tirto.id - Sudah hampir dua dekade pemerintah Amerika Serikat (AS) memberlakukan larangan kerja sama militer dengan Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Kedatangan Menteri Pertahanan AS James Norman Mattis, pada 22-24 Januari lalu, dimanfaatkan pemerintah untuk melobi agar aturan tersebut dicabut.
Menurut Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu, James berjanji akan mengupayakan pencabutan aturan tersebut. Hal ini diutarakan setelah keduanya bertemu di Kantor Kementerian Pertahanan (Kemhan), Kamis (24/1). "Dia [James Mattis] akan usahakan mencabut itu," katanya.
Menurutnya peluang tersebut terbuka lebar karena Mattis adalah sosok yang cukup didengar di kabinet Donald Trump. "Mudah-mudahan didengar benar," lanjut Ryamizard.
Kurt Biddle, koordinator Washington untuk Indonesia Human Rights Network, dalam artikel berjudul Indonesia - US Military Ties mengatakan bahwa AS pertama kali membatasi hubungan militernya dengan militer Indonesia pada 1991, pasca peristiwa Santa Cruz. Ada 200 lebih orang meninggal oleh tentara Indonesia yang menggunakan peralatan militer buatan AS.
Pembatasan hubungan ini karena AS menganggap militer Indonesia melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), alasan yang terus dipakai untuk kebijakan lain. Pada 1994 misalnya, Departemen Luar Negeri AS melarang penjualan senjata ringan ke Indonesia, juga atas alasan HAM. Pada dekade ini Pentagon juga melarang tentara AS melatih Kopassus, dalam hal strategi perang, pengawasan, dan kemampuan taktis lain.
Aturan ini bahkan diterapkan secara umum. Buku East Timor Question: The Struggle for Independence from Indonesiakarya Stephen McCloskey dan Paul Hainsworth menyebut pada September 1998, Kongres AS menerbitkan aturan agar militer AS tidak melatih tentara manapun di dunia yang terlibat pelanggaran HAM. "Aturan ini... dimotivasi oleh kasus Timor Timur dan Kopassus," katanya.
Pada 1999 Pentagon berencana mencabut aturan ini, tapi ditolak Gedung Putih. Wacana serupa sempat muncul pada 2010. Menteri Pertahanan AS saat itu, Robert M. Gates, mengatakan akan berupaya mencabut aturan ketika bertemu presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Lantas apakah wacana kali ini akan menguap seperti delapan tahun lalu?
Anggota Komisi I DPR RI yang lingkup tugasnya di bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, dan intelijen, Charles Honoris mengatakan bahwa kemungkinan realisasi wacana tersebut terbuka lebar. Sebab menurutnya aturan soal embargo sangat fleksibel.
"Saya setuju apabila kasus HAM masa lalu harus diselesaikan [dalam rangka usaha pencabutan aturan]. Tapi aturannya kan tidak ketat juga, jadi bisa itu [aturan dicabut tanpa menunggu pengusutan kasus pelanggaran HAM]," katanya kepada Tirto.
Namun, pendapat berbeda diutarakan pengamat militer dari Universitas Padjajaran, Muradi. Menurutnya sulit membayangkan AS akan mencabut larangan karena mereka menilai yang melanggar HAM adalah Kopassus sebagai institusi, bukan semata-mata individu atau oknum yang tergabung di dalamnya. Hal ini diperberat dengan fakta bahwa mereka yang terlibat tetap punya karier militer yang cemerlang.
Muradi mencontohkan kasus Tri Hartomo, yang pada tahun 2003 dihukum tiga tahun enam bulan penjara karena terlibat dalam pembunuhan Dortheys Hiyo Eluay, tokoh Papua bekas Ketua Presidium Dewan Papua (PDP), lembaga yang didirikan oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid.
"Tri Hartomo sudah bebas. Pada 2016, ia malah mendapat promosi jabatan sebagai Kepala Badan Intelijen Strategis," kata Muradi.
Terlepas dari apakah akan terlaksana atau tidak, Mattis menurut Ryamizard memang akan mengusahakan pencabutan larangan ini. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang membuat AS memberlakukan pembatasan kerja sama sudah cukup lama terjadi, terjadi sekitar 20-an tahun lalu. Ia melihat itu sebagai celah yang bisa dimanfaatkan.
"Di bawah peraturan kami ada prosedur yang telah mapan untuk merehabilitasi unit yang telah melakukan atau dituduh melakukan tindakan tertentu. Dan kami akan melalui prosedur itu," katanya, dikutip dari Reuters, Jumat (25/1/2018).
Tidak Perlu Merasa Rugi
Menurut Muradi, meski peluangnya kecil namun Indonesia tidak sepatutnya merasa rugi. Sebab menurutnya dari segi keterampilan, Kopassus tidak kalah dengan militer AS. "Kalau soal keterampilan, boleh diuji lah. Saya yakin kita lebih baik dari mereka," katanya.
Sementara jika kaitannya adalah teknologi dan persenjataan, Muradi mengatakan bahwa banyak alternatif di luar AS. Pembelian alutsista, misalnya, bisa dari negara lain yang tidak kalah dari AS. Dan itu sebetulnya telah dilakukan Indonesia.
Pengamat militer lain, Connie Rahakundini Bakrie, sependapat dengan Muradi. Menurutnya persoalan kerja sama kurang relevan. "Bukan tidak penting. Tapi ada kepentingan lain yang lebih besar," katanya.
Kepentingan lain adalah posisi Indonesia di tengah-tengah AS dan Rusia. Menurut Connie, pekerjaan rumah Menhan sekarang adalah bagaimana menempatkan diri di tengah-tengah raksasa dunia itu. Connie berpendapat bahwa apabila kerja sama militer Indonesia dengan Rusia seperti pembelian 11 Sukhoi pada Agustus lalu diteruskan, AS tidak akan senang.
"Jadi Indonesia ini terjepit posisinya. Ini pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Menhan," kata Connie.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino