Menuju konten utama

Memanen Generasi Kerdil dari Pandemi COVID-19

Bayi-bayi yang lahir dari pandemi COVID-19 berpeluang menjadi beban demografi karena berkualitas rendah akibat kurang gizi dan akses kesehatan.

Memanen Generasi Kerdil dari Pandemi COVID-19
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (tengah) melepas caping usai menanam padi di areal persawahan Desa Bangun Jaya, Tulungagung, Jawa Timur, Minggu (27/6/2020). ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/aww.

tirto.id - Seks merupakan salah satu alternatif aktivitas yang mengurangi stres. Tak heran, selama wabah aktivitas seks cenderung meningkat. Sayangnya seks saat pandemi tak diimbangi penggunaan kontrasepsi sehingga angka kehamilan tidak diinginkan (KTD) ikut-ikutan naik.

Efek wabah COVID-19 tak cuma menyasar adaptasi perilaku bersih dan masalah kesehatan semata, tapi lebih luas dari itu. Pemberlakuan karantina wilayah atau pembatasan di banyak negara dunia mempengaruhi kehidupan ekonomi, sosial, dan aktivitas seks para warganya.

Beberapa penelitian sudah mengemukakan, bahwa selama pandemi kali ini aktivitas seksual cenderung meningkat. Salah satunya terbit di International Journal of Gynecology & Obstetrics. Studi dari Turki ini mengungkap bahwa aktivitas seksual dilakukan sebanyak 2,4 kali seminggu saat pandemi, dibanding 1,9 kali seminggu sebelum pandemi.

Sementara aktivitas seksual meningkat, penggunaan kontrasepsi justru menurun dari 41,3 persen menjadi 17,2 persen. Badan kesehatan seksual dan reproduksi PBB (UNFPA) juga memperkirakan dalam jangka enam bulan karantina wilayah, akan ada 47 juta perempuan dari 114 negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak dapat mengakses kontrasepsi modern.

Dari jumlah tersebut diperkirakan ada sekitar 7 juta kehamilan tidak direncanakan (KTD) akan terjadi. Setiap tiga bulan berikutnya, jumlah perempuan yang tidak dapat mengakses kontrasepsi modern bertambah sebanyak 2 juta jiwa. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut tren serupa di Indonesia.

Dibandingkan dengan tahun 2019 (13 juta) di periode yang sama (Januari-April), terjadi penurunan angka pelayanan KB hingga lebih dari 1 juta pada tahun 2020 (12 juta). Kondisi ini dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya rasa takut masyarakat untuk mendatangi fasilitas kesehatan.

Kemudian terdapat pembatasan kunjungan di fasilitas kesehatan, minimnya Alat Pelindungan Diri (APD) bagi tenaga kesehatan pelayanan KB. Secara general penggunaan berbagai alat kontrasepsi di seluruh Indonesia pada periode Februari-Maret 2020 menurun 35-47 persen.

“Ini bisa berimbas pada peningkatan jumlah kehamilan tidak direncanakan sebesar 15-20 persen pada 2021,” ungkap Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo dalam webinar bersama DKT Indonesia.

Angka tersebut jika dikalkulasi bisa mencapai 370 hingga 500 kehamilan. Namun BKKBN telah membuat prediksi peningkatan kehamilan hingga menyentuh angka 420. Hitung-hitungannya didapat dari perkiraan jumlah pasangan usia subur (20-35 tahun) sebanyak 2,5 juta yang tidak memakai KB.

Krisis Pangan Perparah Keadaan

Di sisi yang berbeda, pandemi COVID-19 ikut mengobrak-abrik tatanan pangan dunia. Indonesia sendiri tengah bersiap menghadapi dua masalah terkait kondisi tersebut: ketimpangan neraca pangan oleh aktivitas impor dan pembatasan pasokan dari negara eksportir.

Akibat karantina atau pembatasan, sejumlah jalur distribusi pangan terputus, terjadi penimbunan bahan pangan oleh sebagian pihak, dan harga bahan pangan melonjak. COVID-19 secara langsung atau tidak punya potensi mengganggu sistem pangan nasional serta menimbulkan kerawanan pangan dan gizi.

Menurut analisis Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), pandemi ini telah mencederai sumber daya manusia di sektor pertanian dan pangan menjadi sakit. Terjadi kekurangan tenaga kerja yang kemudian berdampak pada masalah sistem pangan nasional, mata-rantai pasok pangan mulai dari farm (lahan pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan) hingga ke meja makan konsumen.

“Gangguan sistem pangan berkepanjangan menyebabkan turunnya jumlah dan mutu asupan gizi,” tulis Wirakartakusumah, dkk dalam siaran yang diterima Tirto.

Saat pandemi seperti sekarang ini asupan gizi sangat diperlukan untuk menjaga imunitas tubuh agar tidak terserang virus atau menang dalam proses penyembuhan. Ketika jumlah dan mutu pangan turun, pada gilirannya akan memengaruhi imun, dan mengurangi status gizi masyarakat dan produktivitas nasional.

Sebelum ada pandemi, Indonesia sudah kekurangan tenaga petani dan lahan mereka. Data Kementerian Pertanian menunjukkan dalam tujuh tahun terakhir kita kehilangan lebih dari 10 juta petani. Sementara lahan persawahan berkurang lebih dari satu juta hektar selama periode 2014-2018.

Neraca pangan dari aktivitas ekspor saat ini juga tengah suram. Negara penghasil pangan seperti Vietnam dan India memilih mengamankan cadangan pangan dalam negeri. Padahal selama ini sebanyak 30 persen komoditas beras impor Indonesia dipasok Vietnam (2018). Sementara India mengirimkan bawang merah, putih, dan juga gula.

“Momentum COVID-19 perlu jadi pelajaran bagi Indonesia untuk membenahi sistem ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan nasional secara serius.”

Para peneliti yang tergabung dalam Komisi Ilmu Rekayasa AIPI kemudian memberi rekomendasi agar pemerintah mulai beralih ke sumber pangan alternatif seperti sagu, singkong, jagung, dll. Untuk menjaga ketahanan pangan selama wabah perlu juga untuk memberi perlindungan bagi pekerja sektor pertanian dan pangan.

Di sisi lain masyarakat harus mulai berdaya untuk meningkatkan produksi pangan lokal dengan berkebun, menyimpan dan mengolah pangan secara tepat dengan mengurangi limbah makanan (food waste), serta menahan diri dari panic buying.

Beban Negara dari Jeleknya Bonus Demografi

Kolaborasi antara peningkatan kehamilan, krisis kesehatan, ekonomi, dan pangan di kala pendemi melahirkan masalah yang tak kalah runyam: Tabungan generasi muda Indonesia yang berkualitas buruk.

Saat pandemi banyak keluarga mengalami penurunan ekonomi sehingga perlu melakukan penghematan termasuk pada pola konsumsi mereka. Ketika bersamaan terjadi kehamilan, maka sangat mungkin risiko stunting atau kekerdilan, angka kematian ibu, dan angka kematian janin jadi meningkat.

Padahal tanpa penghematan pola konsumsi dan krisis pangan, proporsi status gizi balita Indonesia berdasar Riskesdas 2018 masih berada di bawah target RPJMN 2019. Status gizi buruk dan gizi kurang pada balita berada di angka 17,7 persen (RPJMN 17 persen). Sementara proporsi status gizi sangat pendek dan pendek mencapai 30,8 persen (RPJMN 28 persen).

Infografik Krisis Pangan dan Stunting

Infografik Krisis Pangan & Stunting. tirto.id/Quita

“Besar sekali kemungkinan stunting karena tinggi pembatasan,” ungkap Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia, Emi Nurjasmi dalam webinar yang sama.

Pertumbuhan janin sangat bergantung pada trimester pertama kehamilan. Namun di tahap awal kehamilan, ibu sering mengalami masalah mual muntah. Keterbatasan akses kesehatan bisa membuat permasalahan tersebut tidak teratasi. Apalagi banyak kehamilan tidak disadari pada trimester awal. Akhirnya asupan makanan untuk janin pun tidak tercukupi.

Bayi-bayi yang lahir prematur atau stunting lebih banyak menguras ekonomi ketika proses kehamilan dan persalinan. Selain itu mereka akan menjadi beban baru bagi negara karena Indonesia akan mendapat bonus demografi (2030-2040) dengan kualitas rendah.

Jika pemerintah tak segera menata satu-persatu permasalahan pangan dan kesehatan secara tepat, maka ekses dari pandemi COVID-19 akan dipanen hingga puluhan tahun mendatang.

Baca juga artikel terkait CADANGAN PANGAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf