tirto.id - Jusuf Kalla (JK) saat menjadi wakil presiden (Wapres) periode pertama, 2008 lalu sempat "menyentil" seorang menteri yang gedung kementeriannya kedapatan masih terang benderang di malam hari. Saat itu, JK memang sedang gencar mencanangkan gerakan hemat energi, sampai-sampai suhu AC di gedung-gedung pemerintah hanya boleh dihidupkan pada suhu 25 derajat celsius.
Berselang sewindu, gerakan serupa masih menyisakan asa. Pada 15 Mei 2016, Sudirman Said, saat masih menjabat Menteri ESDM kala itu meluncurkan "Gerakan Potong 10 persen". Gerakan nasional ini sebagai upaya pemerintah mensosialisasikan program hemat energi melalui kehidupan sehari-hari seperti hemat konsumsi listrik. Target dari program ini memang cukup beralasan bila melihat kondisi kelistrikan nasional saat itu. Hingga awal April 2016, masih ada enam wilayah yang masih defisit pasokan listrik, antara lain Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Baca juga:Menghitung Ulang Ancaman Krisis Listrik di Masa Depan
Selain itu, hitung-hitungan di atas kertas, dengan adanya "Gerakan Potong 10 persen" bisa setara dengan penghematan pembangunan 3,5 GW listrik yang dihasilkan oleh PLTU. Di tengah krisis listrik di beberapa daerah, konsumsi listrik pada tahun itu cukup tinggi, sepanjang semester I-2016, pertumbuhan penjualan listrik mencapai 7,82 persen dibandingkan Semester I-2015. Secara total pada tahun lalu penjualan listrik tumbuh hingga 6,49 persen.
Namun, memasuki 2017, semua jadi berkebalikan. Penjualan listrik PLN mengalami perlambatan cukup parah. Pada kuartal I-2017 hanya tumbuh 2,4 persen, padahal periode yang sama tahun lalu sempat naik 8,15 persen. Titik terendah kelesuan penjualan listrik terjadi pada semester I-2017 yang tercatat 107,410 GWh, atau hanya tumbuh 1,37 persen. Penjualan listrik sempat membaik pada Januari-September 2017 yang mengalami kenaikan sebesar 3,1 persen.
"Naiknya penjualan listrik PLN ini menjadi sinyal positif bahwa ekonomi Indonesia terus tumbuh dengan baik," kata Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi dan Kerja Sama Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.
Sayangnya, angka ini ternyata masih jauh di bawah target dalam revisi soal Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2017-2026, yang berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 1415 K/20/MEM/2017. Pada tahun ini ditargetkan penjualan listrik bisa tumbuh 7,8 persen dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,1 persen. Penurunan atau kenaikan penjualan listrik di Indonesia memang sangat erat dengan geliat ekonomi.
Sebagai contoh, pada 2015 saat ekonomi hanya tumbuh 4,7 persen, penjualan listrik cuma tumbuh 2,1 persen, begitu pula yang terjadi pada 2009, saat ekonomi hanya menggeliat 4,6 persen, penjualan listrik cukup naik 4,3 persen saja. Padahal tahun sebelumnya, saat ada gencar gerakan penghematan listrik, penjualan listrik naik 6,4 persen, di atas dari pertumbuhan ekonomi.
Khusus tahun ini, pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2017 hanya akan mencapai 5,1 persen atau di bawah target dalam APBN-P 2017 sebesar 5,2 persen. Proyeksi ini tentu menjadi catatan bagi pertumbuhan penjualan listrik di tahun ini. Saat bersamaan, pemerintah punya gagasan soal penyederhanaan golongan pelanggan listrik PLN, yang ujung-ujungnya menyasar para pelanggan listrik non subsidi. Dari para pelanggan listrik non subsidi ini yang memungkinkan bisa dimaksimalkan potensinya. Selain tarif listrik yang sudah keekonomian atau jauh lebih tinggi dari golongan yang disubsidi, pelanggan non subsidi dianggap punya kemampuan daya beli.
Tambah Daya Demi Dorong Penjualan
PLN bersama Kementerian ESDM berencana melakukan perubahan golongan pelanggan listrik rumah tangga non-subsidi. Dengan kata lain, perubahan golongan ini akan menyasar pelanggan dengan golongan 1.300 VA, 2.200 VA, 3.300 VA, dan 4.400 VA akan naik menjadi 5.500 VA. Sebelumnya, golongan pelanggan 900 VA non subsidi akan masuk skema ini, tapi akan dikeluarkan.
Upaya melakukan perubahan golongan pelanggan tentu bukan tanpa alasan. Bila mengacu data konsumen PLN 2016, jumlah pelanggan rumah tangga penerima subsidi ada sebanyak 29,5 juta pelanggan. Angka itu terdiri dari golongan 450 VA mencakup 23 juta rumah tangga dan golongan 900 VA dengan 6,5 juta pelanggan. Sedangkan untuk pelanggan non-subsidi (golongan 900 VA-12.600 VA) tercatat sebanyak 28,5 juta rumah tangga. Selisih jumlah pelanggan dua kelompok besar ini hanya terpaut 1 juta pelanggan.
