Menuju konten utama

Melatih Persib atau Tidak, Djanur Akan Tetap Diingat Bobotoh

Djanur tak usah khawatir meski tidak lagi melatih Persib. Namanya tidak akan mudah dilupakan oleh bobotoh

Melatih Persib atau Tidak, Djanur Akan Tetap Diingat Bobotoh
Pelatih Persib Bandung Djadjang Nurdjaman (kiri) bersama pesepakbola Febri Haryadi (kanan) menjawab pertanyaan wartawan pada jumpa pers pertandingan Persib Bandung melawan Arema Malang di Graha Persib, Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/4). ANTARA FOTO/Agus Bebeng/ama/17

tirto.id - Sebagai tim dengan basis pendukung besar dan punya sejarah panjang, Persib Bandung pernah menghadapi periode suram yang cukup panjang, yakni ketika mereka absen meraih gelar hingga sekitar dua dasawarsa.

Fase pertama terjadi pada 1961 hingga 1985. Setelah juara di Semarang pada 1961, Persib baru bisa menjadi juara nasional di era Perserikatan pada 1986. Ada jeda 25 tahun agar kembali lagi juara.

Fase kedua terjadi setelah sukses merebut juara Liga Indonesia I 1994/1995 silam. Persib baru kembali merengkuh gelar juara pada 2014 lalu. Butuh 19 tahun penantian, waktu yang cukup lama bagi para bobotoh.

Ketika dua periode suram itu terputus, maka euforia bobotoh akan pecah. Pada juara 1986, misalnya, usai mengandaskan Perseman Manokwari di laga final, Persib langsung diarak dan disambut lebih dari 150.000 ribu warga Bandung. Arak-arakan panjang juga digelar sampai Bogor, Cianjur, Sukabumi, Garut, Tasikmalaya dan kota-kota di Jawa Barat lainnya. Hal sama juga terjadi ketika Firman Utina cs., mempersembahkan gelar ISL pada 2014 lalu.

Di antara ratusan pemain dan pelatih yang pernah memperkuat Persib, hanya ada satu sosok yang melewati dua momen besar itu sebagai elemen kunci. Dan dia adalah Djadjang Nurdjaman.

Djadjang masih ingat momen berkesan yang terjadi pada 1986, sekitar 31 tahun silam itu. Di tengah lapangan yang mulai becek akibat gerimis, Djadjang berlari diagonal menyambut umpan bola daerah dari Adeng Hudaya.

Dia berlari menusuk pertahanan lawan. Bek kanan Perseman, Aris Kapisa, dikecohnya dengan sekali gerakan. Kapten Perseman, Yulis Woof, yang berusaha mengejar, dengan mudah ditinggalkannya dengan cepat.

Kiper Perseman, Markus Woof, datang menghadang. Di depan kotak penalti ada tiga pemain Persib. "Tapi saya lihat tidak ada yang bebas," kenang Djadjang. Keputusan cepat dia ambil, bola ditembak ke pojok sempit arah sisi bawah kanan gawang.

Tembakan mendatar itu membuat stadion GBK bergemuruh. Gol tunggal itulah yang membuat Persib bisa memutus puasa gelar sampai 25 tahun lamanya.

"Momen itu sampai sekarang tak pernah terlupakan, saya masih mengingatnya," katanya.

Momen keharuan yang sama juga dirasakannya ketika Ahmad Jufriyanto jadi algojo terakhir di laga final menghadapi Persipura pada final ISL 2014. Sebagai seorang pelatih, ancaman menjadi kambing hitam lebih terasa ketimbang saat jadi pemain.

Ketika Jufriyanto sukses mencetak gol dan Persib dinobatkan sebagai juara, emosi yang ditampakkan Djadjang relatif lebih kalem dan tidak meledak-ledak. Dia tidak berteriak-teriak dan berlompat kegirangan. Dia berjalan ke tengah lapang, memeluk serta menyalami satu persatu pemain.

Momentum ini juga terjadi pada 1986 silam saat ia menjadi penentu kemenangan Persib di final Divisi Utama Perserikatan menghadapi Perseman Manokwari.

Wartawan Pikiran Rakyat menggambarkannya begini: "Djadjang, sang pencetak gol tunggal, memilih tak meloncat kegirangan seperti pemain lainnya. Ia malah merendah, memilih duduk sendiri di bangku cadangan, sampai akhirnya beberapa orang mengajaknya ke tengah lapang berpesta bersama pemain lain."

Djadjang adalah legenda hidup Persib. Kiprahnya sama seperti Antonio Conte, Kenny Daglish atau Zinedine Zidan yang memberikan trofi kepada klub yang sama, entah sebagai pemain atau pelatih.

Djadjang bahkan lebih dari itu. Ketika menjadi asisten pelatih pun dia melakukannya. Ia menjadi asisten pelatih Indra Thohir saat Persib sukses menjuarai Perserikatan 1994 (musim terakhir) dan Liga Indonesia I pada 1995.

Di Indonesia amat jarang yang bisa memberikan gelar ketika berstatus sebagai pemain, asisten pelatih dan pelatih pada klub yang sama. Jacksen F Tiago melakukan hal ini di Persebaya, namun dia tak pernah mencicipi gelar ketika berstatus sebagai asisten pelatih.

Di Persib ada banyak pemain merasakan status seperti Jacksen, seperti Ade Dana yang membawa Persib juara 1961 sebagai pemain dan 1990 saat jadi pelatih.

Atau Indra Tohir yang menjadi asisten pelatih Ade Dana pada 1990, kemudian naik pangkat dan memberikan dua gelar bagi Persib di Perserikatan 1994 dan Liga Indonesia 1.

Di era lebih lawas, ada Aang Witarsa, membantu Persib menjuarai 1951 sebagai pemain dan masuk dalam jajaran asisten pelatih di Kejurnas PSSI 1961. Selain Aang, status pemain-asisten pelatih juga dirasakan Asep Somantri dan Anwar Sanusi ketika ISL 2014 lalu. Asep dan Anwar masuk dalam skuat pemain ketika Persib didgaya di awal 90-an.

Dari sekian banyak legenda Persib, hanya Djanur yang bisa melakukannya: memberi gelar dalam posisi sebagai pemain, asisten pelatih dan pelatih. Dan hebatnya lagi, Djanur terlibat aktif dalam memutus dua periode suram di mana Persib absen meraih juara selama sekitar dua dekade: dari 1961-1986 dan 1995-2014.

Pasca kalah beruntun dari Bhayangkara FC dan Bali United, muncur desakan dari bobotoh meminta Djadjang segera dicopot. Dikutip dari koran lokal Galamadia, Manajer Persib, Umuh Muchtar, menuturkan Djadjang telah secara resmi meminta kepada manajemen dan direksi PT PBB untuk mundur.

Dia mengungkapkan statusnya saat ini tinggal menunggu keputusan manajemen.

"Tekanan sebenarnya lebih dirasakan oleh keluarga saya. Mereka yang melihat bagaimana saya dicaci maki setiap hari, bahkan dengan kata-kata kasar yang tidak etis. Saya sendiri menghadapinya dengan tenang dan sabar. Saya sudah siap menerima apapun keputusan dari manajemen. Semoga apapun keputusannya adalah yang terbaik buat Persib," kata Djanur kepada Pikiran Rakyat.

Ada atau tidaknya Djanur di internal tim, Persib tidak akan melupakan jasa dan penghormatan kepadanya. Di klub-klub Eropa, lazim para legenda klub diberi jabatan terhormat di dalam direksi klub. misal seperti Sir Alex Ferguson di Manchester United, Kenny Daglish di Liverpool, Pavel Nedved di Juventus.

Dengan masuknya perwakilan pemain ke dalam direksi tentu ini lebih baik ketimbang memberikannya kepada orang yang tidak jelas dan tidak berkontribusi, baik itu secara finansial maupun teknis dan pengalaman bagi tim Persib.

Baca juga artikel terkait PERSIB atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Zen RS