tirto.id - Jutaan warga Mesir tumpah ruah turun ke jalan. Mereka memadati kota-kota, terutama di alun-alun Tahrir, Kairo. Para pengunjuk rasa bersikeras tidak akan pulang sampai Hosni Mubarak meletakkan jabatannya. Selama belasan hari, pemandangan seperti ini mewarnai warga Mesir yang turun ke jalan sejak 26 Januari 2011.
Hosni Mubarak tidak mudah menyerah. Berbagai tawaran kompromi ia sodorkan ke rakyat. Ia ingin turun dalam situasi damai hingga mengalihkan jabatannya kepada Wakil Presiden Omar Suleiman. Namun, rakyat bergeming dan tetap ingin pemerintahan Hosni Mubarak segera diakhiri.
Dalam reportasenya untuk BBC, Yolande Knell menyaksikan bagaimana rakyat Mesir berbondong-bondong melakukan protes anti-pemerintahan hingga pasukan keamanan kewalahan dan kalah jumlah. Laporan mengenai kemiskinan, tingkat pengangguran bagi pemuda, korupsi, dan serangkaian tindak penyiksaan dari pemerintah kepada warganya dipersoalkan, hingga aksi massa semakin besar.
Kemenangan rakyat datang pada 11 Februari 2011, tepat hari ini 10 tahun lalu. Hosni Mubarak menyerahkan kekuasaannya kepada militer yang disampaikan oleh Wakil Presiden Omar Suleiman, mengakhiri hampir tiga dekade masa pemerintahan tangan besi. Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata akan menjalankan urusan negara.
Nasib Hosni Mubarak sendiri setelahnya adalah menjalani serangkaian persidangan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya, terutamanya korupsi dan pelanggaran HAM selama 30 tahun ia berkuasa.
Pada 2012, Mubarak dijatuhi hukuman penjara seumur hidup setelah dinyatakan bersalah atas keterlibatannya dalam pembunuhan para demonstran di tangan pasukan keamanan selama Februari 2011. Enam tahun berselang, pada awal Maret 2017, pengadilan banding tertinggi Mesir membersihkan namanya dari tuduhan atas kematian 900 warga Mesir selama kurun 25 Januari hingga 11 Februari 2011.
Seperti dilansir Al Jazeera, Mubarak meninggalkan rumah sakit militer Maadi di pinggiran selatan Kairo pada Jumat (24/32017), tempat ia menjalani tahanan karena alasan kesehatan dan usia senja. Dia pulang ke rumahnya di kawasan elite Heliopolis dengan pengamanan ketat. Mubarak sejatinya dijatuhi hukuman seumur hidup pada tahun 2012, tetapi pengadilan banding menolaknya dua tahun kemudian.
Kiprah Hosni Mubarak
Hosni Mubarak lahir di wilayah kegubernuran Al Minufiyah, di utara Mesir pada 4 Mei 1928 silam. Sebelum terjun di dunia politik, kariernya banyak dihabiskan di dunia militer. Menjabat sebagai komandan militer Angkatan Udara Mesir pada periode 1972 -1975, ia kemudian naik pangkat menjadi Marsekal Kepala Angkatan Udara Mesir pada 1973.
Tahun 1973 sebelum diangkat menjadi Marsekal, Angkatan Udara Mesir pimpinan Mubarak pernah meluncurkan serangan kejutan pada tentara Israel di tepi timur Terusan Suez. Para pilot Mesir berhasil memukul 90 persen target mereka. Peristiwa ini juga mengantarkan Mubarak menjadi Marsekal pemimpin tertinggi Angkatan Udara Mesir.
Dalam laporan The Telegraph tahun 2002, Mubarak diidentifikasikan sebagai figur kunci selama perang Oktober 1973 melawan Israel. Meski begitu, beberapa laporan seperti Ashraf Khalil dalam bukunya Liberation Square: Inside the Egyptian Revolution and the Rebirth of a Nation, juga memberi catatan kritis bahwa peranan Hosni Mubarak selama perang Oktober 1973 terlalu dibesar-besarkan dan menjadi semacam panggung bagi pembentukan citra sosok Mubarak.
Oleh Anwar Sadat, Presiden Mesir ketiga kala itu, Mubarak diangkat menjadi Wakil Presiden Mesir mendampingi dirinya pada April 1975. Tugas pertamanya adalah mengurusi berbagai perjanjian dengan negara-negara Arab dan Timur Tengah terkait perang melawan Israel.
Jabatan Presiden Mesir keempat ia peroleh ketika Anwar Sadat diserang oleh kelompok Jihad Islam yang menentang keras perjanjian damai antara Mesir dengan Israel. Dalam sebuah iring-iringan kemenangan merayakan Operasi Badr di Kairo, Sadat ditembak pada 6 Oktober 1981 oleh kelompok tersebut.
Hosni Mubarak kemudian naik menjadi Presiden Mesir keempat terhitung sejak 14 Oktober 1981. Selama era kepemimpinannya, Mubarak menghadapi berbagai peristiwa krusial yang menimpa negeri piramida tersebut. Misalnya pada 1989, saat Mesir secara resmi kembali bergabung dengan Liga Arab, dan markas mereka dipindahkan kembali ke Kairo. Penangguhan keanggotaan ini terjadi karena perjanjian perdamaian dengan Israel yang dilakukan Anwar Sadat.
Israel menolak mengunjungi negara tersebut, seperti tercatat dalam laporan Olfat M. El Tohamy untuk The Christian Science Monitor berjudul "Egypt's Husni Mubarak Picks up Sadat's Reins: Profile." Mubarak menjaga jarak dengan Israel dengan jalan menjadi tuan rumah dan penengah dari tiap pertemuan yang berkaitan dengan konflik Israel-Palestina.
Pada Oktober 2000, terjadi pertemuan antara Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, Yasser Arafat dari PLO, Perdana Menteri Israel Ehud Barak, Raja Abdullah dari Yordania, Sekjen NATO Javier Solana, dan Sekjen PBB Kofi Annan yang dilaksanakan di Sharm el-Sheikh. Mubarak bertindak sebagai tuan rumah.
Belajar dari insiden pembunuhan pemimpin Mesir terdahulu, Mubarak di awal tahun-tahun kekuasaannya memperluas sektor keamanan seperti Layanan Investigasi Keamanan Negara dan Pasukan keamanan Pusat. Menurut Tarek Osman dalam bukunya berjudul Egypt on the Brink, Mubarak kerap meminta nasihat kepada staf keamanan, menteri dalam negeri, komandan militer dan kepala badan intelijen negara. Bukan dari menteri-menteri terkenal, penasihat senior, atau intelektual terkemuka.
Posisi Mubarak bukan hanya menjadi penghambat Israel dalam upaya berdamai dengan Mesir, tetapi juga bagi para kelompok fundamentalis Islam di Mesir, sama seperti masa kepemimpinan Anwar Sadat. Lawrence Wright dalam bukunya The Looming Tower: Al Qaeda and the Road to 9/11 menyebut upaya pembunuhan oleh kelompok jihadis Islam terjadi pada 1995 dengan melibatkan gas beracun. Mubarak lolos ketika dirinya tengah berada di Ethiopia untuk konferensi Organisasi Persatuan Afrika.
Meski keras terhadap teroris, ia tidak setuju dengan Perang Irak 2003. Konflik Israel-Palestina menurutnya seharusnya diselesaikan terlebih dahulu. Menurut laporan CNN, dia juga mengatakan bahwa perang tersebut justru akan melahirkan 100 Bin Laden. Namun, bagaimanapun dirinya juga tidak mendukung penarikan cepat pasukan AS dari Irak karena berpikiran bahwa hal itu akan menimbulkan kekacauan.
Untuk pertama kalinya dalam era kepemimpinan Hosni Mubarak, pemilu demokrasi dijalankan pada tahun 2005 yang memungkinkan adanya calon-calon untuk dipilih menjadi Presiden Mesir. Namun bagaimanapun, lembaga pemilu dan aparat keamanan tetap ada di bawah kendali presiden.
Pemilu yang dijadwalkan mulai 7 September 2005 ini mengusung tiga nama calon Presiden. Hosni Mubarak dari Partai Nasional Demokratik (Al-Hizb Al-Watani Al-Dimuqrati) sebagai petahana, Ayman Nour dari Partai Kemarin (Hizb al-Ghad), dan terakhir Numan Gomaa dari Partai New Wafd (Hizb al-Wafd al-Jadid).
Hasilnya dapat ditebak: Hosni Mubarak keluar sebagai pemenang tak tertandingi dengan meraup 88,6 persen suara. Nasib rivalnya, Ayman Nour yang merupakan penentang Hosni Mubarak, dijatuhi hukuman kerja paksa dan lima tahun penjara oleh Pengadilan Mesir karena kasus pemalsuan yang dialamatkan kepadanya.
Korupsi dan Usaha Memperkaya Diri
Seperti penyakit para penguasa dengan jabatan puluhan tahun pada umumnya, pemerintahan Hosni Mubarak mulai dekat dengan praktik tindak korupsi dan aturan-aturan represif terhadap para pengkritik. Tokoh politik dan para aktivis muda ditahan tanpa menjalani proses pengadilan.
Freedom House, sebuah organisasi non pemerintahan pada tahun 2005 merilis laporan bahwa pemerintahan Mesir di bawah Mubarak memperluas praktik korupsi lewat birokrasi, proses-proses pendaftaran administrasi dan kontrol-kontrol lainnya. Meski presiden berjanji untuk melakukan tindakan, tapi pada kenyataannya tidak ada hal signifikan untuk mengatasi problematika ini.
Transparency International's Corruption Perceptions Index pada 2010 juga merilis nilai untuk Mesir dengan skor CPI sebesar 3.1. Berdasarkan persepsi tingkat korupsi, skor 10 menjadi nilai yang sangat bersih dan 0 menjadi yang sangat korup. Mesir juga dilaporkan menduduki peringkat 98 dari 178 negara.
Mendekati masa-masa berakhirnya kepemimpinan Hosni Mubarak, berbagai laporan tentang kekayaannya banyak dirilis. ABC News merilis kekayaan pribadi Mubarak dan keluarganya, yakni antara $40 miliar dan $70 miliar sejak dirinya menjabat sebagai perwira angkatan udara.
Pada 21 Mei 2014, pengadilan Kairo juga pernah menjatuhkan hukuman kepada Mubarak beserta anak-anaknya atas penggelapan uang yang setara dengan $17,6 juta. Uang tersebut adalah dana negara yang dialokasikan untuk renovasi dan pemeliharaan istana presiden yang diselewengkan untuk rumah pribadi keluarga presiden.
Pengadilan menjatuhi hukuman denda pembayaran $17,6 juta, ditambah $2,9 juta, tiga tahun penjara bagi dirinya dan empat tahun penjara untuk masing-masing anaknya seperti dilansir dari Middle East Star.
Hosni Mubarak bersama istrinya Suzanne Mubarak memiliki dua anak, Alaa dan Gamal Mubarak. Dari Alaa, ia memiliki dua cucu dan dari putranya Gamal memiliki seorang cucu. Nama anaknya, Alaa Mubarak juga turut tercantum dalam Panama Papers, seperti terpacak pada laporan Quartz.
Setelah mundur dari pucuk pimpinan Mesir, Mubarak tidak menampilkan dirinya di media kecuali di hadapan keluarga dan lingkaran dekatnya. Ia dilaporkan menolak berbicara dengan siapapun, bahkan kepada para pendukungnya. Alasan kesehatan yang memburuk disinyalir menjadi alasan berikutnya. Al Arabiya bahkan melaporkan bahwa Mubarak ingin meninggal di Sharm El-Sheikh, tempat tinggalnya sejak rakyat Mesir melawan kepemimpinannya.
Kepemimpinan negeri piramida pasca-Mubarak diwarnai dengan terselenggaranya Pemilu Mesir tahun 2012 yang berlangsung dua putaran, menyisakan Muhammad Mursi dari Partai Kebebasan dan Keadilan berhaluan Ikhwanul Muslimin dan Ahmed Shafiq yang sebelumnya menjabat sebagai Perdana Menteri Mesir.
Mursi kemudian keluar menjadi pemenang dan memimpin Mesir sejak 30 Juni 2012. Namun, usia memimpin Mesir tidak panjang. 30 Juni 2013, tepat setahun Mursi menjadi presiden, gelombang protes kembali muncul dan menjalar seantero Mesir menuntut pengunduran diri Mursi yang dianggap hanya mementingkan Ikhwanul Muslimin, kelompok partainya. Mursi diberi ultimatum oleh militer mesir dalam waktu 48 jam untuk memenuhi tuntutan pendemo.
Pada 3 Juli 2013, Mursi tumbang di tangan dewan kudeta militer yang terdiri dari Menteri Pertahanan Abdel Fattah el-Sisi, juga berbagai elemen tinggi Mesir seperti pemimpin oposisi Mohamed ElBaradei, Grand Imam Al Azhar Ahmed el-Tayeb, dan Paus Koptik Tawadros II. Akhirnya, Abdel Fattah el-Sisi menjadi presiden Mesir hingga saat ini.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 27 Maret 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Maulida Sri Handayani & Irfan Teguh Pribadi