Menuju konten utama

Mesir dan Suriah Menjadi Satu dalam Republik Persatuan Arab

Persatuan Arab pernah tercipta di masa lalu, saat Suriah dan Mesir bergabung dalam Republik Persatuan Arab selama 3 tahun 7 bulan.

Gamal Abdel Nasser (kiri) dari Mesir sebagai Presiden atas Republik Persatuan Arab. FOTO/Getty Images

tirto.id - Pada periode 1950-an, gagasan pan-Arab tengah melanda dunia Timur Tengah. Gagasan ini adalah ideologi nasionalisme Arab yang mendukung penyatuan negara-negara di kawasan Afrika Utara dan Asia Barat untuk membentuk negara persatuan.

Adalah Gamal Abdul Nasser, Presiden Mesir yang kala itu bersinar dan sangat bersemangat membawa ide-ide nasionalisme Arab agar dapat bersaing dengan dunia dan menentukan posisi Mesir terhadap kawasan Timur Tengah. Ia kemudian mengawali nasionalisme Arab dengan menyatukan Mesir dan Suriah.

Nasser, yang saat itu sangat populer di dunia Arab semenjak Perang Suez, membuat tawarannya ihwal nasionalisme Arab menjadi lebih mudah mendapat perhatian mata publik Timur Tengah dan Afrika Utara.

1 Februari 1958 menjadi tonggak dasar pembentukan persatuan tersebut dengan nama Republik Persatuan Arab. Tonggak ini justru dicetuskan pihak Suriah oleh sekelompok pemimpin politik dan militer yang mau menggabungkan diri di bawah kepemimpinan Gamal Abdul Nasser di Mesir.

Saat itu sentimen pan-Arab sedang kuat melanda rakyat Suriah. Buku James Jankowski berjudul Nasser's Egypt, Arab Nationalism, and the United Arab Republic menyebut Partai Ba’ath yang menggabungkan nasionalisme Arab dengan sosialisme sangat populer di kalangan masyarakat Suriah. Maka, tak heran jika partai itu turut menganjurkan penyatuan Suriah dengan Mesir, memuluskan keinginan Nasser.

Belum lagi dukungan dari tubuh militer Suriah. Menurut Steel & Silk: Men & Women Who Shaped Syria 1900-2000 karya Sami Moubayed, diangkatnya Afif al-Bizri menjada Kepala Staf Angkatan Darat oleh Presiden Suriah Shukri al-Quwatli turut membawa perubahan pada tubuh militer di Suriah. Afif al-Bizri yang lebih condong ke sosialisme menyebarkannya di tubuh militer Suriah bahkan sejak tahun 1950-an.

Bersekutunya Nasser dengan Uni Soviet membuat Afif al-Bizri makin membekali pemahaman tentang pentingnya pan-Arab di jajaran angkatan darat Suriah. Ia mendukung penuh langkah Nasser untuk menggabungkan Mesir dengan Suriah.

Puncak dukungan Suriah terjadi ketika Bizri memimpin delegasi pejabat Suriah yang memohon kepada Nasser agar persatuan penuh antara Suriah dan Mesir, pada 11 Januari 1958.

Sebuah referendum terkait pembentukan Republik Persatuan Arab kemudian diselenggarakan di Suriah pada 21 Februari 1958. Menurut Direct Democracy, sebanyak 1.312.859 pemilih mendukung berdirinya Republik Persatuan Arab, dan 139 orang menolaknya. Ada 1.312.808 pemilih mendukung Gamal Abdul Nasser menjadi presiden mereka, dengan penolakan sebanyak 190 orang.

Di hari yang sama, Mesir menggelar referendum serupa. Menurut buku Elections in Africa: A Data Handbook karya Nohlen & Thibaut, pembentukan Republik Persatuan Arab didukung 6.102.128 orang dan mendapat 247 penolakan, sedangkan suara tidak sah maupun kosong menyisakan 1.884 orang. Sosok Gamal Abdul Nasser untuk menjadi presiden atas Republik Persatuan Arab didukung 6.102.116 rakyat Mesir. Sebanyak 265 orang lainnya menentang dan ada suara tidak sah maupun kosong sebanyak 1.881 orang.

Hasil referendum ini kemudian menjadi dasar bersatunya Mesir dan Suriah yang terpisah secara geografis menjadi Republik Persatuan Arab pada 22 Februari 1958 dengan ibukota Kairo.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/02/22/TIRTO_1947RepublikPersatuanArab-01.JPG" width="860" alt="Infografik Republik Arab" /

Juni 1960, Nasser mulai mereformasi perekonomian Suriah agar lebih sesuai dengan sektor publik di Mesir. Setahun kemudian, Juli 1961, seperti tertulis dalam buku Nasser: A Political Biography karya Robert Stephens, seluruh perdagangan kapas diambil alih oleh pemerintah Mesir beserta perusahaan ekspor-impor tanpa berkonsultasi dengan pejabat ekonomi Suriah.

Nasser juga mengumumkan nasionalisasi bank, perusahaan asuransi dan semua industri berat lainnya pada 23 Juli 1961. Prinsip keadilan sosial diperluas dengan membatasi kepemilikan tanah, suku bunga untuk petani, pengenaan pajak 90 persen bagi penghasilan di atas £10.000.

Berbagai kebijakan yang dianggap baik oleh Nasser ini belum pernah terjadi sebelumnya di Suriah. Standarisasi ala Mesir ini justru menjadi bumerang bagi keberlangsungan Republik Persatuan Arab. Alih-alih federasi bagi kedua bangsa Arab ini, Suriah justru melihat ada dominasi besar-besaran dari Mesir terhadap Republik Persatuan Arab.

Hal lain yang menggoyang keras dua bangsa yang bersatu dengan landasan nasionalisme Arab ini adalah sikap Mesir yang mendikte Suriah hingga ke tataran politik. Nasser menuntut untuk semua partai politik di Suriah dibongkar. Negara Mesir sangat terpusat akan sistem politik dan ekonomi sosialis, sedangkan di Suriah hal ini masih lemah.

Sekalipun Partai Ba’ath yang kuat berkuasa di Suriah bercorak sosialis dan seharusnya menjadi sekutu alami Mesir, tapi nyatanya Nasser masih enggan dan ragu-ragu berbagi kekuasaan dengan mereka. Nasser pada akhirnya kesulitan menemukan sistem politik yang cocok bagi rezim baru ini.

Puncaknya ketika pengawasan terhadap Suriah yang lemah, kerusuhan tumbuh di tubuh militer Suriah. Tanggal 28 September 1961, sekelompok perwira termasuk juga Afif al-Bizri melakukan kudeta dan menyuarakan kemerdekaan Suriah dari Republik Persatuan Arab.

Sekalipun Afif al-Bizri juga bercorak sosialis, Nasser justru turut melucuti kekuatan komunis di Suriah. Ini sebenarnya sudah terlihat sejak awal penggabungan, saat Nasser meminta agar unsur-unsur komunis di Suriah disingkirkan. Namun, permintaan itu ditolak oleh delegasi Suriah karena dukungan besar untuk persatuan nasionalisme Arab justru datang dari partai-partai berhaluan sosialis dan komunis.

Dengan keluarnya Suriah, otomatis Republik Persatuan Arab juga turut bubar karena hanya menyisakan Mesir sendiri. Republik tersebut hanya bertahan 3 tahun 7 bulan. Suriah kemudian kembali menjalani sebagai negara berdaulat, begitu juga dengan Mesir.

Republik Persatuan Arab pun urung mendapat dukungan dari Yordania dan Irak yang pemerintahan monarkinya dekat dengan sang sekutu: Inggris. Kedua negara monarki ini tampak memusuhi persatuan Arab yang diupayakan oleh Nasser.

Bagaimanapun, ide-ide pan-Arab atau nasionalisme Arab yang ingin mengakhiri dominasi intervensi politik Barat atas Timur Tengah maupun Afrika Utara tidak serta merta sirna seiring dengan runtuhnya Republik Persatuan Arab yang berumur singkat tersebut. Beberapa politikus Timur Tengah setelah periode tersebut masih menunjukkan kecenderungan nasionalisme Arab. Misalnya Saddam Hussein, Muammar al-Gaddafi, hingga Bashar al-Assad.

Baca juga artikel terkait TIMUR TENGAH atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani