tirto.id - Pada 13 Juli lalu, perdagangan di Bursa Efek Indonesia dibuka secara ramai-ramai oleh para mantan direksi dan komisaris. Hari itu, bertepatan dengan 25 tahun swastanisasi bursa.
Pasar modal di Indonesia sejatinya sudah ada sejak tahun 1912 di Batavia. Namanya Vereniging voor Effectenhandel (bursa efek) yang merupakan cabang dari Amsterdamse Effectenbeurs (Bursa Efek Amsterdam). Bursa ketika itu didirikan tentu saja untuk kepentingan Belanda dan VOC. Peperangan membuat bursa tidak dapat berjalan seperti mestinya.
Pada awalnya, bursa sempat dibuka tidak hanya di Batavia, tetapi juga di Semarang pada tahun 1925-1942. Perang membuat bursa saham tutup lagi. Perdagangan di bursa vakum hingga tahun 1977.
Presiden Soeharto pada 10 Agustus 1977 kembali mengaktifkan pasar modal. Bursa berada di bawah Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam). Emiten pertama yang go public adalah PT Semen Cibinong Tbk. Perusahaan semen Holchim yang berpusat di Swiss menguasai saham mayoritas PT Semen Cibinong pada 13 Desember 2001. Nama PT Semen Cibinong pun berubah menjadi PT Holchim Indonesia pada 1 Januari 2006.
Pada masa tersebut, perdagangan di bursa masih lesu. Transaksi yang masih tipis, karena aturan tidak memperbolehkan masuknya investor asing. Minat perusahaan untuk mencatatkan sahamnya di pasar sahampun masih sangat rendah. Hingga 10 tahun kemudian bursa baru memiliki 24 emiten.
Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan untuk mendukung perdagangan di bursa. Paket Desember 1987 memberikan kemudahan untuk perusahaan dalam melakukan penawaran saham kepada publik. Sebaliknya, pintu bursa pun terbuka bagi para investor asing. Barulah terlihat peningkatan aktivitas di bursa.
Pada 16 Juni 1989, terbentuklah Bursa Efek Surabaya (BES) yang dikelola swasta. Pada 13 Juli 1992, pemerintah melakukan swastanisasi Bursa Efek Jakarta. Bapepam berubah menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Tanggal ini diperingati sebagai hari jadi BEJ. Bursa lalu diurus oleh perusahaan swasta, PT Bursa Efek Jakarta.
Gedung bursa tidak terletak di kawasan SCBD seperti sekarang ini. Bursa masih berada di gedung yang saat ini menjadi Gedung Danareksa di Jakarta Pusat. Cara perdagangan saham pun masih dilakukan dengan cara manual.
Para pialang di lantai bursa menerima order jual atau beli saham melalui pesawat telepon, lalu menuliskan di papan. Terbayang ketika order jual dan beli ramai, para pialang itu berdesak-desakan ke papan mencantumkan ordernya.
Setelah perdagangan saham ditutup, penyelesaiannya pun setengah mati. Saham yang kala itu berbentuk lembaran, harus diantar ke sekuritas pembeli atau penjual. “Ada bertruk-truk saham yang ditukarkan ketika settlement,” kenang Mas Achmad Daniri mantan Direktur Utama BEJ. Tidak heran, ketika itu masih sering muncul pengumuman saham hilang.
Barulah pada tahun 2000, perdagangan di BEJ dilakukan tanpa warkat atau scripless. Tidak ada lagi truk-truk yang mengangkut saham dari kantor sekuritas satu ke kantor lainnya. Dua tahun kemudian, BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh atau remote trading.
Dengan remote trading, order yang masuk dari investor ke perusahaan sekuritas, tidak perlu lagi disampaikan kepada para pialang ke bursa yang lalu memasukkan ordernya. Order tersebut langsung tersambung dari perusahaan sekuritas ke sistem di bursa.
Dalam perjalanannya, bursa efek juga sempat menjadi incaran terorisme. Gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ) di kawasan SCBD sempat terguncang bom pada tahun 13 September 2000. Sejak saat itu, pengamanan di bursa pun semakin ketat.
Perdagangan saham di BEI juga tidak kebal dari pengaruh global. Misalnya pada saat pasar saham global mengalami kejatuhan akibat krisis di Amerika Serikat, pasar saham Indonesia pun ikut jatuh. Pada 8 Oktober 2008, perdagangan saham di BEI sempat mengalami halting atau penghentian perdagangan sementara karena indeks saham yang anjlok dengan cepat.
Berbagai pembenahan terus dilakukan. Pada tahun 2007 pemerintah menggabungkan Bursa Efek Surabaya yang memperdagangkan obligasi dan Bursa Efek Jakarta yang memperdagangkan saham menjadi Bursa Efek Indonesia. Menurut mantan Dirut BEI Erry Firmansyah, ketika pertama kali digabungkan perdagangan saham sekitar Rp300 miliar per hari. “Lalu 2009 sudah menjadi Rp2,9 triliun per hari,” kata Erry, ketika itu. Hingga awal Juni 2017, rata-rata perdagangan saham mencapai Rp8,2 triliun per hari.
Sistem perdagangan remote trading pun membawa beberapa konsekuensi seperti tidak diperlukan lagi pialang, juga tidak diperlukan lagi trading floor. Seiring dengan hal tersebut, sistem perdagangan online trading semakin marak. Para investor dapat memasukkan order sendiri melalui aplikasi yang dibuat oleh perusahaan sekuritas.
Hingga pertengahan tahun ini, jumlah investor mencapai 1 juta orang, baik investor saham, obligasi maupun reksa dana. Dilihat dari jumlahnya, walaupun ada kenaikan, angkanya masih tetap jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk Indonesia. Rasio pemodal dengan jumlah penduduk di Singapura, Malaysia atau Thailand jauh lebih besar. Masih diperlukan banyak kerja keras untuk menambah jumlah investor ini. Selain jumlahnya, kualitas investor pun harus diperhatikan. Jangan sampai pasar modal dipenuhi oleh investor yang tidak memahami dunia pasar modal sehingga menderita banyak kerugian karena ketidaktahuannya.
Walaupun investor sudah mencapai 1 juta, Para anggota bursa, perusahaan sekuritas yang terdaftar di bursa pun mengeluhkan soal perang fee. Perusahaan sekuritas berupaya menarik nasabah dengan memberlakukan fee serendahnya. Akibatnya, banyak perusahaan sekuritas yang bleeding, alias kinerja keuangannya merah. Selain itu, mereka juga mengeluhkan pungutan dari Otoritas Jasa Keuangan yang dianggap memberatkan.
Mantan Dirut BEI Ito Warsito mengatakan, kualitas emiten juga penting. Ini menjadi fokusnya ketika menjabat sebagai dirut BEI. Sepanjang Ito menjabat, ada 30 emiten yang terkena delisting atau didepak dari pencatatan di bursa."Fokus pada kualitas, keterbukaan informasinya, free float dan tata kelola. Apapun itu, yang tidak bagus di-delisting, kalau sudah bagus kembali lagi," terang Ito.
Direktur BEI Tito Sulistio berambisi menjadikan BEI sebagai pasar modal terbesar di kawasan Asia Tenggara. “Bursa kita saat ini memberikan return terbesar di dunia. Tapi itu semua tidak akan bisa terjadi kalau Pak Hasan Zein tidak menswastanisasi ini. Tidak terjadi kalau Pak Daniri tidak memulai efek kliring, Pak Erry Firmansyah, jika tidak memulai belum bisa meng-handle kejadian pemboman. Pak Ito juga, kita tidak bisa mendapatkan best supporting muslim terbesar, jika Pak Ito tidak mendapatkan Fatwa MUI," ujar Tito.
Kapitalisasi di pasar modal kini sudah mencapai Rp 6.350 triliun. Nilai ini hampir menyaingi dana pihak ketiga yang ada di perbankan. Tetapi tetap saja pengetahuan masyarakat umum tentang perbankan lebih baik ketimbang pasar modal.
Terlepas dari berbagai perkembangan di bursa selama 25 tahun belakangan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan untuk membuat pasar modal menjadi lebih berarti tidak hanya bagi para investor dan para pelaku industri pasar modal, tetapi juga berarti bagi perekonomian Indonesia.
Penulis: Yan Chandra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti