tirto.id - Lelaki itu seketika terdiam. Senyum yang biasa melekat di wajahnya hilang. Dengan tatapan kosong, perlahan dia sandarkan tubuhnya ke kursi yang sudah 15 tahun menemani.
Cerahnya cuaca pagi di New York pada musim panas Agustus 1981 seakan-akan menjadi hari tersuram bagi pria berusia 39 tahun ini. Dia sulit mempercayai apa yang barusan terjadi. Kecemasan yang belakangan mengusiknya itu benar-benar menjadi nyata.
Pagi itu, pria berambut pendek tebal yang gaya sisirannya khas menyamping tersebut kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari Salomon Brothers, satu di antara lima bank investasi terbesar di Wall Street—bursa saham Amerika Serikat (AS).
Kaget, kecewa, sudah pasti. Namun Michael Rubens Bloomberg, nama lelaki keturunan Yahudi tersebut, tidak berputus asa.
Dia berhasil bangkit dan mengubah drastis jalan hidupnya dengan bermodal keyakinan, pengalaman, dan—yang terpenting—kepemilikan saham senilai US$10 juta yang setara US$ 32,3 juta hari ini (senilai Rp 500 miliar).
Di-PHK tanpa pesangon, Mike—panggilan akrabnya—menjual saham tersebut dan memakainya untuk modal membangun mesin penyedia data pasar realtime bernama Innovative Market Systems, yang kemudian berganti nama Bloomberg LP.
Mesin atau terminal data pertama ini pun kebanjiran pelanggan, tak hanya dari AS tapi juga seluruh dunia. Meski biaya berlangganannya sangat mahal yakni US$ 30.000/tahun atau Rp 470 juta setahun, penggunanya telah mencapai 370.000 dari berbagai dunia.
Dari situ, Mike menjelma menjadi satu di antara orang terkaya di AS. Pria yang sempat mendedikasikan hidupnya sebagai Wali Kota New York ini menuangkan mutiara kisah hidupnya dalam otobiografi berjudul Bloomberg by Bloomberg (1997).
PHK, seperti yang pernah dialami Mike, akhir-akhir ini marak dirasakan banyak orang terutama yang bekerja di perusahaan teknologi rintisan (startup) yang selama ini dianggap memiliki modal "tak berseri" dengan aksi promo besar-besaran.
PHK menjadi momok sejak Coronavirus Disease 19 (Covid-19) dinyatakan sebagai pandemi pada awal 2020. Pengumuman Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) itu diikuti pembatasan sosial sehingga menekan aktivitas konsumsi dan investasi.
Akibatnya, perdagangan terhambat, pasar modal lesu, inflasi membumbung, sementara daya beli menurun drastis. Karena lapangan kerja tak tumbuh, ekonomi dunia pun terkontraksi ke tepi jurang resesi. Tak sedikit perusahaan yang gulung tikar, atau melakukan efisiensi lewat PHK.
PHK Juga Jangkiti Korporasi Titan
Situasi ini tidak hanya berlangsung di Indonesia. Kekacauan ekonomi membuat banyak perusahan besar di berbagai penjuru belahan dunia mau tak mau menempuh kebijakan serupa. Misalnya Maersk, Exxon, United Airlines dan Shell di AS, hingga Rolls Royce, Renault, Airbus dan Nissan di Eropa.
Di dalam negeri, situasi tak jauh berbeda. Dampak pandemi Covid-19 memaksa sejumlah perusahaan memangkas karyawan. Di antaranya, maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia Tbk, Lion Air, dan Traveloka.
Gelombang PHK ini sebenarnya tidak terjadi belakangan saja, melainkan sudah sejak tahun 2020 ketika pandemi menerpa. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia meningkat 1,84% secaratahunan (year on year/yoy) menjadi 7,07% pada Agustus 2020.
Penduduk yang bekerja berjumlah 128,45 juta orang, berkurang 310 ribu orang dari Agustus 2019. Kala itu, BPS memperkirakan ada 29,12 juta orang atau 14,28% dari penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19.
Tahun lalu ketika pandemi berangsur terkendali, data tenaga kerja pun membaik. Pada Agustus 2021, jumlah pekerja tercatat 131,05 juta orang atau bertambah 2,6 juta orang dibanding Agustus 2020. Tingkat pengangguran terbuka berkurang menjadi 6,49%.
Di periode itu, tercatat setidaknya 21,32 juta orang atau 10,32% dari penduduk usia kerja terdampak pandemi Covid-19. Jumlahnya relatif melandai secara tahunan.
Tahun ini, laju pemulihan terhambat setelah Rusia melancarkan operasi militer khusus di wilayah Donbass, Ukraina—yang mayoritas dihuni warga keturunan Rusia dan dipersekusi rezim Kiev sejak tahun 2014.
Negara-negara Barat merespons dengan kebijakan kontraproduktif. Mereka mengembargo Rusia yang merupakan pemasok komoditas penting penopang industri mereka mulai dari energi, pupuk, hingga logam penting.
Ibaratnya, mereka mencekik leher sendiri. Namun sayang, yang ikut megap-megap tak hanya negara Blok Barat tapi seluruh dunia. Krisis pun melanda sektor perdagangan, finansial, energi hingga pangan di seluruh dunia—termasuk Indonesia.
Dari titik itulah muncul gelombang kedua PHK. Di sektor riil, PHK massal melanda perusahaan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Jawa Barat. Data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat ada 73.000 orang yang di-PHK sepanjang Januari-Oktober 2022. Jumlah itu belum termasuk pekerja perusahaan yang tidak tergabung di Apindo.
Sektor teknologi digital, yang selama ini dianggap kalis dari efek pandemi dan mendapat berkah darinya, kini ikutan terpukul efek embargo Barat atas Rusia. Para raksasa teknologi telah memangkas karyawannya, mulai dari Meta, Twitter hingga Microsoft.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Baru-baru ini, sejumlah perusahaan startup memangkas drastis jumlah pekerjanya. Terbaru, ada emiten PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) dan Ruangguru di sana.
Data BPS per Februari 2022 belum merekam aneka PHK ini, sehingga mereka masih melaporkan angka pengangguran yang menurun menjadi 5,83%. Namun pada Agustus, realita tersebut terlihat dari penambahan angka pengangguran, meski tipis, ke 5,86%.
PHK Bukan Akhir Segalanya
Menanggapi fenomena tersebut, pakar bisnis Rhenald Kasali menilai tak ada hubungan antara PHK dan resesi ekonomi global. Dia menyayangkan pernyataan sejumlah pihak yang gegabah menyebarluaskan ketakutan, seakan-akan resesi sudah di depan mata.
“Ancaman resesi global yang terus didengungkan, kalau dipercaya, bisa menimbulkan resesi sungguhan. Eksekutif yang kurang piawai bisa gegabah melakukan pemotongan besar-besaran, dan nanti bisa sebaliknya: menimbulkan distrust dan penurunan kinerja,” tuturnya melalui pernyataan resmi.
Narasi resesi tersebut, lanjut Rhenald, coba diperkuat dengan fakta PHK ribuan pekerja tekstil, garmen dan alas kaki berorientasi ekspor di Jawa Barat. Demikian juga dengan PHK GoTo terhadap 1.300 orang atau sekitar 12% karyawannya.
Padahal, saat ini tak ada resesi yang membuat kinerja perusahaan-perusahaan terpukul. Dia memberi contoh PHK GoTo yang terjadi bukan karena terpukul resesi. Pada akhir kuartal II-2022, mereka telah melakukan penghematan struktural senilai Rp 800 miliar.
Pendiri Rumah Perubahan ini mengingatkan bahwa resesi adalah fenomena alami, yang ditandai dengan kontraksi pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Ia ini bukanlah aib atau akhir dari segalanya.
“Ia merupakan bagian alami pergerakan ekonomi, yang bersifat dinamis. Kadang perekonomian itu naik, kadang turun. Yang penting, saat turun lakukan langkah-langkah preskriptif secara disiplin. Lagi pula kalaupun resesi, dunia tak akan resesi selamanya,” tuturnya.
Rhenald menilai PHK malah bisa memburuk dan terjadi lebih cepat jika narasi ketakutan terus menyebar. “Kalau masyarakat kadung percaya dan ketakutan, maka pengusaha akan melakukan deep cut (memotong anggaran, menutup usaha, menghentikan investasi-ekspansi-atau-berpromosi, melakukan penghematan, PHK, mengurangi stok, bahkan malas melakukan apa-apa),” ujarnya.
Terlepas dari penyebab di balik gelombang PHK ini, ada baiknya kita tak patah arah. Di balik duka PHK, ada peluang dan kesempatan yang bisa dikejar untuk membalik keadaan. Michael Bloomberg sudah membuktikannya.
Contoh sosok yang lebih dekat dengan kita ada di Surabaya, Jawa Timur. Seorang koki hotel di Sanur, Bali bernama Yuyun Mardojo justru mendulang berkah menjadi pengusaha setelah di-PHK semasa pandemi Covid-19.
Alih-alih larut dalam keputusasaan, dia memanfaatkan keahliannya mengolah kuliner. Di masa senggang, Yuyun berkreasi membuat kue berbahan sayuran. Siapa sangka, bisnis baru tersebut mengubah nasibnya.
Dia dirangkul menjadi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) binaan PT Surabaya Industrial Estate Rungkut, sebagai program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) mereka, sebagaimana diulas Antara pada Sabtu (9/10/2021).
Perubahan nasib juga dialami Bayu Raja. Lelaki berusia 33 tahun ini kehilangan pekerjaan akibat di-PHK saat pandemi Covid-19. Namun siapa sangka, lepas dari perusahaan justru membuat Bayu menjadi seorang pengusaha ulet.
Seperti yang dikisahkan IDX Channel pada Kamis (2/9/2021), warga asal DKI Jakarta itu menggunakan uang pesangon untuk merambah bisnis kuliner. Naluri wirausaha Bayu kian terolah hingga dia sukses membuka sejumlah cabang dan mendiversifikasi usaha.
Yuyun dan Bayu membuktikan bahwa “setelah kesulitan pasti ada kemudahan,” selama kita tak putus asa. Keputusasaan justru memperkecil peluang kita berpikir jernih--yang justru diperlukan untuk mencari di mana kemudahan itu (di)datang(kan).
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono