Menuju konten utama

Menanti Untung Jualan Karbon, RI Harus Punya Aturan yang Jelas

Indonesia belum punya aturan jelas untuk pasar karbon di Indonesia dan hanya berkutat dengan masalah karbon yang dihasilkan PLTU.

Menanti Untung Jualan Karbon, RI Harus Punya Aturan yang Jelas
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sekaligus Ketua Dewan Kehormatan BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bahlil Lahadalia menyampaikan sambutan saat Rapat Tim Perumus Pleno Munas XVII HIPMI di Badung, Bali, Sabtu (7/1/2023).ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/tom.

tirto.id - Pada Rabu (3/5/2023) Presiden Joko Widodo mengumpulkan sejumlah jajarannya di Istana Merdeka, termasuk Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia. Tujuannya, membahas optimalisasi kebijakan perdagangan karbon Indonesia.

Indonesia sebenarnya sudah punya aturan perdagangan karbon, misalnya, yang terbaru UU Nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang ditetapkan Januari 2023. Lewat aturan ini, maka perdagangan karbon hanya bisa dilakukan dalam bentuk bursa karbon atas izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Melalui rapat ini, Indonesia ingin ada keuntungan maksimal bagi perdagangan karbon. Caranya, menurut Bahlil, adalah menjual kredit karbon di dalam negeri.

“Jangan negara tetangga yang tidak mempunyai penghasil karbon, tidak punya tempat CO2, tapi dia membuka bursa karbon itu, kita tidak ingin. Barang, aset milik negara harus dikelola maksimal oleh negara dan harus pendapatan untuk negara,” kata Bahlil dalam rapat tersebut.

Singkatnya, perdagangan karbon (carbon trading) adalah jual-beli kredit pengeluaran karbon dioksida atau gas rumah kaca. Dengan begini, maka perusahaan atau negara yang menghasilkan gas rumah kaca lebih sedikit daripada jumlah batas karbonnya bisa menjual sisa kuotanya ke negara lain.

Sedangkan mereka yang menghasilkan CO2 lebih banyak daripada batas yang ditentukan harus membayar denda atau membeli kredit karbon milik perusahaan atau negara lain.

Harapannya, negara dan perusahaan berlomba-lomba menghasilkan gas rumah kaca yang sangat minim. Dengan begitu, perusahaan atau negara bisa mendapatkan keuntungan daripada harus mengeluarkan uang lebih karena besaran gas CO2 yang dihasilkan.

Masalahnya, menurut analis dari Climate Policy Iniative Indonesia Alke Rabinsa Haesra, menyebut Indonesia belum punya aturan jelas untuk pasar karbon di Indonesia. Sejauh ini, Indonesia hanya berkutat dengan masalah karbon yang dihasilkan PLTU.

“Baseline penentuan harga seperti apa? Satu karbon dari PLTU apakah sama dengan karbon dari transportasi atau dari mesin produksi? Yang penting itu pricing untuk ditentukan karena harga kewajaran naik turun ditentukan dari baseline itu karena yang belum ada adalah kewajaran harga itu yang bisa diterima swasta dan masyarakat,” kata Alke dalam diskusi di Jakarta hari Rabu (10/5/2023).

Hal senada diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Dia mendukung adanya penetapan tarif dan perizinan, termasuk penyelenggara pasar karbon di Indonesia.

“Di Eropa jelas penyelenggara bursa karbon boleh dari bursa komoditas, bursa berjangka, atau bahkan perusahaan-perusahaan teknologi. Di Swedia, setiap individu bisa beli kredit karbon dengan kripto karena pasarnya terbuka,” ucap Bhima dalam diskusi yang sama.

Penetapan tarif ini menjadi penentu besar karena menurut Bank Dunia, pendapatan global dari carbon pricing pada 2022 mencapai 84 miliar dolar AS, naik hampir 60 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sedangkan Indonesia berhasil menurunkan emisi CO2 sebesar 40,6 juta ton (2018), 54,8 juta ton (2019), 64,4 juta ton (2020), 70 juta ton (2021), 91,5 juta ton (2022), dan pada 2023 diproyeksikan bisa 116 juta ton yang berpotensi untuk diperdagangkan.

Saat ini, harga kredit karbon masih terlalu timpang. Indonesia, menurut Bahlil punya harga karbon 10 dolar AS, sedangkan Eropa 100 dolar AS. Namun, dengan harga demikian, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mencatat perdagangan karbon di Indonesia dapat menembus 300 miliar dolar AS atau sekitar Rp4.625 triliun reboisasi hingga penggunaan energi baru terbarukan (EBT).

Baca juga artikel terkait PASAR KARBON atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Bisnis
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Restu Diantina Putri