tirto.id - Daging sapi masih menjadi barang mahal bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan harga mencapai Rp120.000 per kilogram, daging merupakan pilihan terakhir dalam hidangan kebanyakan masyarakat Indonesia. Tidak sedikit yang hanya bisa mencicipi daging manakala Idul Adha tiba.
"Daging sapi bagi masyarakat kurang mampu seperti kami merupakan makanan istimewa, karena itu kami hanya mampu makan daging sapi sekali setahun,” kata Sefi warga Jember, Jawa Timur dikutip dari Antara.
Orang miskin seperti Sefi per Maret 2016 mencapai 28,01 juta orang, belum termasuk orang yang hampir miskin. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mencatat ada 30 persen penduduk Indonesia yang status kesejahteraannya terendah, berjumlah hingga 75,48 juta orang atau sekitar 30 persen dari total penduduk. Kelompok masyarakat semacam ini punya kemampuan pengeluaran yang rendah dan konsumsi daging yang juga rendah.
Berdasarkan pengeluaran per kapita sebulan untuk daging di daerah perkotaan dan perdesaan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) 2013, seseorang yang pengeluarannya Rp100.000-149.999 per bulan maka porsi kemampuan membeli untuk daging hanya Rp193 per bulan. Artinya, sangat mustahil seseorang dengan kemampuan pengeluaran sebesar itu bisa membeli daging yang harganya sudah Rp120.000 per kilogram. Pengeluaran segmen ini lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti beras.
Bandingkan dengan seseorang yang pengeluarannya di atas Rp1 juta per bulan, kemampuan membeli daging mereka Rp36.985. Artinya mereka punya kemampuan bisa membeli atau mengkonsumsi daging sebanyak 3,6 kilogram per tahun. Konsumsi ini masih jauh lebih rendah dari rata-rata konsumsi daging secara global.
Konsumsi Rendah
Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) bisa bicara banyak soal rendahnya konsumsi daging orang Indonesia. Untuk konsumsi daging sapi 2015 misalnya, orang Indonesia hanya mampu mengkonsumsi 1,9 kg daging sapi per kapita per tahun. Jauh di bawah rata-rata konsumsi daging sapi secara global yang berada di angka 6,4 kg per kapita per tahun.
Indonesia memang masih lebih baik dari India yang hanya 0,5 kg per kapita per tahun. Namun, Indonesia masih kalah jauh dari negeri jiran Malaysia yang rata-rata warganya mampu mengkonsumsi daging sapi 5,7 kg per kapita per tahun, dan Arab Saudi yang mencapai 3,9 kg per kapita per tahun.
Mengacu data OECD itu, berarti konsumsi daging sapi harian orang Indonesia rata-rata hanya 5,2 gram. Di sisi lain, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) punya angka yang cukup menohok, sampai saat ini rata-rata konsumsi jeroan (non daging) orang Indonesia mencapai 2,1 gram per hari. Meski masih lebih rendah atau setengahnya dari konsumsi daging, tapi konsumsi jeroan ini cukup besar.
Akar semua ini adalah harga daging sapi yang terus naik. Ironisnya pemerintah belum lama ini malah mengimpor jeroan untuk menekan harga daging sapi. Sebuah keputusan pintas yang makin membawa kalangan bawah justru jauh dengan keterjangkauan dari daging sapi.
"Kita menjaga harga daging di Rp80.000 per kilogram. Akhirnya kita mencari pilihan, artinya masyarakat diberikan pilihan selain daging segar, ada frozen dan jeroan," kata Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan) I Ketut Diarmita dikutip dari Antara.
Jurus lain juga ditempuh pemerintah yakni dengan daging kerbau impor untuk menambal kurangnya pasokan daging sapi. Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah memberikan izin impor sebanyak 10.000 ton pada periode Agustus – September. Sampai Desember nanti, Kementan berencana mendatangkan 80.000 ton daging kerbau yang dilakukan secara bertahap. Daging kerbau India itu diharapkan bisa memenuhi stok kebutuhan daging sampai Desember 2016.
Berbagai jurus tadi belum bisa menekan harga daging yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di angka Rp80.000 per kilogram. Harga daging belum bisa berkompromi bagi kalangan kelas bawah dan masyarakat pada umumnya.
Harga Tak Kompromi
Memasuki triwulan III-2016 harga daging masih di atas Rp100.000 per kilogram. Kemendag mencatat harga rata-rata daging sapi nasional saat ini masih di rentang Rp113.800-114.200/kg. Harga ini malah lebih tinggi dari harga rata-rata pekan pertama Januari 2016 yang masih Rp109.000/kg, dan Rp112.000/kg di pekan terakhir Januari 2016.
Harga daging nasional bukan naik kali ini saja. Misalnya pada 2011, harga rata-rata nasional masih Rp69.641/kg. Setahun berikutnya harga rata-rata daging sapi melonjak hingga menjadi Rp76.925/kg. Pada 2013, harga daging sapi makin tinggi hingga menembus Rp90.401/kg. Dalam lima tahun sudah ada kenaikan harga daging sapi hingga 65 persen atau rata-rata 13 persen per tahun.
Harga yang terus naik tinggi ini tak mungkin terjangkau bagi mereka yang berada di garis kemiskinan. BPS mencatat garis kemiskinan orang Indonesia Rp354.386 per kapita per bulan pada posisi Maret 2016. Ini sama saja, pengeluaran orang miskin hanya bisa untuk membeli 3 Kg daging sapi dalam sebulan, dan itu suatu yang mustahil.
Inilah yang membuat kaum miskin sangat antusias bila ada pembagian daging korban di Idul Adha. Beberapa kasus di daerah, mereka harus antre hingga ricuh. Ada juga yang sampai meregang nyawa. Kisah kakek jadi korban meninggal saat antre daging kurban 2013 lalu di Masjid Istiqlal, barang kali sudah tak banyak orang yang masih mengingatnya.
Konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia memang rendah, dan perayaan kurban tentunya sebuah berkah. Namun berkah sesungguhnya bagaimana pemerintah membuat kebijakan yang membuat daging sapi bisa lebih terjangkau kaum papa.
Jangan biarkan orang-orang seperti Sefi hanya bisa tersenyum sehari dalam setahun untuk sebuah daging yang harganya jauh dari terjangkau bagi mereka.