tirto.id - Pada 22 April, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjatuhkan sanksi denda kepada 32 perusahaan penggemukan sapi (feedloter) terkait kartel harga daging sapi. Harapan pemerintah, hukuman ini bisa memberi efek jera dan memperbaiki pasar harga daging sapi yang rentan dengan spekulasi hingga memicu fluktuasi harga.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) lantas bertekad harga daging sapi bisa ditekan di bawah Rp80.000/kg sebelum Lebaran. Maklum saja, sejak awal Januari kenaikan harga daging sudah terjadi, hingga membuat pusing pemerintah.
Data Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat pada pekan pertama Januari 2016 harga rata-rata nasional untuk daging sapi sudah mencapai Rp109.000/kg. Harga terus merangkak naik hingga Rp112.000/kg di pekan terakhir Januari 2016, bahkan harga di pasar Jakarta sudah mencapai Rp120.000/kg pada waktu itu.
"Tiga minggu lalu saya perintahkan menteri-menteri, caranya saya tidak mau tahu, saya minta sebelum Lebaran harga daging harus di bawah Rp80.000/kg," kata Presiden Jokowi pertengahan Mei lalu seperti dikutip dari Antara.
Sesumbar Jokowi ini bukan tanpa alasan. Ia mencontohkan harga daging di Singapura atau Malaysia bisa lebih rendah dari Indonesia, hanya berkisar Rp50.000-55.000/kg. Jokowi tak mau malu lagi harga daging di Indonesia kembali tembus Rp120.000-130.000/kg bahkan mencapai Rp150.000/kg menjelang Lebaran.
"Tidak usah di bawah Rp55.000 di bawah Rp80.000 saja, menteri-menteri pada pusing semua," tegas Jokowi.
Pascakeputusan KPPU dan perintah tegas Presiden Jokowi, harga daging sapi bukannya turun. Harga daging sapi malah kembali menunjukkan tren kenaikan. Pada 6 Juni 2016 harga daging sapi untuk rata-rata nasional telah mencapai Rp116.188/kg, tepat di awal Ramadan. Harga ini termasuk yang tertinggi di tahun ini. Selama beberapa tahun, harga daging sapi rata-rata nasional memang sudah naik 50 persen lebih. Pada 2010 misalnya, harga daging masih Rp66.329/kg dan menjadi Rp99.056/kg pada 2014.
Jurus Pemadam Kebakaran
Berbagai dugaan pemicu kenaikan harga daging sapi beberapa tahun terakhir bermunculan. Dari masalah pasokan sapi yang kurang karena persoalan rantai distribusi yang panjang, hingga permainan importir sapi. Pemerintah pun yakin bisa mengatasi harga daging sapi dengan membenahi persoalan itu. Namun, upaya keputusan KPPU dan program “Tol Laut” dengan kapal khusus sapi dari NTT ke Jakarta beberapa bulan lalu, tak mampu mengendalikan harga daging sapi. Dua jurus pemerintah terbukti tumpul.
Merasa tumpul kebijakannya, maka pemerintah menempuh jalur pintas dengan membuka keran impor daging. Impor daging memang tak bisa dihindari karena kebutuhan dengan produksi dalam negeri jauh panggang dari api.
Pada 2016, kebutuhan sapi rata-rata nasional diperkirakan 2,61 kg/kapita atau total secara nasional mencapai 674,69 ribu ton yang setara dengan 3,9 juta ekor sapi hidup. Dari kebutuhan tersebut, produksi sapi lokal diperkirakan hanya mencapai 439,53 ribu ton per tahun (65 persen) atau setara dengan 2,5 juta ekor sapi. Sisanya 1,4 juta ekor atau 235,16 ribu ton berasal dari impor dalam bentuk daging beku dan sapi hidup bakalan, atau sapi yang masih harus digemukkan di dalam negeri.
“Jadi terdapat kekurangan pasokan yang mencapai 235,16 ribu ton (35 persen dari kebutuhan) yang harus dipenuhi melalui impor,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dikutip dari laman Setkab.
Jelang lebaran, impor daging sapi beku diberikan secara luas kepada BUMN dan pelaku swasta. Selama ini impor daging beku hanya menjadi ranah Perum Bulog. Pemerintah memberikan penugasan impor sapi kepada Perum Bulog sebanyak 10.000 ton, PT Berdikari 5.000 ton, dan PT Darmajaya 500 ton. Selain itu pemerintah juga memberikan izin impor daging kepada pihak swasta, sehingga totalnya ada 27.400 ton daging sapi beku yang siap diguyur ke pasar.
"Saat ini harganya (daging) Rp120.000-130.000. Presiden menginginkan harga Rp80.000, bagaimana caranya, ya dibuka impornya," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung dikutip dari Antara.
Menggelontorkan daging beku impor ke masyarakat untuk meredam harga tak terbukti efektif. Tiga tahun lalu ketika Perum Bulog mendapat penugasan impor daging pada akhir Juli 2013 sebanyak 3.000 ton, tingkat serapannya malah rendah. Daging itu baru bisa terserap oleh pasar hampir 1,5 tahun setelahnya. Padahal harga daging sapi beku pada waktu itu dijual dengan harga miring hanya Rp68.000/kg, dibandingkan harga daging segar yang bisa mencapai Rp90.000-100.000/kg. Persoalan lainnya, daging sapi beku impor mendapat sorotan soal kehalalannya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sementara YLKI menyoroti berat yang berkurang sehingga merugikan konsumen.
"Kandungan air daging beku bisa mencapai 20 persen hingga 30 persen. Bila konsumen membeli satu kilogram daging beku, volume dagingnya hanya tujuh ons hingga delapan ons saja," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
Setelah impor, pemerintah fokus menggelar Operasi Pasar (OP) dan pasar murah untuk menekan harga daging sapi. Pemerintah bekerja sama dengan pemerintah daerah, dan swasta. Kegiatan pasar murah berada di 202 titik yang tersebar di 34 provinsi. Sedikitnya ada 66 pelaku usaha berpartisipasi menyediakan komoditas masing-masing dengan menjual harga miring jelang Lebaran termasuk daging sapi.
Selain impor dan OP, jurus membelok pun ditempuh. Pemerintah melempar wacana ikan sebagai pengganti daging sapi. Ini seolah mempertegas terhadap ketidakberdayaan pemerintah dalam mengendalikan harga daging sapi. Presiden Jokowi menyampaikan perlunya kampanye makan ikan sebagai subtitusi daging sapi. Alasannya, karena mengkonsumsi ikan tak ada isu soal haram atau halal.
“Dengan demikian, kampanye untuk memakan ikan ini akan dilakukan untuk pengganti daging,” kata Pramono Anung dikutip dari Setkab.
Akar Masalah Belum Dibenahi
Persoalan kenaikan harga daging ini merupakan masalah lama, bahkan pemerintah punya andil pada masa lalu. Ambisi pemerintah demi mengejar target swasembada kerap dilakukan dengan melalui “jalan pintas”. Kebijakan memangkas kuota impor sapi hidup maupun daging beku sehingga memicu spekulasi di pasar daging. Meski kontribusi daging dan sapi impor tak signifikan dari total kebutuhan nasional, tetapi faktanya setiap kebijakan pemangkasan impor selalu berdampak pada kenaikan harga. Penyebabnya karena persoalan populasi sapi dan produksi daging dalam negeri yang belum bisa memenuhi kebutuhan.
Kondisi populasi sapi lokal, produksi daging, dan jumlah impor memengaruhi pergerakan harga rata-rata nasional. Misalnya pada 2011, saat ada pemangkasan impor daging sapi besar-besaran, harga daging sempat naik meski tak signifikan menjadi Rp69.641/kg. Hal ini karena adanya peningkatan produksi daging sapi lokal sehingga menutup berkurangnya pasokan impor.
Kondisi berbeda justru terjadi pada 2012, ketika harga daging sapi melonjak hingga menjadi Rp76.925/kg. Pemangkasan kuota impor ternyata memberikan dampak yang kuat pada kenaikan harga, meski pada populasi dan produksi sapi naik. Sementara di 2013, harga daging sapi makin tinggi hingga menembus Rp 90.401/kg, meski impor sudah tidak lagi dibatasi. Hal ini disebabkan karena produksi daging lokal turun yang diperparah anjloknya populasi sapi lokal, yang menjadi ancaman swasembada.
Upaya pemerintah mencapai swasembada selalu ditempuh dengan pengendalian impor termasuk di era Presiden SBY. Harapannya dengan kuota impor dipangkas bisa mengangkat harga sapi lokal sehingga peternak semangat. Tekad kuat untuk swasembada sendiri muncul dengan melihat peningkatan produksi sapi Indonesia yang datanya kerap dipertanyakan.
Pada 2011, pemerintah merilis hasil sensus sapi yang mencatat ada populasi 14,824 juta ekor sapi. Angka ini membuat pemerintah cukup percaya diri, sehingga ada kebijakan pemangkasan kuota impor daging sapi yang signifikan untuk memantapkan target swasembada di 2014. Pada 2010, impor daging sapi sempat mencapai 91,39 ribu ton, dan turun menjadi 66,3 ribu ton pada 2011.
Setelah pergantian pemerintahan, upaya memangkas kuota impor kembali jadi pilihan. Tahun lalu, Menteri Pertanian Amran Sulaiman memangkas kuota impor sapi bakalan untuk triwulan III-2015 hanya 50.000 ekor sapi. Biasanya, rata-rata impor yang diberikan mencapai di atas 200.000 ekor sapi bakalan. Kebijakan ini langsung merangsek harga daging sapi di dalam negeri terutama di Jabodetabek dan Jawa Barat. Dua daerah ini bukan kawasan produksi sapi lokal.
Rendahnya populasi sapi sangat menentukan stabilisasi harga daging di dalam negeri. Pemerintah memang tak tinggal diam, Kementan menargetkan 1.000 Sentra Peternakan Rakyat (SPR) hingga tahun 2017 untuk meningkatkan produksi daging dan susu nasional. Upaya lain ditempuh, dengan pendekatan teknologi agar meningkatkan bobot sapi lokal bisa bertambah untuk menyampai bobot sapi impor.
"Jika ini terus ditingkatkan, tidak hanya untuk produksi dalam negeri, tetapi kita juga bisa ekspor sapi," kata Amran dikutip dari Antara.
Pada masa pemerintahan sebelumnya uang triliunan rupiah digelontorkan untuk mencapai swasembada daging sapi, tapi tak ada hasil nyata. Pada 2012 misalnya, anggaran khusus di Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Direktorat Perbibitan Ternak Kementerian Pertanian saja mencapai Rp2,4 triliun.
Langkah pemerintah mengatasi persoalan daging sudah ditempuh dari berbagai upaya, mulai dari perbaikan distribusi dengan tol laut, penegakkan hukum dengan pemberantasan kartel melalui KPPU. Namun lonjakan harga daging tak bisa dikendalikan.
Pemerintah tak boleh lupa karena untuk memperbaiki pasar harga daging sapi memang butuh “jamu”, dengan kerja nyata dengan peningkatan produksi daging dan populasi siap potong. Lemahnya produksi dan populasi sapi hanya akan menimbulkan kekambuhan baru terhadap spekulasi dan kartelisasi di bisnis daging yang membuat harga mudah fluktuatif.