Menuju konten utama

Menanti Realisasi 3T Masif Saat Pengendalian COVID-19 Insignifikan

Mengetatkan test dan tracing merupakan janji pemerintah sejak awal masa pandemi. Namun sampai sekarang peningkatannya tak signifikan.

Menanti Realisasi 3T Masif Saat Pengendalian COVID-19 Insignifikan
Petugas medis mengambil sampel darah saat melakukan rapid test kepada sejumlah warga Petamburan di SDN 01 Petamburan, Jakarta Pusat, Selasa (24/11/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Selasa (9/2/2021), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan tahun ini anggaran penanganan COVID-19 dialokasikan lebih besar di wilayah hulu, meliputi penegakan diagnosis yakni tracing dan testing plus vaksin. Anggaran lebih kecil dialokasikan di sisi hilir, yakni untuk merawat mereka yang sakit.

“Anggaran untuk menangani orang yang sakit Rp61 triliun, sedangkan anggaran diagnosis plus vaksin, anggaran yang diberikan untuk menangani orang yang masih sehat atau preventif, itu Rp13,76 triliun ditambah Rp58 triliun [vaksin]. Jadi total sekitar Rp71 triliun,” kata Budi.

Anggaran di hulu dijanjikan akan dialokasikan untuk melakukan tracing terhadap minimal 15 orang yang kontak dengan terjangkit. Tahun ini diasumskan ada 1,7 juta orang terjangkit COVID-19 di Indonesia. Kemudian orang-orang ini akan dites menggunakan antigen atau PCR dengan perhitungan biaya rata-rata Rp500 ribu.

Untuk pelaksanaan tracing, kata Budi, butuh 80 ribu orang. Selama ini jumlah petugas masih sangat kurang. Agar hal serupa tak terulang, tahun ini Bhabinkamtibmas dan Babinsa akan dilibatkan.

Konsekuensi pengetatan di sektor hulu adalah meningkatnya kasus. “Ini terjadi di India. Ini strategi di India. Yang akan terjadi nanti jumlah kasus akan naik karena lebih banyak yang terlihat,” ujarnya.

Janji Kesekian

Janji meningkatkan kapasitas tracing, testing, dan treatment (3T) sebenarnya telah digembar-gemborkan pemerintah sejak awal masa pandemi. Presiden Joko Widodo misalnya mengatakan ini pada pertengahan Juli 2020. “Tetap ada konsen kita untuk memasifkan 3T dengan prioritas... di delapan provinsi,” kata Jokowi dalam rapat terbatas digelar di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/7/2020).

Saat itu pandemi telah berlangsung lima bulan. Kasus COVID-19 tercatat di angka 76.981 dengan total orang yang diperiksa 630.149.

Memasuki bulan ketujuh pandemi dan bulan ketiga penegasan Jokowi, penerapan 3T masih mendapatkan rapor merah. Jumlah tes memang terus bertambah, 188.689 orang sepanjang 23-29 September. Namun jumlah itu masih jauh di bawah standar WHO, yakni 1 orang per 1.000 penduduk selama satu pekan. Dalam konteks Indonesia, berarti harus ada 268 ribu penduduk dites dalam satu pekan.

Kondisi ini diperparah dengan ketimpangan tes antar provinsi. Dari 188.689 tes, 39,3 persen di antaranya, yakni 74.338 tes, disumbangkan oleh DKI Jakarta.

Pun demikian dengan tracing. Saat itu rasio tracing dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia hanya 1-9 orang. Angka itu masih jauh dari standar WHO yakni 15-30 kontak erat per satu kasus.

Epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane saat itu mengatakan janji 3T dari pemerintah “masih berkisar jargon dan wacana.” Akibatnya “teman-teman surveilans di lapangan jadi putus asa.”

Berkaca dari itu, rencana untuk memasifkan 3T terutama testing dan tracing kali ini kembali diragukan. “Saya kalau boleh jujur tidak terlalu optimistis,” kata epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Mouhammad Bigwanto kepada reporter Tirto, Rabu (10/2/2021). “Kita sering mendengar lip service, cuma ngomong,” tambahnya.

Kalaupun testing dan tracing meningkat, menurutnya tetap saja sulit berharap banyak karena kebijakan di luar itu tak mendukung. “Angka semakin naik tapi bikin kebijakan bukan semakin ketat tapi semakin kendur,” katanya. “Karena peningkatan 3T itu tidak akan berhasil kalau mobilitas masyarakat tidak dibatasi.” Ketika mobilitas tak dibatasi, makin banyak seseorang bisa saling bertemu, maka makin sulit pula penerapan tracing.

Terlebih saat ini pengetatan tingkat mikro yang baru saja diberlakukan oleh pemerintah tak jelas tata laksananya, kata Bigwanto.

Hal sama diungkapkan epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman. Kebijakan peningkatan 3T tanpa dibarengi pengetatan di masyarakat akan sulit untuk berhasil. Pengetatan yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, kata Dicky.

“Pembatasan harusnya sesuai regulasi dan tidak dimodifikasi. Di mana benar-benar tidak ada aktivitas apa pun, namun tetap harus ada penguatan 3T. Dan jangan lupa dukungan pada masyarakat rawan ekonomi,” kata Dicky kepada reporter Tirto.

Sejumlah kebijakan pembatasan selama pandemi memang telah dilakukan. Pertama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang cukup ketat, kemudian memberlakukan PSBB transisi yang lebih longgar, lalu diubah lagi menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk wilayah Jawa dan Bali dan sekarang menjadi PPKM skala mikro.

Hasilnya masih belum signifikan dalam mengendalikan COVID-19. Hingga 10 Februari 2021 total kasus mencapai 1.183.555 dengan orang yang dites sebanyak 6.553.179. Dengan begitu positivity rate sebesar 18,1 persen, jauh melebihi standar 5 persen dari WHO untuk bisa disebut pandemi terkendali.

Baca juga artikel terkait COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino