tirto.id - Nurmala, seorang guru bimbingan dan penyuluhan (BP) di sebuah sekolah menengah negeri bercerita soal tindakan mencontek sesama siswa jadi hal yang tak terelakkan dan umum. Apalagi perkembangan teknologi saat ini telah memudahkan segala urusan.
Tindakan mencontek bukan hanya soal kemudahan melakukannya. Namun juga soal siapa yang melakukannya. Seorang murid yang berprestasi pun bisa melakukan kecurangan. “Juara kelas sekalipun pernah melakukannya,” kata Nurmala kepada Tirto.
Baca juga:Cara-Cara Anak Sekolah Berbuat Curang di Era Digital
Nurmala bercerita seorang murid paling pintar di kelas 8 di tempatnya bekerja, satu hari kedapatan mencontek karena alasan sebelum ulangan harian rutin, anak itu sibuk belajar untuk acara lomba cerdas cermat. “Ia barangkali tertekan dengan posisinya sendiri, [sebagai] sang juara-lah, langganan menang lomba-lah, dan sebagainya. Jadi ketika ia tidak siap dengan ulangan saat itu, ia terpaksa melakukan kecurangan," katanya.
Tindakan curang seperti mencontek di sekolah tidak terlepas dari peran orang tua menempatkan anak-anaknya dalam sistem pendidikan. Dr. Sarita dalam penelitian yang dipublikasikan pada International Journal of Applied Research menyatakan bahwa rumah merupakan tempat belajar utama anak, yang mana semua kegiatan di dalamnya dapat merangsang pemikiran anak dalam menyikapi segala hal, termasuk pada kompetisi dan kecurangan. Hal ini tidak lain karena pengaruh orang tua yang menuntut anak-anaknya menjadi yang terbaik di sekolah.
“Anak-anak akan mengambil risiko untuk menyenangkan orang tua mereka hanya agar dinilai lebih baik dibanding saudara kandung atau teman sebayanya. Sehingga ketika seorang anak melakukan kecurangan dan mendapat nilai bagus, mereka tidak akan merasa bersalah karena di sisi lain, mereka merasa telah membahagiakan orang tua,” tulis Sarita.
Tauhid Aminulloh, konseptor Sekolah Tani Muda dan Sekolah Wikikopi mengatakan sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia secara tidak langsung menekan siswa untuk berlomba-lomba mendapat nilai bagus. “Saya tidak pernah menanyakan, anak-anak saya mendapat peringkat berapa di sekolahnya,” kata Tauhid kepada Tirto.
Mendapat nilai bagus tentu bukan hal yang salah, tapi yang perlu dikritisi adalah bagaimana para siswa mendapatkannya, termasuk harus mencontek saat masa sekolah. Hal menyedihkan juga terjadi di dalam sistem pendidikan perguruan tinggi. Isu soal plagiarisme masih mewarnai perjalanan dunia akademis di Tanah Air. Seolah ada kesinambungan tindakan mencontek di masa sekolah hingga plagiat ke spektrum yang lebih luas lagi.
Baca juga:Temuan Plagiat Disertasi di Universitas Negeri Jakarta
Mencontek adalah perbuatan curang yang dilakukan dengan mengutip (tulisan dan sebagainya) sebagaimana aslinya. Sementara itu, plagiat, menurut Peraturan Menteri Pendidikan RI Nomor 17 Tahun 2010 adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.
Dari Mencontek Hingga Plagiarisme
Selain lingkungan keluarga, dan sistem pendidikan yang secara tidak sadar mendukung adanya kecurangan-kecurangan sejak dini. Masalah lainnya adalah posisi dan karakter seseorang memegang andil besar dalam memberi motivasi seseorang berbuat curang seperti mencontek hingga melakukan plagiat.
Tekanan dari lingkungan akan semakin meningkat, ketika seorang telah mempunyai posisi penting dalam suatu lingkungan—mulai dari sang juara kelas sampai dengan sang seniman hebat yang jauh dari kata cacat.
Baca juga:Dugaan Plagiat Karya Musik
Jonathan Bailey, seorang webmaster dan konsultan yang berperan dalam menyusun strategi perlindungan konten dan informasi dari tindakan plagiat dan pengembangan kebijakan hak cipta menyatakan bahwa orang yang dipandang lebih cerdas atau hebat umumnya memiliki tekanan lebih besar untuk menghasilkan karya yang bagus.
Di sisi lain, ilmuwan, pendidik, peneliti, seniman, musisi, dan orang-orang hebat lainnya, menurutnya, belum tentu bisa menjadi penulis yang baik. Hal ini secara langsung mendorong mereka untuk melakukan plagiat atau kecurangan-kecurangan lainnya.
“Dengan posisi mereka yang diunggulkan dalam lingkungannya, beberapa dari mereka bahkan percaya diri bahwa mereka tidak akan dianggap menjiplak karya orang lain,” kata Jonathan Bailey dalam tulisannya di Plagiarism Today.
Ia juga menyebutkan bahwa orang-orang hebat tersebut cenderung menempatkan hasil di atas proses. Sehingga tak jarang tindakan plagiat adalah cara terbaik untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan.
Hal ini juga turut disinggung oleh Teresa Fishman, seorang direktur dari International Center for Academic Integrity. "Salah satu hal yang membuat orang curang adalah ketika mereka merasa tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan secara sah," kata Teresa.
Baca juga:Gelar Dokter dari UNJ Kepada Pejabat yang Korup
Apapun bentuknya, tindakan menjiplak bukan hanya soal moral dan etika ilmiah, tapi terkait masalah hukum bila terkait hak cipta seseorang.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Suhendra