tirto.id - Jumianus, pria berusia 32 tahun ini bekerja sebagai operator mesin percetakan milik Kompas Gramedia. Suatu hari di tahun 2013, dia membaca sebuah artikel yang membahas investasi di pasar modal.
Dalam artikel itu diceritakan ada seorang ayah yang menginvestasikan sekian juta—Jumi tak ingat persis angkanya—di bursa saham. Uang sekian juta itu tak ditambah, dibiarkan begitu saja. Sang Ayah lalu meninggal dunia. Investasi itu tak lantas dicairkan. Baru ketika anaknya dewasa, investasi yang tadinya hanya jutaan, sudah menjadi miliaran.
Jumi merasa tertarik. Ia lalu mempelajari tentang investasi saham. Ia baca artikel sana sini. Pada tahun itu juga, dia memutuskan menginvestasikan sebagian tabungannya, yakni senilai Rp10 juta. Emiten pertama yang ia beli sahamnya adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk.
Investasi saham berarti membeli saham perusahaan-perusahaan yang melantai di bursa saham. Investasi ini dikenal dengan prinsip high risk high return, imbal hasilnya besar, tetapi risikonya juga tidak kecil.
Banyak orang takut berinvestasi saham, karena tak seperti tabungan, nilai uang pada saham bisa naik turun, bisa untung, bisa pula rugi. Naik turun harga saham ini bergantung pada kinerja perusahaan, kondisi ekonomi makro, aksi korporasi, ekonomi global, hingga suhu politik. Itu sebabnya, untuk jangka pendek, investasi saham sagat berisiko.
Jika investor salah pilih emiten, atau jika ia terlambat menjual dan sahamnya keburu anjlok, investor akan merugi. Nilai uangnya akan berkurang. Risiko itu disebut capital lost.
Misalkan investor membeli saham suatu perusahaan seharga Rp1.000 perlembar. Saham perusahaan ini lalu turun menjadi Rp700. Karena takut sahamnya terus turun, investor kemudian menjual sahamnya seharga Rp700. Maka investor itu rugi Rp300 perlembar saham.
Tetapi untuk jangka panjang, jika emiten yang dipilih tak bangkrut, investasi saham selalu menguntungkan. Dan keuntungannya jauh lebih besar dari deposito atau investasi emas. Jumi memahami itu setelah membaca berbagai artikel. Pemahaman tersebutlah yang membuatnya tak takut.
Dalam berinvestasi saham, Jumi sama sekali tak memakai jasa pialang atau broker. Dia memilih melakukan online trading sendiri. Dia mendaftar lewat sekuritas, lalu mempelajari dan memilih emiten atas keinginannya sendiri. Dia membaca berita untuk mengetahui kinerja perusahaan, rencana aksi korporasi, rencana akuisisi dan merger, dan sebagainya.
“Untuk jadi investor saham, harus banyak baca berita bisnis,” kata Jumi. Karena banyak membaca, sekarang Jumi sudah paham tentang sentimen. Termasuk tentang sentimen politik dan ekonomi global yang kerap memberi dampak pada indeks harga saham gabungan (IHSG).
Melakukan online trading sendiri tentu lebih menguntungkan dibandingkan dengan menggunakan jasa pialang sebab tak perlu membayar fee kepada pialang. Namun, bagi investor pemula atau investor yang tak punya waktu membaca dan mengikuti berita, jasa pialang sangat membantu.
Menurut Jumi, di era digital saat ini, dia bisa melakukan online trading kapan saja, di mana saja lewat ponsel pintar. Di kantor, di sela-sela jam istirahat, ia selalu meluangkan waktu memantau pergerakan saham.
Perlahan, Jumi menularkan online trading ke teman-teman sekantornya. Nelson Hutapea salah satu yang tertular.
Nelson sebenarnya sudah mendengar tentang investasi saham sejak 2008, tetapi ia tak paham betul. Waktu itu, dia juga belum punya ponsel pintar yang membuatnya bisa mengakses informasi dengan mudah.
Pada 2015, Nelson kembali mencari tahu. Keinginan mencari tahu semakin besar sebab ia melihat rekan kerjanya, Jumi sudah mendulang untung. Barulah pada Agustus tahun ini Nelson membulatkan tekad untuk menjadi investor ritel di bursa saham.
Dalam seminggu pertama, Nelson sudah mendapat untung dari selisih harga saham sebesar 10 persen. Dia lalu melakukan diversifikasi. Ia membeli saham yang untuk jangka panjang saat ia pensiun nanti, dia juga membeli saham jangka pendek, seminggu dan sebulan. Tetapi ada juga saham yang dia beli untuk jangka sangat pendek, saham yang akan dilepasnya seketika ketika harganya naik.