Untuk memaksimalisasi konsumsi listrik, tentu saja 28,5 juta pelanggan yang masuk dalam kelompok non subsidi berpotensi menambah permintaan listrik bila ada penambahan daya listrik. Rencana penambahan daya para pelanggan berbarengan dengan kondisi suplai listrik yang berlebih terutama di Pulau Jawa. Sehingga sangat sulit bila kebijakan ini tak terkait dengan kondisi kelistrikan yang dikelola PLN.
Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir, akhirnya angkat suara di tengah ingar bingar kontroversi rencana penyederhanaan golongan pelanggan PLN. Menurutnya setelah tiga tahun program 35.000 Mega Watt bergulir, sudah ada tambahan kapasitas listrik hingga 7.000 MW, terutama di Jawa yang cadangan listriknya cukup besar.
"Hari ini saja cadangan listrik kita mencukupi antara 30-40 persen," kata Sofyan Basir dikutip dari Antara.
Kondisi cadangan yang besar ditambah adanya perlambatan penjualan listrik tentu masalah besar bagi PLN. Apalagi ini dikaitkan dengan nasib para produsen listrik swasta (IPP) yang selama ini memasok listrik ke PLN dan sudah berinvestasi besar. PLN pun juga merasakan hal yang sama. Semua ini tentu punya risiko, dan persoalan ini sudah dipikirkan jauh-jauh hari dalam poin-poin RUPTL. RUPTL punya skenario program mitigasi risiko kelistrikan yang sudah disiapkan.
Salah satunya program mitigasi risiko yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No 5899 K/20/MEM/2016 tentang pengesahan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN 2016-2025. Pada RUPTL tersebut menggariskan sebuah skenario mitigasi risiko bila realisasi penjualan listrik lebih rendah daripada demand forecast
"Mengupayakan peningkatan pemasaran secara agresif dan proaktif apabila terdapat indikasi pertumbuhan penjualan lebih rendah dari yang diprediksi."
Skenario kebalikan juga disiapkan, atau cara yang paling lazim. Saat realisasi penjualan lebih tinggi daripada demand forecast, maka strategi yang dilakukan adalah "mengendalikan atau membatasi penyambungan pelanggan baru maupun tambah daya. Mengefektifkan demand side management (DSM), termasuk penghematan listrik oleh konsumen."
Yang terjadi saat ini malah kebalikannya, ini bisa dimaknai bahwa upaya menaikkan daya atau golongan pelanggan listrik non subsidi bisa dikaitkan dengan "upaya peningkatan pemasaran secara agresif" seperti yang tertera dalam RUPTL. Langkah tersebut disinyalir dapat meningkatkan tagihan listrik 28,5 juta pelanggan, di sisi lain bisa berpotensi menambah penjualan listrik.
Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ada beberapa indikator yang bisa menguatkan dugaan tersebut. Salah satunya, adanya formula pemakaian minimum yang diterapkan PLN bagi pelanggan. Pemakaian minimum untuk pelanggan listrik daya 1.300 VA adalah 88 kWh setara dengan Rp129.000, sedangkan golongan 5.500 VA pemakaian minimal adalah 220 kWh, atau setara Rp320.800.
"Apalagi diduga PT PLN terjerat take or pay listrik swasta (IPP). Atas dampak over supply dan take or pay dari IPP itulah kemudian bebannya ditransfer ke konsumen rumah tangga," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi seperti dikutip Antara.
Fabby Tumiwa, dari Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan sudah gamblang bahwa ide naik daya ini dimaksudkan untuk menaikkan penjualan listrik PLN. Namun, ia termasuk yang pesimistis strategi ini akan berhasil mendongkrak penjualan listrik. Alasannya sederhana, di Indonesia konsumsi listrik erat kaitannya dengan tingkat ekonomi sebuah pelanggan khususnya di segmen rumah tangga. Pelanggan golongan 5.500 VA ke bawah tentu mencoba rasional dengan melakukan pengendalian konsumsi listrik bila biaya listrik melampaui 6-7 persen dari pendapatan mereka.
“Apakah cara ini efektif? saya tidak yakin,” kata Fabby.
Rencana kebijakan penyederhanaan golongan pelanggan listrik memang masih menjadi "tes pasar" oleh pemerintah untuk mendapat respons publik. Namun, apabila kebijakan ini benar-benar diterapkan di kemudian hari, tentu pemerintah perlu ingat dengan risiko lain yang siap menghadang di masa depan. Persoalan defisit listrik kronis yang bisa terjadi kala konsumsi listrik naik tinggi saat membangun pembangkit listrik bukan perkara mudah di Indonesia.
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra