tirto.id - Tahun 2050, penduduk dunia diperkirakan mencapai sembilan miliar. Untuk memberi makan orang sebanyak ini, diperlukan pasokan pangan dua kali lipat lebih banyak dari sekarang. Sementara lahan-lahan pertanian terus tergerus atas nama pembangunan. Mereka berganti dengan gedung-gedung bertingkat, area tambang, atau pemukiman.
Jumlah ikan di laut juga menyusut, baik karena pencemaran maupun karena penangkapan yang berlebihan. “Kita harus mencari cara baru untuk menghasilkan makanan,” ujar Eduardo Rojas-Briales, Assistant Director-General Departeman Kehutanan FAO dalam laporannyayang terbit pada tahun 2013 itu.
Lalu muncullah ide menjadikan serangga sebagai sumber makanan baru. Hewan yang tadinya diabaikan dan cenderung dibasmi oleh manusia, disarankan untuk dimakan saja. Semut, ulat, belalang, jangkrik.
Memakan serangga tentu bukan ide yang baru menguap dari FAO. Di berbagai negara, terutama Asia, berbagai macam serangga menjadi makanan yang dijual di pinggir-pinggir jalan. Mulai dari belalang, ulat, cacing, hingga kalajengking. Di Indonesia, memakan serangga jenis belalang dan ulat sagu sudah sangat biasa, meskipun masih jarang dan belum jadi makanan utama seperti ikan, ayam, daging sapi, atau tahu tempe.
Di seluruh belahan dunia, tak banyak yang mau makan serangga. Banyak yang jijik dan merasa serangga bukanlah makanan. Serangga hanya dianggap sebagai gangguan bagi manusia dan hama bagi tanaman. Namun, menurut FAO, anggapan itu tidak benar. Serangga bisa menjadi makanan berprotein tinggi dengan harga murah dan dampak sangat kecil dalam kerusakan lingkungan.
Pada tahun 2008, FAO menjalin kerja sama dengan Universitas Wageningen. Sejumlah peneliti berkumpul dan mulai meninjau berbagai penelitian dan informasi yang diterbitkan dan tidak dipublikasikan mengenai konsumsi serangga. Mereka ingin memecah kesalahpahaman yang selama ini tertanam di masyarakat.
Penelitian tentang serangga layak makan secara inheren mencakup area tematik yang luas. Ada penelitian tentang konservasi habitat di mana serangga dipanen, pemeliharaan spesies serangga buatan, pengolahan serangga menjadi produk makanan dan pakan, hingga pemasaran makanan berbasis serangga.
Publikasi yang mereka temukan berasal dari berbagai disiplin ilmu. Kerja sama multidisiplin itu melibatkan pakar teknis yang mengkhususkan diri dalam bidang kehutanan, peternakan, nutrisi, industri makanan, undang-undang dan kebijakan keamanan pangan.
Tak banyak ilmuwan terkenal dalam bidang ini, Gene R. DeFoliart adalah salah satunya. DeFoliart menghabiskan karier untuk meningkatkan kesadaran untuk menjadikan serangga sebagai sumber makanan dunia. DeFoliart mendirikan the Food Insect Neswletter. Ia berisi berbagai implikasi nutrisi, ekonomi, dan lingkungan dari konsumsi serangga di sejumlah negara berkembang. Sayangnya, DeFoliart meninggal dunia di tahun yang sama ketika FAO menerbitkan laporannya pada tahun 2013.
Menjadikan serangga sebagai makanan memang memberi manfaat besar pada lingkungan. Serangga memancarkan lebih sedikit gas rumah kaca sedikit amonia daripada sapi atau babi. Lahan dan air yang dibutuhkan serangga juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan memelihara ternak.
Dari segi nutrisi, menurut FAO, serangga merupakan sumber makanan bergizi dan sehat dengan kandungan protein tinggi lemak, vitamin, serat dan mineral. Nilai gizinya tentu bervariasi, tergantung spesiesnya.
Di dalam satu spesies yang sama, nilai gizi bisa jadi berbeda tergantung pada tahap metamorfosis, habitat, dan makanannya. Misalnya, komposisi omega-3 tak jenuh mealworm—salah satu jenis cacing—setara dengan ikan. Sementara kandungan protein, vitamin dan mineral di dalamnya mirip dengan ikan dan daging.
Tahun ini, University of Adelaide melakukan penelitian yang membantu visi FAO mewujudkan serangga sebagai salah satu sumber makanan dunia. Selama dua hari, pengunjung Central Market akan diajak mencoba memakan jangkrik dan semut panggang, biskuit mealworm, dan energi bar yang terbuat dari jangkrik.
Para peneliti ingin mengetahui sikap konsumen terhadap serangga. Mereka juga mengevaluasi preferensi rasa dan kemauan konsumen untuk membeli produk makanan berbahan baku serangga.
Dalam survei online tahap awal yang dilakukan para peneliti terhadap 820 konsumen di Australia, ditemukan bahwa 20 persen dari responden telah mencoba memakan serangga. Sebanyak 46 persen responden menyatakan bersedia untuk mencoba kue yang terbuat dari tepung serangga.
“Sampel yang akan kami berikan kepada konsumen memberikan penyebaran yang baik dari produk serangga yang ada di pasar Australia, beberapa di antaranya mungkin lebih dapat diterima daripada yang lain,” ujar Anna Crump, pemimpin proyek penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan Crump tentu akan membantu pengembangan industri makanan berbahan baku serangga. Ia diperlukan untuk meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap serangga sebagai makanan, bukan sekadar hama.
Profesor Associate Kerry Wilkinson mengatakan bahwa konsumsi serangga dapat berperan dalam keamanan pangan global. "Masalah keamanan pangan ini hanya akan diatasi dengan pergeseran kebiasaan konsumsi makanan, terutama konsumsi daging. Konsumsi serangga bisa memberikan satu solusi,” ungkap Wilkinson.
Masalah pangan manusia mungkin akan terjawab dengan konsumsi serangga. Pertanyaan berikutnya yang perlu dijawab adalah, seberapa jauh dampaknya terhadap keseimbangan rantai makanan?
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti