Menuju konten utama

Membangunkan Saham-saham Tidur di Bursa

Saham-saham emiten di Bursa Efek Indonesia tak semuanya aktif diperdagangkan sepanjang tahun. Ada istilah saham tidur yang jumlahnya tak sedikit.

Membangunkan Saham-saham Tidur di Bursa
Ilustrasi Saham Tidur BEJ. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

tirto.id - Deni, investor saham yang tinggal di Tangerang Selatan mencoba berbagi cerita soal pengalamannya mengarungi fluktuasi pasar saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ia sesekali membeli saham yang tak atraktif atau yang biasa disebut "saham tidur" sebagai portofolio investasi. Kebanyakan investor tidak begitu peduli dengan saham-saham tidur karena dianggap tidak menarik atau prospek.

“Ada, saham BEKS [PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk] gocap. Udah setahun gue pegang enggak gerak-gerak juga [masih Rp50 per saham],” katanya kepada Tirto.

Ia mengakui saham BEKS yang sebelumnya bernama Bank Pundi Indonesia tidak begitu laik untuk investasi mengingat kinerja keuangannya masih terpuruk. Namun, Deni meyakini kondisi tersebut tidak akan lama. Saat ini, Bank Pundi Indonesia sudah diakuisisi oleh Pemprov Banten, sehingga namanya berubah menjadi Bank Pembangunan Daerah Banten. Dengan suntikan dana dari APBD, kinerja keuangan BEKS diyakini membaik.

“Tahun ini keliatan membaik sedikit demi sedikit. Namun ternyata sahamnya masih tetap belum bergerak. Mungkin tahun depan sahamnya sudah mulai gerak, setelah membukukan profit. Semoga,” kata Deni berharap.

Deni tidak mengalami kerugian karena mengoleksi saham BEKS saat harganya Rp50 per saham. Namun, Deni kehilangan kesempatan karena investasi yang ditanam di BEKS malah tertahan alias tidak menghasilkan imbal hasil.

Baca juga:Tak Harus Kaya Raya Untuk Investasi Saham

Definisi saham tidur memang tak punya patokan yang jelas. Ada yang beranggapan saham tidur adalah saham yang harganya tidak bergerak selama periode tertentu. Sebagian lagi melihat karena saham-saham itu memiliki frekuensi transaksi perdagangan yang sangat kecil.

Menurut BEI, suatu saham masuk kriteria saham tidak aktif apabila frekuensi perdagangan selama tiga bulan kurang dari 75 kali, lalu menjadi saham tidur dan tidak likuid. Hal ini tercantum dalam Surat Edaran PT BEJ No. SE-03/BEJII-1/I/1994. Apabila merujuk dari kriteria tersebut, maka sedikitnya total jumlah saham tidur dari awal Januari hingga 25 Oktober 2017 mencapai 48 emiten, atau 8,5 persen dari total emiten yang terdaftar di BEI sebanyak 564 emiten.

Namun, apabila kriteria saham tidur tersebut memasukkan juga emiten dengan harga saham yang tidak bergerak sejak awal 2017, maka total jumlah saham tidur bisa bertambah jadi dua kali lipat.

Yang jadi pertanyaan adalah, kenapa ada saham tidur di pasar modal? Banyak faktor yang membuat saham tidur, mulai dari kinerja perusahaan yang buruk, aksi korporasi perseroan yang jarang, minimnya saham perseroan yang beredar hingga prospek perusahaan yang tidak jelas.

Selain itu, saham tidur juga rawan dari permainan para spekulan. Secara tiba-tiba, harga saham dapat melonjak tajam setelah dimainkan oleh para spekulan. Biasanya, saham ini dinamakan "saham gorengan".

Apabila tidak segera ditangani, maka akan berdampak buruk bagi kegiatan investasi maupun bagi para investor yang terjebak di saham tidur. Oleh karena itu, BEI sebagai otoritas di pasar modal harus bisa mencarikan solusi.

Infografik Saham Ngantuk

Upaya BEI Soal Saham Tidur

Dalam outlook pasar modal 2018 yang dipublikasikan, BEI akan fokus dalam dua hal utama, yakni memperbesar kemampuan mobilisasi dana dan meningkatkan likuiditas pasar. Namun, untuk isu saham tidur tampaknya belum jadi prioritas.

Baca juga: 25 Tahun Pasar Modal Indonesia

Direktur Utama BEI Tito Sulistio menilai saham tidur tidak selamanya dikonotasikan sebagai saham yang buruk. Ada juga saham tidur yang betul-betul menguntungkan, sehingga investor memilih untuk tidak melakukan jual beli.

“Ada satu emiten properti dengan pangsa pasar besar, saya enggak bisa sebut namanya, terus profitnya itu oke, pastinya orang tidak ingin jual. Tapi banyak juga saham tidur yang memang orang itu tidak tertarik,” katanya kepada Tirto.

BEI memang tidak tinggal soal keberadaan saham-saham tidur, BEI mewajibkan minimal jumlah saham emiten yang beredar (free float) sebesar 7,5 persen dari jumlah saham dalam modal disetor sejak 2016. Ketentuan free float tercantum dalam Keputusan Direksi BEI Nomor: Kep-00001/BEI/01-2014 perihal Perubahan Peraturan Nomor I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang diterbitkan oleh Emiten.

Selain itu, BEI juga melakukan pendekatan personal kepada masing-masing emiten, terutama yang dikategorikan saham tidur. Mereka mendorong emiten untuk melakukan aksi korporasi agar sahamnya lebih banyak beredar.

Di lain pihak, Presiden Direktur Evergreen Sekuritas Rudy Utomo menilai jumlah saham tidur saat ini cukup banyak. Menurutnya BEI perlu melakukan promosi lebih gencar kepada para emiten agar sahamnya dapat lebih menarik.

“Minimal saham-saham tidur itu bagi dividen lah. Lebih bagus lagi kalau jumlah saham beredarnya ditambah, biar investor itu tertarik untuk jual beli. Apalagi, jumlah investor ritel saat ini juga semakin besar, sayang aja,” ujar Rudy kepada Tirto.

Apabila saham-saham tidur menjadi lebih aktif, bukan tidak mungkin volume perdagangan di BEI, termasuk nilai dan frekuensinya bisa lebih meningkat. Likuiditas saham di pasar modal pun tidak akan diragukan lagi.

Baca juga: Kecil-kecil Berani IPO

Di sisi lain, BEI juga diharapkan tidak asal dalam memilih perusahaan-perusahaan yang ingin melakukan pencatatan saham perdana (initial public offering/IPO). Para emiten baru harus paham, bahwa setelah IPO, bukan berarti selesai dan tidak melakukan apa-apa, termasuk aksi korporasi.

Justru setelah IPO, emiten harus mampu membuktikan bahwa kinerja perusahaan dikelola secara baik (good corporate governance/GCG), sehingga dapat menarik para investor untuk melakukan jual beli saham. Investor mendapatkan hasilnya yang bagus dan emiten bisa berkembang bisnis dan permodalannya.

Baca juga artikel terkait BURSA EFEK INDONESIA atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra