tirto.id - "Om atma tattwatma naryatma swadah,Ang Ah. Om swargantu, moksantu, sunyantu, murcantu. Om ksama sampurnaya namah swaha..."
Mantra itu dibaca keras lewat pelantang suara. Membuat siapa saja yang mendengarnya terenyuh.
Isak memenuhi ruang yang dipenuhi ratusan keluarga korban pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh di perairan Karawang, pekan lalu. Tangan mereka menelungkup dan kepala menunduk. Bibir mereka komat-kamit mengikuti pengeras suara. Mereka bernaung di bawah tenda putih berukuran 50 meter x 25 meter, senada dengan warna kain yang membalut kursi.
Lantunan doa selesai. Seorang petugas perempuan meminta keluarga korban menuju bagian belakang kapal yang biasa disebut buritan. Permintaan itu terdengar dari pengeras suara: "Posisi ada di lambung kiri. Kepada bapak-ibu dipersilakan menuju buritan."
Puluhan prajurit berseragam biru laut segera menghampiri keluarga korban yang keluar menuju lambung kiri. "Ini adalah lokasi jatuhnya pesawat." Sontak mereka berhamburan menuju pagar pembatas di sekeliling buritan. Tangis kian pecah.
Seorang prajurit menghampiri keluarga Windy dengan membawa karangan bunga berwarna putih. "Sabar..." ucap lelaki itu.
Dia menerima karangan bunga, lantas mengangkat tinggi-tinggi dan bersiap melemparkannya ke Perairan Tanjung Pakis, Karawang.
Tiba-tiba saya mendengar seorang perempuan berlogat Batak di ujung buritan. Sambil menggenggam ujung pagar besi, perempuan itu berteriak. "Kenapa kau tinggalkan aku sendirian? Aku masih mau di sini," ujarnya sesenggukan.
Perempuan itu menangisi suaminya. Mereka dipisahkan pagar besi. Satu di atas kapal, satu lagi di bawah permukaan laut. "Aku tak mau pisah. Jangan pergi!"
Tubuhnya melemas, setengah badan ia biarkan menempel di pagar.
Saat perempuan itu masih menangis, Windy selesai menaburkan bunga. Tak jauh dari Windy, seorang lelaki bernama Kevin Nainggolan, 23 tahun, hanya bisa terdiam. Kevin kehilangan kekasihnya, Vita Damayanti Simarmata, pramugari Lion Air. Ia tak meneteskan air mata dan tak ikut menaburkan bunga ke lautan.
"Tabur bunga simbol bahwa ia tidak bernyawa lagi. Saya masih berharap Vita dapat ditemukan oleh nelayan dan masih bernyawa. Meski pihak Basarnas bilang kecil kemungkinan masih ada yang selamat."
Senin pagi sebelum kejadian, Vita tidak memberikan kabar kepada Kevin melalui aplikasi pesan instan. Biasanya perempuan berusia 22 tahun kerap mengabari jika hendak berangkat kerja. "Pagi itu, datang kabar dari kawan saya kalau pesawat yang ditumpanginya lost contact," ujar Kevin.
Kesedihan yang dirasakan Kevin juga dirasakan Hilmah. Ia adalah ayah dari Merry Handayani, 23 tahun, salah satu korban jatuhnya pesawat tersebut. Selama lima hari terakhir, Hilmah tidak mau makan, bahkan enggan berbicara kepada siapa pun.
Darman, kakek Merry dan orangtua Hilmah, mengatakan cucunya adalah anak semata wayang Hilmah dan Aida. "Ia tulang punggung keluarga, bantu-bantu orangtua," ucap dia sembari membenarkan letak pecinya.
Merry berdomisili di Balajara, Tangerang. Ia telah jadi pramugari selama empat tahun terakhir. Hingga kini, jenazah Merry belum teridentifikasi.
Sudah sembilan hari keluarga para korban ini ditampung Lion Air di Hotel Ibis Central, Cawang.
Selasa siang (6/11/2018), KRI Banjarmasin dan KRI Banda Aceh mengangkut ratusan anggota keluarga korban Lion Air JT610 ini dari dermaga Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil) Tanjung Priok ke perairan Tanjung Pakis, Karawang. Selain berdoa, keluarga korban juga diagendakan menabur bunga.
Namun, seperti Kevin, banyak dari keluarga korban yang enggan memaknai perjalanan berdurasi dua jam ini sebagai simbol 'pengantar' para korban ke alam lain. Namun, mereka tidak menolak doa bersama.
Usai dari buritan, keluarga korban kembali menuju tenda. Isak mulai berkurang. Mereka meninggalkan pembatas, meninggalkan para korban dengan kesedihan.
Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Muhammad Syaugi yang hadir dalam acara tidak berhenti meyakinkan keluarga korban, Basarnas akan terus mengupayakan evakuasi. "Ini adalah tanggung jawab kami. Bapak-ibu jangan khawatir," katanya.
Besok adalah hari ke-10 proses evakuasi, atau hari terakhir masa pencarian korban setelah diperpanjang selama tiga hari. Tapi Syaugi menegaskan kalau akan ada evaluasi terlebih dahulu. Akan ditentukan apakah masa pencarian kembali diperpanjang atau benar-benar dihentikan.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino