tirto.id - Pada 6 Oktober 1981, tepat hari ini 37 tahun lalu, pemerintah Mesir menggelar parade militer di Kairo untuk memperingati keberhasilan pasukan negara itu dalam menyeberangi Terusan Suez di Operasi Badr. Operasi yang dilakukan pada 1973 itu kemudian berdampak pada kemenangan atas Israel di Perang Yom Kippur. Anwar Sadat duduk di tribun khusus dengan dikawal empat lapis pengamanan plus delapan pengawal pribadi—kondisi yang seharusnya cukup aman untuk sang presiden.
Ketika jet-jet Mirage milik Angkatan Udara Mesir terbang di atas kepala peserta dan penonton, tentara angkatan darat dan truk-truk pengangkut artileri mulai melewati jalur parade. Yang tak diketahui Sadat, di dalam regu itu juga terdapat Letnan Khalid Islambouli, anggota organisasi radikal Jihad Islam Mesir yang sukses menyusup di tubuh militer dan punya rencana untuk melenyapkan nyawa Sadat.
Persis di depan tribun tempat Sadat dan jajaran perwakilan negara sahabat lain duduk, Islambouli menodongkan pistolnya ke supir truk agar berhenti paksa. Bersamaan dengan turunnya pasukan pelaksana rencana jahat dari truk, Islambouli mendekati Sadat sambil membawa tiga buah granat tangan yang ia sembunyikan di bawah helm-nya. Ia kemudian memberi salam ala militer. Sadat, yang tak menaruh kecurigaan barang secuilpun, juga berdiri dan membalas hormat.
Dengan gerakan cepat Islambouli mengambil dan melempar ketiga granatnya ke arah Sadat. Hanya satu yang meledak. Pasukan Islambouli menembaki tribun dengan senapan otomatis AK-47 sampai amunisinya habis, lalu berusaha melarikan diri. Beberapa timah panas berhasil menembus tubuh Sadat hingga ambruk. Sementara itu orang-orang di tribun melempar kursi-kursi ke sekeliling Sadat untuk melindunginya dari hujan peluru susulan.
Aksi teror berlangsung selama dua menit. Pasukan keamanan yang sempat tertegun dengan serangan tak terduga Islambouli kemudian melancarkan serangan balasan dan berhasil menangkap Islambouli. Selain Sadat, ada sekitar sepuluh orang lain yang menderita luka parah, antara lain duta besar Kuba untuk Mesir, Jederal Oman, dan Uskup Ortodoks Koptik. Dua puluh lainnya luka-luka ringan, termasuk Wakil Presiden Hosni Mubarak, Menteri Pertahanan Irlandia James Tully, dan empat perwira militer Amerika Serikat.
Sadat kemudian diterbangkan ke sebuah rumah sakit militer dan menjalani operasi oleh 11 dokter. Sayang, nyawanya tak dapat diselamatkan karena mengalami pendarahan parah di internal rongga dada dan perobekan paru-paru sebelah kiri serta pembuluh darah di bawahnya.
Dua jam berselang, pria kelahiran Monifia, 25 Desember 1918 itu mengembuskan napas terakhir di usia 62. Berita dukanya menyebar cepat ke penjuru Mesir dan menimbulkan beragam reaksi: tergantung sikap si penerima berita terhadap kebijakan mendamaikan Mesir dan Israel yang dijalankan Sadat beberapa tahun sebelumnya.
“Hero of the Crossing”
Muhammad Anwar el-Sadat lulus dari Royal Military Academy di Kairo di tahun 1938. Sadat muda memasuki militer Mesir sebagai letnan kedua dan ditempatkan di Sudan yang kala itu masih jadi satu dengan Mesir. Di sana ia bertemu Gamal Abdul Nasser, kamerad terbaiknya, dan kawan-kawan lain yang benci dengan korupsi akut di tubuh monarki Raja Faruk serta dominasi Inggris di berbagai sektor dalam negeri.
Kebencian ini berevolusi menjadi organisasi militer rahasia bernama Free Officer. Sadat, Nasser, dan kawan-kawan kemudian melancarkan revolusi sungguhan untuk menggulingkan Raja Faruk dari takhtanya pada 1952. Sadat adalah sosok yang mengumumkan kemenangan revolusinya lewat radio yang disiarkan ke seluruh pelosok Mesir.
Di masa kepemimpinan Nasser, Sadat ditunjuk untuk mengisi beberapa jabatan. Pada 1954 ia menjadi Menteri Negara sekaligus editor untuk harian corong pemerintah baru, Al Gomhura. Lima tahun berselang, ia mengambil posisi Sekretaris Perhimpunan Nasional. Setahun kemudian pindah ke jabatan Presiden Majelis Nasional (1960-1968). Setelah Nasser meninggal dunia pada Oktober 1970, Sadat menduduki posisi sebagai Presiden Mesir ke-3. Sebelumnya, dua kali ia menjadi wakil presiden untuk Nasser, yakni pada 1964 dan 1969.
Di awal pemerintahannya, Sadat adalah pejuang Islam di mata aktivis muslim konservatif. Ia membebaskan para tahanan politik yang dipenjara di era Nasser. Ia memberi ruang bagi Islam konservatif untuk tumbuh agar memperoleh timbal balik secara politis. Sikap Sadat berguna di akhir 1973 saat Perang Yom Kippur pecah dan kelompok Islamis amat mendukung perjuangan pasukan Mesir melawan Israel.
Perang Yom Kippur atau Perang Oktober diluncurkan Sadat untuk merebut Semenanjung Sinai dan Dataran Tinggi Golan di Suriah yang dianeksasi Israel sejak memenangi Perang Enam Hari pada 1967. Serangan Mesir dan Suriah tak diduga sama sekali oleh dunia internasional. Amerika Serikat dan Rusia, plus negara-negara di belakang dua adidaya itu, sampai hampir melangsungkan Perang Dunia ke-3.
Gencatan senjata sempat terjadi pada 22 Oktober 1973 sebagai hasil pertemuan antara AS dan Rusia yang dimediasi PBB, namun kemudian dilanggar kedua pihak selama tiga hari selanjutnya. Perang benar-benar berhenti pada gencatan senjata kedua di mana secara politik Mesir dan Suriah dinilai keluar sebagai pemenang sebab kedua wilayah hasil aneksasi Israel berhasil direbut kembali.
Sadat kemudian dikenal dunia sebagai “Hero of the Crossing”. Dunia Arab memujinya setinggi langit sebab kemenangan di Perang Yom Kippur menjadi pelipur lara atas kekalahan memalukan pasukan Arab dari Israel di Perang Enam Hari. Israel sendiri mengakui Sadat adalah musuh yang tangguh. Terusan Suez kembali dibuka dan rakyat Mesir mengelu-elukannya—terutama kalangan Islam konservatif.
Terbunuh karena Ingin Damai
Perang Yom Kippur juga membukakan mata Sadat dan analis politik di dunia Arab lain atas sebuah fakta penting: Israel tak dapat dikalahkan secara militer. Bagi Sadat, Dunia Arab harus mengendurkan ambisi melenyapkan Israel secara paksa dengan jalan militer. Sadat kemudian menempuh pekerjaan berisiko besar: mendamaikan Mesir dengan negara zionis tersebut.
Pada 19 November 1977 Sadat jadi pemimpin negara Arab pertama yang berkunjung secara resmi ke Israel. Di sana ia bertemu Perdana Menteri Menachem Begin dan para politikus parlemen Israel untuk membagikan pandangannya tentang perdamaian komprehensif antara Israel dan dunia Arab, termasuk pelaksanaan resolusi pascaperang PBB yang tercantum di nomor 242 dan 338.
Perjanjian Damai Mesir-Israel betul-betul ditandatangani Sadat dan Begin di Gedung Putih, Washington D.C, AS pada 26 Maret 1979 sebagai hasil dari negosiasi rahasia di Camp David yang dilaksanakan pada 17-29 September 1978. Perjanjian yang difasilitasi Presiden AS Jimmy Carter ini membuahkan hadiah Nobel Perdamaian untuk Sadat dan Begin. Dalam pidato penerimaan hadiah prestisius tersebut, Sadat berkata:
“Mari kita mengakhiri perang, marilah kita membentuk kembali kehidupan dengan dasar keadilan dan kebenaran yang kokoh. Dan seruan ini mencerminkan kehendak rakyat Mesir, sebagian besar masyarakat Arab dan Israel, dan jutaan pria, wanita, dan anak-anak di seluruh dunia yang Anda hormati sekarang. Dan mereka inilah yang akan menilai sampai sejauh mana para pemimpin yang bertanggung jawab di Timur Tengah dalam menanggapi harapan umat manusia.”
Dunia Barat memuji langkahnya, sementara mayoritas dunia Arab dan sejumlah elemen masyarakat Mesir marah besar. Sadat dinilai telah mengangkangi cita-cita Pas-Arabisme Gamal Abdul Nasser dan menghancurkan cita-cita melindungi Palestina dari plot jahat Zionisme. Citra pengkhianat makin menebal karena Sadat menjalin hubungan strategis dengan AS. Liga Arab pun menangguhkan status Mesir di organisasi mereka dan memindahkan markas pusatnya dari Kairo ke Tunis, Tunisia.
Salah satu kelompok yang amat jengkel dengan Sadat adalah Jihad Islam Mesir. Mereka segera merekrut milisi bersenjata dan merencanakan makar. Namun, rencana ini ketahuan. Pada Februari 1981 otoritas Mesir menangkap lebih dari 1.500 orang-orang yang diduga terlibat makar. Tak hanya anggota Jihad Islam Mesir yang diamankan, namun juga orang-orang Kristen Koptik dan siapapun yang dianggap berpotensi mengacaukan stabilitas nasional.
Sayangnya, dari ratusan anggota resmi, orang yang beberapa bulan berselang sukses menghabisi nyawa Sadat adalah simpatisan Jihad Islam yang diam-diam berada di tubuh militer Mesir. Sadat dan Khalid Islambouli punya keyakinan agama yang sama, tetapi politik membuat Islambouli gelap mata. Usai menuntaskan misinya, Islambouli yang sempat ditahan selama enam bulan akhirnya dieksekusi mati bersama 23 pelaku lain pada 15 April 1982.
Mirip serangan terhadap Sadat, penghukuman kali itu juga melibatkan sepasukan eksekutor, senjata laras panjang, dan timah panas yang menghujam kencang ke tubuh Islambouli. Dan hingga kini, warga dunia yang terbelah dalam isu Israel juga punya dualisme sikap terhadap sosok Islambouli: mengecamnya atau menjunjungnya sebagai martir.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 6 Oktober 2017 dengan judul "Membunuh Anwar Sadat". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan