ben Emmerson, menyebut ekspresi atau pandangan yang dianggap "ekstrem" tidak boleh dikriminalisasi kecuali memang benar-benar berhubungan langsung dengan tindak kekerasan.
“Pemerintah harus berhati-hati menanggapi masalah yang serba samar ini. Pasalnya, ada kecenderungan untuk mengkriminalisasi 'pemujaan atau dukungan kepada terorisme'," jelasnya. "Kita tak hanya perlu membaca kata, tapi juga niat."
Emmerson menambahkan, beberapa negara telah menyalahgunakan kewenangan tersebut untuk membungkam oposisi atau ideologi yang berbeda. Tak hanya itu, pemerintah juga memanfaatkan peraturan anti-terorisme guna merepresi “jurnalis, kelompok agama, sampai pengkritik kebijakan negara.”
Di Indonesia, penangkapan warga sipil dalam kasus serupa turut memantik respons negatif. Koordinator Southeast Asia Freedom of Expression (SAFEnet) Indonesia, Damar Juniarto, menyatakan bahwa seharusnya polisi tidak perlu memidanakan mereka yang dianggap “mendukung terorisme” melalui media sosial.
“Saya rasa itu ditegur tidak masalah, tapi kalau dipidanakan atau penjara sebetulnya enggak perlu. Harus ditegur dan tidak harus dipenjara,” tuturnya.
Damar mengatakan “wajar” belaka jika polisi “menertibkan” orang yang menebar ujaran kebencian (terorisme). Namun, mereka cukup berhenti di sana. Tidak boleh ada orang yang dipidana karena mengemukakan suatu pendapat.
Pendapat Damar senada dengan yang dilontarkan Mudzakir, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia. Menurut Mudzakkir, polisi tak perlu melakukan pemidanaan, terlebih menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Interpretasi atas segala sesuatu, termasuk peristiwa tertentu, lanjut Mudzakkir, adalah hal yang lumrah. Dalam kasus terorisme, keragaman pendapat jadi semakin wajar karena aparat penegak hukum sendiri belum memaparkan keseluruhan kasus kepada publik.
Lantas, kenapa polisi tetap jalan terus? Menurut Mudzakkir, mempidana orang dengan pasal yang tidak sesuai menunjukkan bahwa polisi bertindak emosional karena anggotanya meninggal dibunuh teroris. Manusiawi memang, tapi tak layak dilakukan oleh aparat penegak hukum, apalagi ini berkaitan dengan kemerdekaan fisik orang lain.