tirto.id - Denise Garcia, seorang guru matematika di West Hartford, Connecticut, Amerika Serikat terheran-heran. Dalam sebuah kelas kalkulus di program Advanced Placement—sebuah program yang dibuat untuk menawarkan kurikulum tingkat perguruan tinggi bagi siswa SMA—yang diasuhnya, ia tanpa sengaja memasukkan sebuah soal persamaan rumit yang sukar dikerjakan.
Alih-alih mendapati 15 siswanya di kelas kebingungan dengan salah satu soal yang diberikan. Salah seorang di antara mereka, secara tak terduga, bisa mengerjakan soal persamaan rumit itu dengan baik. Lengkap dengan penjelasan bagaimana ia mengerjakan soal itu.
Keheranan Garcia akhirnya terjawab. Diwartakan Wired, guru matematika tersebut ingat pernah terlibat percakapan tentang sebuah teknologi bernama Wolfram Alpha yang bisa digunakan siswa untuk berbuat curang.
Wolfram Alpha mirip seperti Google. Ia adalah sebuah layanan yang memanfaatkan kecerdasan buatan. Ia bisa memberikan jawaban langsung pada apa pun yang ditanyakan pengguna. Termasuk soal-soal matematika. Hebatnya, hanya dengan membayar $4,75 per bulan, pertanyaan tentang soal matematika akan dijawab dengan penjelasan lengkap bagaimana soal tersebut dikerjakan. Suatu hal yang memang sering diminta oleh guru.
Meskipun Wolfram Alpha dan Google sama-sama dikategorikan sebagai mesin pencari, cara kerja keduanya berbeda. Saat seseorang mengetik kata “Jakarta,” Google akan memberikan ribuan bahkan jutaan halaman web yang memiliki kata “Jakarta.” Secara sederhana, Google tak lantas memberikan jawaban utuh. Mesin pencari itu hanya menawarkan kemungkinan jawaban dari kata “Jakarta” yang diketik pengguna.
Wolfram Alpha lain lagi. Ketika seseorang mengetik kata “Jakarta” di kolom pencarian, mesin pencari tersebut menampilkan data-fakta terkait Jakarta. Tidak ada ribuan atau bahkan jutaan halaman web yang ia tawarkan. Wolfram Alpha memberikan jawaban “plek” atas kata kunci yang diketik pengguna.
Dan siswa yang berhasil menjawab soal rumit dari gurunya tersebut memang diketahui memanfaatkan Wolfram Alpha untuk mengerjakan soal itu.
Dalam dunia pendidikan, berbuat curang—baik itu mencontek maupun melakukan plagiat—bukanlah hal yang terlalu membikin gempar meski secara etis keliru. Menurut penelitian Eric Anderman, profesor di bidang psikologi pendidikan di Ohio State University, seperti ditulis Chicago Tribute, ada 85 persen siswa sekolah menengah setidaknya pernah melakukan kecurangan satu kali dalam hidupnya.
Apalagi, kini zaman telah berubah. Banjirnya informasi melalui kehadiran internet dan hadirnya beragam perangkat teknologi membuat para siswa dapat melakukan kecurangan dengan mudah. Wikipedia, Yahoo Answer, Quora, dan HowStuffWork merupakan saluran-saluran yang bisa dimanfaatkan pelajar untuk mendapatkan jawaban atas soal yang dibebankan pada mereka.
Tentu tak ada yang salah kala seorang siswa mencari jawaban di situsweb demikian. Namun, jika mencari jawaban dilakukan di tengah ujian berlangsung atau tanpa mencantumkan sumber, jelas menjadi pelanggaran akademik.
Merujuk survei yang dilakukan oleh Common Sense Media yang dipublikasikan The New York Times, dari 1.013 siswa yang disurvei, ada sepertiga atau 35 persen dari mereka pernah menggunakan ponsel setidaknya sekali untuk berbuat curang kala ujian.
Berbuat curang dengan memanfaatkan ponsel memiliki ragam gaya. Ponsel bisa langsung dilakukan untuk melakukan pencarian di internet, mengirim pesan ke teman untuk meminta jawaban, atau mengambil gambar dengan ponsel dan lantas mengirimkan hasilnya bagi temannya yang belum melakukan ujian.
Selain itu, menurut riset yang diinisiasi Jeffrey A. Robert dan David M. Wasieleski, sebagaimana diwartakan The New York Times, semakin siswa diizinkan untuk menggunakan layanan online untuk mengerjakan tugas, semakin tinggi pula kemungkinan para siswa itu menyalin karya orang lain.
Kecurangan memanfaatkan teknologi memang tengah mengalami peningkatan. Menurut laporan The Guardian, diketahui adanya peningkatan kecurangan memanfaatkan teknologi sebesar 42 persen antara tahun 2012 hingga 2016 di berbagai perguruan tinggi di Inggris Raya.
Secara lebih terperinci, di Queen Mary University of London, terdapat 54 kecurangan yang dilakukan oleh para mahasiswa. Dari jumlah itu, dua-pertiga kecurangan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi. Di University of Surrey, data menyebut bahwa terdapat 19 mahasiswa yang tertangkap tangan berbuat curang. Dua belas di antaranya memanfaatkan perangkat teknologi untuk melakukan aksi kecurangan itu.
Selain perguruan tinggi tersebut, kecurangan pun terjadi di Newscastle University. Dari salah satu universitas tertua itu, dilaporkan terdapat 91 kasus kecurangan yang dilakukan oleh mahasiswanya. Dari jumlah itu, 43 persen di antaranya memanfaatkan teknologi untuk berbuat curang.
Atas banyaknya temuan tersebut, Thomas Lancaster dari Staffordshire University mengungkapkan, “angka-angka tersebut hanya menunjukkan yang terdeteksi semata, dan mahasiswa yang melakukan kecurangan dengan baik tidak tertangkap, apalagi sekarang banyak ditemukan teknologi [dengan ukuran kecil] yang sulit dideteksi [para pengajar].”
Wikipedia
Salah satu tempat favorit di dunia maya yang dijadikan sumber plagiasi para pelajar adalah Wikipedia. Merujuk data yang dipublikasikan layanan pengecekan karya tulis online Turnitin, dari 40 juta makalah dengan 140 juta konten yang dibuat para pelajar yang diteliti oleh layanan itu, Wikipedia adalah sumber yang paling banyak memiliki kemiripan konten dengan makalah-makalah yang dibuat oleh para pelajar.
Dengan lebih dari 5 juta artikel berbahasa Inggris di situsweb ensiklopedis tersebut, tak mengerankan jika Wikipedia dijadikan acuan utama dalam setiap pengerjaan tugas makalah.
Dan merujuk pada sebuah survei yang dilakukan pada para pengguna ponsel yang dilakukan oleh Knight Foundation di bulan Mei 2016, diketahui Wikipedia menjadi rujukan utama bagi orang-orang dalam memperoleh informasi dan berita. Bahkan, capaian pengunjung bulanan situsweb itu jauh lebih tinggi dibandingkan CNN, The New York Times, Washington Post, hingga USA Today.
Masalahnya, Wikipedia bukanlah Encyclopedia Britannica. Yang disebut terakhir menggunakan pendekatan tertutup dalam menyusun materi-materi di dalamnya, sedangkan Wikipedia jalurnya berbeda. Wikipedia membuka keran pembuatan dan penyuntingan konten bagi siapa pun penggunanya.Akibatnya, terkadang ada artikel yang informasinya diragukan dengan sumber rujukan kurang jelas. Akibatnya, di dunia pendidikan, Wikipedia seakan menjadi barang terlarang. Sebuah sekolah di Warren Hills, New Jersey, Amerika Serikat, bahkan memblokir akses pada ensiklopedia online itu. Demikian yang diwartakan Arc Technica. Alasannya, akurasi artikel di Wikipedia diragukan.
Namun, meski beberapa kalangan meragukan akurasi konten di Wikipedia, sejatinya ensiklopedia itu memiliki segudang manfaat yang bisa digunakan kalangan pendidik. Melalui Wiki Education Foundation, sebuah program nirlaba yang menjebatani dunia pendidikan dengan Wikipedia, para pelajar bisa diarahkan memanfaatkan ensiklopedia online itu dengan lebih baik.
Melalui bimbingan pengajar atau profesional, para pelajar bisa dibimbing untuk membuat artikel di Wikipedia, alih-alih hanya mengkopi artikel dari sana. Merujuk pemberitaan The Washington Post, program tersebut telah menarik 14.000 pelajar dan mahasiswa yang melakukan penyuntingan atas 35.000 artikel di Wikipedia. Susan Albert, profesor dari Duke University mengungkapkan, “program ini jauh lebih baik dibandingkan [menyuruh siswa membuat] makalah.”
Di sebuah kelas ekologi yang diasuh oleh Susan Albert, para mahasiswa diminta untuk mengusulkan topik terlebih dahulu. Setelah topik disetujui, mereka diberi waktu satu semester untuk menyusun dan menyunting artikel. Hasilnya, di akhir pembelajaran, mahasiswa tersebut memiliki karya nyata yang terpampang di salah satu situsweb terpopuler di dunia tersebut.
Artikel berjudul "Vocal Learning" dan "Endurance Running Hypothesis" adalah contoh kecil dari hasil karya mahasiswa yang diasuh oleh Susan Albert.
Meskipun teknologi memungkinkan para pelajar berbuat curang lebih mudah, tak bisa dipungkiri pula bahwa teknologi bisa pula digunakan lebih bermanfaat. Natalie Jakucyn dari Glenbrook South High School mengungkapkan, “apa yang dibutuhkan para pengajar adalah beradaptasi di zaman yang penuh dengan teknologi dan mengubah [cara mereka] memberikan soal [bagi para muridnya].”
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani