Menuju konten utama
28 Agustus 1984

Kisah Presiden Pertama di Negeri Para Firaun

Naguib (Presiden pertama Mesir) yakin bahwa tugas utama tentara bukan untuk memerintah, melainkan melindungi pemerintah dari pelbagai ancaman.

Kisah Presiden Pertama di Negeri Para Firaun
Header Mozaik Muhammad Naquib. tirto.id/Ecun

tirto.id - Sejarah Mesir identik dengan kerajaan. Negeri ini mulai bertransformasi menjadi republik sekitar tujuh dekade yang lalu. Presiden pertama Republik Mesir adalah Muhammad Naquib. Ia tidak sepopuler Gamal Abdul Nasser yang berkuasa lebih dari 15 tahun, ataupun Hosni Mubarak yang memimpin Mesir selama tiga dekade.

Naquib tidak memiliki reputasi seperti Nasser yang terkenal dengan Gerakan Non Blok dan Konsep Pan-Arab. Rekaman video terkait Presiden Naquib pun tidak ada yang sedramatis video penembakan Presiden Anwar Saddat ketika mengikuti acara militer.

Meski demikian, bukan berarti Naquib tidak memiliki warisan penting. Justru perannya menjadi penentu bagi perjalanan Republik Mesir.

Anak Kolong yang Mencuat di Tengah Krisis

Terlahir dari keluarga yang berlatar belakang militer, Naquib tergolong petempur dengan tingkat pendidikan yang sangat tinggi di masanya. Ia tamatan Magister Hukum dan Ekonomi Politik. Menjadikannya anggota militer pertama yang mendapatkan kesarjanaan di bidang hukum.

Ketika melanjutkan studi ke tingkat doktoral, Naquib tidak sampai menamatkan studinya. Tugas dan tanggung jawab menyita waktunya ketika menjadi perwira di kedinasan.

Anak kolong yang lahir di kota Khartoum--sekarang ibu kota Sudan--ini sebenarnya tidak dipersiapkan orang tuanya untuk menjadi seorang kombatan. Kerasnya perjalanan karier dan perjuangan hidup sebagai seorang serdadu menjadi alasan Naquib senior untuk mengarahkan anaknya tidak menempuh karier yang sama.

Naquib muda tumbuh seperti kebanyakan anak muda lainnya di masa itu. Ia mengagumi nama besar dan kualitas kepemimpinan para pesohor seperti Napoleon hingga Kemal Attaturk. Meski demikian, ia tidak mengadopsi cara kerja dan filosofi keduanya ketika berkuasa.

Dalam memoarnya Naquib mengakui bahwa sebelum Mesir memutuskan untuk memerangi Israel di Palestina, kondisi Mesir secara politik dan ekonomi tidak cukup kuat. Praktik suap sudah mengakar dan membudaya.

Para tuan tanah hidup bergelimang harta tanpa harus membayar pajak. Pengangguran makin bertambah dari tahun ke tahun. Harga-harga kebutuhan pokok tidak terkendali. Standar hidup di perdesaan bahkan jauh dari kata layak.

Menurut Jason Brownlee dari Univesity of Texas dalam “Failed Transitions from Monarchy in the Middle East: Egypt” (2008), kesenjangan sosial antara tuan tanah dan keluarga kerajaan sangat timpang. Sebesar 5 persen rakyat memiliki 37 persen lahan di seantero Mesir.

Perang Arab-Israel pada 1948 menjadi titik nadir instabilitas politik dan ekonomi Mesir. Mereka merasa dipermalukan dengan kekalahan perang yang didapatkan dari sebuah negara baru. Ketidakpuasan kepada Raja Farouk pun kian memuncak di sebagian besar rakyat Mesir.

Ketika terpilih menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, Naquib mampu memenangkan hati rakyat Mesir dalam waktu singkat. Terlepas dari kekalahan Mesir di perang Arab-Israel, Jenderal Naquib tetap dianggap pahlawan bagi rakyat Mesir (Gacem, Post 1952 Egypts & Egypt-British Relation, 2018).

Ia mengambil kesempatan ini untuk menyuarakan penyebab kekalahan perang dari Israel, yakni kurangnya dukungan logistik dari penguasa. Bahkan para penguasa hidup bermewah-mewahan di saat ribuan tentaranya menyabung nyawa di Palestina.

Naquib berjanji akan mengembalikan kebanggaan rakyat Mesir terhadap negaranya. Eksistensi pasukan Inggris di Mesir juga ia angkat menjadi sebuah masalah besar yang harus segera diselesaikan segera.

Keberatan Naquib pada eksistensi pasukan Inggris merupakan perwakilan dari kemuakan jutaan rakyat Mesir. Inggris masih bercokol di Terusan Suez dan menikmati keuntungan finansial dari lalu lintas kapal dagang.

Revolusi Juli

Secara de jure, kawasan Semenanjung Sinai, Terusan Suez dan sekitarnya masuk wilayah Mesir. Namun secara de facto, Inggris yang berkuasa di kawasan tersebut. Inggris mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari kapal-kapal yang melintasi Terusan Suez.

Kebobrokan pemerintahan Raja Farouk mendorong rakyat Mesir untuk segera mengganti kekuasaan. Ia dianggap tidak mampu bertindak tegas terhadap serentetan ketegangan antara pasukan Inggris dan pejuang Mesir. Sudah ratusan pejuang Mesir tewas dalam konflik tersebut.

Nasser dan para pengikutnya yang tergabung dalam Free Officers berencana mengkudeta Raja Farouk. Pada 23 Juli 1952, Anwar Sadat--salah seorang anggota Free Officers--mengumumkan kudeta melalui siaran radio. Ia mengumumkan bahwa militer mengambil alih kekuasaan. Free Officers juga menguasai pusat militer dan menangkap petinggi militer yang dianggap loyalis Raja Farouk.

Setelah kudeta dianggap berjalan sesuai rencana, Free Officers membentuk Dewan Komando Revolusi yang dipimpin oleh Jenderal Muhammad Naquib. Selama masa transisi kekuasaan, Mesir akan diperintah oleh dewan ini.

Revolusi Juli tergolong pergantian kekuasaan yang moderat jika dilihat dari jumlah korban jiwa. Tercatat hanya dua orang serdadu yang tewas selama kudeta. Para pemimpin revolusi cenderung untuk merestorasi sistem sosial yang meminimalisasi korban jiwa. Mereka juga menghapus sistem feodal dan memberangus praktik suap yang sudah membudaya.

Meski sebagian rakyat menginginkan pemenggalan Raja Farouk, para tokoh revolusi menginginkan Raja Farouk beserta keluarga pergi meninggalkan Mesir secepatnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari perang saudara.

Pemungutan suara sempat dilakukan secara terbuka untuk menentukan sikap Dewan Revolusi terhadap kelanjutan hidup Raja Farouk. Hasilnya, dari 13 suara 7 di antaranya memilih Raja Farouk untuk mencari suaka ke negara lain. Sementara sisanya menginginkan Raja Farouk mendapatkan sanksi pidana.

Selanjutnya Naquib ingin mengaktifkan peran parlemen dan melindunngi hak-hak sipil. Sistem pemerintahan yang semula kerajaan diubah menjadi republik. Kekuasaan yang sebelumnya terpusat di satu tangan mulai dibagi sesuai dengan tupoksinya masing-masing.

Naquib sejatinya tidak pernah merebut hati para revolusioner garis keras. Meski ia didaulat menjadi Ketua Dewan Revolusi, nyatanya Kolonel Nasser punya pengaruh yang lebih besar, khususnya di kalangan Free Officers--pergerakan yang muncul di tubuh tentara--yang secara de facto dipimpin Gamal Abdul Nasser.

Infografik Mozaik Muhammad Naquib

Infografik Mozaik Muhammad Naquib. tirto.id/Ecun

Proses transisi menuju demokratisasi tidak berjalan mulus. Reformasi Undang Undang Agraria memicu konflik horizontal. Pada Undang Undang Agraria yang baru, negara tidak mengizinkan seorangpun memiliki lahan lebih dari 80 hektare. Akibatnya, para tuan tanah yang selama ini menikmati sistem feodal merasa dirugikan.

Josep Montada dari Universidad Complutense de Madrid menjelaskan dalam jurnal berjudul “Oppositional Movements in Egypt, from 1952 to Mubarak’s Downfall”, bahwa ketika Kolonel Naser diangkat menjadi Perdana Menteri dan Presiden Naquib sebagai Kepala Negara, dualisme kepemimpinan di Mesir tidak terhindarkan.

Berbagai kepentingan dan aliran politik yang selama ini tenggelam di era kerajaan, muncul ke permukaan untuk mendekati penguasa. Fatsun politik tradisional memilih menggunakan bendera baru meski cara-cara lama masih diusung agar tetap dekat dengan kekuasaan.

Partai Wafd yang sebelumnya menjadi pendukung Raja Farouk--partai yang dikuasai oleh para tuan tanah--juga berusaha bertahan di tengah badai krisis politik dengan mendukung Presiden Naquib.

Pada 26 Oktober 1954, seorang anggota pergerakan Islamis melakukan percobaan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Nasser yang sedang berpidato di Alexandria, namun gagal. Nasser selamat dan tidak terluka.

Percobaan pembunuhan ini memperuncing ketegangan antara Free Officers dengan kelompok pergerakan Islamis yang dekat dengan Naguib. Akibatnya, hubungan antara Presiden Naquib dan Perdana Menteri Nasser merenggang.

Kaum pergerakan Islamis sebenarnya memiliki andil yang cukup besar ketika melakukan kudeta terhadap Raja Farouk. Bahkan Yusuf Ozdemir dari Middle East Technical University mengatakan dalam desertasinya, bahwa Nasser dan Naquib merupakan simpatisan mereka sebelum terjadi revolusi.

Selama rezim Presiden Nasser berkuasa, Naquib dijadikan tahanan rumah. Semua tamu yang datang ke rumah Naquib harus mendapat izin resmi dari aparat yang bertugas. Banyak di antaranya yang tidak memiliki akses pada Naquib sama sekali.

Memoar Sang Demokrat

Sebelum meninggal, Naquib sempat menerbitkan memoar berjudul Egypt’s Destiny (1955). Ia menceritakan bagaimana kekalahan perang dari Israel hingga mengapa memilih berhenti sebagai presiden.

Saat ia digulingkan oleh Nasser, Naquib tidak melakukan perlawanan militer meski memiliki kemampuan untuk mencetuskan perang. Ia mengakui bahwa Nasser seorang pemimpin yang diyakini punya kemampuan luar biasa.

Bahkan sekali waktu Naquib pernah menjanjikan Nasser menjadi suksesornya di masa yang akan datang. Setelah Nasser muda memiliki pengalaman yang cukup, Naquib berencana meletakkan jabatan dan memberi ruang untuk Nasser sebagai penggantinya. Meski pada akhirnya cara dan waktu suksesi tidak sesuai dengan rencana awalnya.

Sebagai seorang kombatan, ia tetap berkeyakinan bahwa tugas utama tentara bukan untuk memerintah, melainkan melindungi pemerintah dari pelbagai ancaman.

Naquib dianggap penguasa Mesir pertama yang berlatar belakang pribumi sejak Romawi menaklukkan Mesir. Namun ia menganggap semua etnik yang ada di Mesir merupakan pribumi dan berhak untuk memperoleh kesempatan politik yang sama.

Naquib berhasil menahan syahwat politiknya untuk berkuasa secara penuh. Walaupun hal ini juga menjadi bumerang bagi efektifitas kinerjanya sebagai seorang presiden. Sungguh tidak mudah menjadi presiden pertama di republik yang berabad-abad hidup dengan budaya Kerajaan.

Baca juga artikel terkait PRESIDEN MESIR atau tulisan lainnya dari Zulfria Nanda

tirto.id - Politik
Kontributor: Zulfria Nanda
Penulis: Zulfria Nanda
Editor: Irfan Teguh Pribadi