Dalam investasi saham, ada yang namanya investor, ada juga trader. Trader adalah sebutan untuk orang yang melakukan aktivitas jual beli saham dalam jangka pendek. Para trader memanfaatkan momentum fluktuasi atau pergerakan naik turun harga saham untuk mengambil keuntungan.
Trader menggunakan analisa teknikal untuk membantu pengambilan keputusan jual beli saham. Mereka akan membeli ketika saham anjlok, dan langsung menjual begitu ada pergerakan naik. Jangka waktu trading berkisar antara harian hingga maksimal satu bulan.
Sedangkan investor adalah orang yang melakukan strategi jual beli saham dalam jangka panjang karena memang untuk kepentingan berinvestasi. Dengan mengandalkan analisa fundamental, investor membeli saham yang dinilai memiliki prospek dan tidak dipusingkan dengan fluktuasi harga yang terjadi setiap hari di pasar saham. Jangka waktu investasi saham lebih dari satu tahun.
Jumi dan Nelson bisa disebut sebagai investor sekaligus trader. Mereka membeli saham untuk investasi jangka panjang, mereka juga membeli saham yang volatilitasnya tinggi untuk dijual ketika harga naik.
Keduanya juga pernah rugi banyak. Saat belum terlalu mahir, saham yang dibeli Nelson pernah rontok. Dia kemudian panik dan buru-buru menjualnya karena takut harganya turun lagi. Akibatnya, ia mengalami capital lost 40 persen. Padahal, jika tidak panic sell, saham yang turun itu tentu akan kembali naik.
“Waktu itu saya belum begitu paham, asal main saja, begitu turun langsung panic sell,” ungkapnya. Tetapi mereka tak kapok. Semakin ke sini, keduanya semakin teliti.
Selain duo karyawan percetakan ini, ada juga Aab Abdullah, mantan sopir taksi Blulebird yang kini mampu membeli mobilnya sendiri dengan keuntungan dari investasi saham. Investasi pertama Aab hanya Rp3 juta. Ia lalu memindahkan investasi unit linked-nya ke saham.
Aab memutuskan berhenti jadi sopir taksi ketika modalnya untuk membeli mobil sudah cukup. Kini Aab meraup keuntungan dari bisnis transportasi online dan imbal hasil dari investasi saham.
Pada pembukaan perdagangan Jumat (2/12/2016) pekan lalu, ketiga investor ritel ini diundang ke PT Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk membuka perdagangan.
BEI Dorong Investor Ritel
Investor-investor ritel seperti Jumi dan Nelson akan terus diupayakan agar jumlahnya meningkat. Sampai pertengahan September lalu, jumlah investor ritel telah melebihi 500.000, tepatnya 500.037 yang sudah terdaftar. Tahun lalu, jumlah investor ritel hanya 430 ribu. Berdasarkan data BEI, jumlah investor ritel yang telah melakukan transaksi di pasar modal Indonesia sebanyak 487.713 SID [single investor identification]. Sedangkan investor institusi yang telah melakukan transaksi sebanyak 12.324 SID.
Meskipun secara jumlah, investor ritel tampak lebih banyak, namun dari segi dana investasi, investor ritel masih kalah jauh. Nilai portofolio investor ritel rata-rata hanya ratusan juta rupiah, sementara investor institusi mengelola miliaran hingga triliunan.
Jika ditotal, dana investor institusi besarnya hampir 11 kali lipat nilai portofolio investor individu, atau sekitar 90-an persen dari total. Yang termasuk dalam investor institusi antara lain perusahaan asuransi, manajer investasi reksa dana, dana pensiun, holding company, dan hedge fund asing.
Beda kondisinya dengan di Cina. Di Negeri Tirai Bambu itu, pasar saham digerakkan oleh investor ritel. Laporan FIS Group menyatakan pada tahun 2015, sekitar 90 persen dana investasi di pasar saham Cina dimiliki oleh investor ritel.
Pada ulang tahunnya yang ke 39 Agustus lalu, BEI mengungkapkan akan terus berusaha meningkatkan jumlah investor ritel di Indonesia. Sosialisasi hingga ke mahasiswa pun dilakukan.
Tahun ini, BEI menargetkan adanya penambahan investor ritel sebanyak 200.000. Direktur Pengembangan BEI Nicky Hogan menyatakan penambahan investor ini penting guna mendongkrak pertumbuhan dan pengembangan pasar modal di Indonesia untuk masa-masa yang akan datang.
BEI berharap pasar saham mampu menjangkau seluruh kalangan sehingga meningkatkan basis investor ritel. Ini penting mengingat lebih dari 70 persen investor di pasar saham masih merupakan investor institusi. Artinya, kontribusi masyarakat dalam perkembangan pasar saham masih sangat rendah. Inilah yang kini sedang gencar disosialisasikan oleh otoritas bursa.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti