tirto.id - Mayoritas agama Rohingya dan alasan mereka mengungsi menjadi pertanyaan banyak orang menyusul kedatangan mereka di Indonesia dalam satu bulan terakhir.
Kapolda Aceh, Irjen Pol achmad Kartiko mengatakan pada Kamis, 30 November 2023 bahwa adanya dugaan sindikasi penyelundukan manusia terkait gelombang kedatangan pengungsi Rohingya di sepanjang November 2023.
"Dari hasil penyelidikan kepolisian, ada dugaan sindikasi penyeludupan manusia terkait masuknya imigran Rohingya ke Aceh," kata Achmad Kartiko dikutip Antara News.
Sebab menurut Achmad Kartiko, setelah diselidiki para pengungsi Rohingya itu datang dengan membayar kapal dan awak kapal untuk masuk ke Indonesia. Mereka berlayar dari Bangladesh ke Indonesia.
Achmad Kartiko juga menjelaskan bahwa pengungsi Rohingya yang berdatangan ke Indonesia itu ternyata berasal dari tempat pengungsian Cox Bazaar. Ini diketahui, karena mereka memiliki kartu UNHCR, Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi.
Untuk itu, Achmad Kartiko meminta pertanggungjawaban dari UNHCR karena telah lalai dan membuat pengungsi Rohingya lolos dari kamp pengungsiannya. Dia juga menuturkan bahwa pengungsi Rohingya masuk ke Indonesia dengan cara ilegal.
Apa Agama Mayoritas Rohingya?
Rohingya adalah etnis minoritas muslim dari Myanmar. Diperkirakan terdapat 3,5 juta orang Rohingya yang tersebar di seluruh dunia.
Council on Foreign Relations (CFR) menulis, sebelum Agustus 2017, mayoritas dari sekitar satu juta orang Rohingya di Myanmar tinggal di Negara Bagian Rakhine, di mana jumlah mereka mencapai hampir sepertiga dari populasi. Mereka berbeda dari kelompok Buddha yang dominan di Myanmar secara etnis, bahasa, dan agama.
Asal usul Rohingya di Myanmar dapat ditelusuri hingga abad ke-15, ketika ribuan Muslim datang ke bekas Kerajaan Arakan. Banyak yang lainnya datang pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika Rakhine diatur oleh pemerintahan kolonial sebagai bagian dari India Britania.
Sejak kemerdekaan pada tahun 1948, pemerintah berturut-turut di Burma, yang berganti nama menjadi Myanmar pada tahun 1989, telah menyangkal klaim historis Rohingya dan menolak pengakuan kelompok ini sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis resmi di negara tersebut.
Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, meskipun banyak yang melacak akar mereka di Myanmar sejak berabad-abad yang lalu.
Baik pemerintah pusat maupun kelompok etnis Buddha yang dominan di Rakhine, yang dikenal sebagai Rakhine, tidak mengakui label "Rohingya", sebuah istilah untuk mengidentifikasi diri yang muncul pada tahun 1950-an, yang menurut para ahli memberikan identitas politik kolektif kepada kelompok tersebut.
Meskipun akar etimologis dari kata tersebut masih diperdebatkan, teori yang paling banyak diterima adalah bahwa Rohang berasal dari kata "Arakan" dalam dialek Rohingya dan ga atau gya berarti "dari."
Menurut Chris Lewa, direktur Arakan Project, sebuah kelompok advokasi yang berbasis di Thailand, dengan mengidentifikasi diri sebagai Rohingya, kelompok etnis Muslim ini menegaskan ikatan mereka dengan tanah yang pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Arakan,
Apa Alasan Rohingya Mengungsi?
Al Jazeera mewartakan, sejak tahun 1970-an, sejumlah tindakan kekerasan terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine telah memaksa ratusan ribu orang mengungsi ke negara tetangga, Bangladesh, serta Malaysia, Thailand, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Selama tindakan kekerasan tersebut, para pengungsi sering melaporkan adanya pemerkosaan, penyiksaan, pembakaran, dan pembunuhan oleh pasukan keamanan Myanmar.
Setelah pembunuhan sembilan polisi di perbatasan pada bulan Oktober 2016, pemerintah menyalahkan apa yang diklaimnya sebagai pejuang dari kelompok Rohingya bersenjata dan pasukan mulai berdatangan ke desa-desa di Negara Bagian Rakhine.
Tindakan keras terhadap desa-desa tempat tinggal Rohingya pun terjadi, di mana pasukan pemerintah dituduh melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia termasuk pembunuhan di luar hukum, pemerkosaan, dan pembakaran, tuduhan yang dibantah oleh pemerintah.
Pada bulan November 2016, seorang pejabat PBB menuduh pemerintah melakukan pembersihan etnis Rohingya alias genosida. Ini bukan pertama kalinya tuduhan semacam itu dilontarkan.
Pada bulan April 2013, misalnya, HRW mengatakan bahwa Myanmar melakukan kampanye pembersihan etnis terhadap Rohingya. Pemerintah secara konsisten membantah tuduhan tersebut.
Pada bulan Agustus, penduduk dan aktivis menggambarkan bahwa tentara menembaki masyarakat Rohingya tanpa pandang bulu baik itu terhadap pria, wanita, maupun anak-anak Rohingya yang tidak bersenjata.
Namun, pemerintah mengatakan bahwa hampir 100 orang terbunuh setelah orang-orang bersenjata dari Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) melancarkan serangan terhadap pos-pos polisi di wilayah tersebut.
Pada bulan Februari 2018, Associated Press merilis sebuah video yang menunjukkan apa yang mereka katakan sebagai lokasi pembantaian dan setidaknya lima kuburan massal Rohingya yang dirahasiakan di Myanmar. Pelapor khusus PBB untuk Myanmar mengatakan bahwa kekerasan terhadap Rohingya memiliki ciri-ciri genosida.
Pemerintah Myanmar menghancurkan setidaknya 55 desa yang pernah dihuni oleh Rohingya, menghancurkan bukti-bukti kejahatan terhadap kaum minoritas tersebut, menurut Human Rights Watch (HRW).
Kelompok hak asasi manusia ini merilis gambar-gambar pada bulan Februari yang menunjukkan bahwa antara bulan Desember 2017 dan pertengahan Februari, daerah-daerah yang dulunya penuh dengan bangunan dan tanaman hijau telah selesai dibersihkan.
HRW menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar sebagai "kampanye pembersihan etnis" dan meminta PBB dan para donor Myanmar untuk menuntut penghentian pembongkaran.
Menurut HRW, sebanyak 362 desa telah dihancurkan baik secara keseluruhan maupun sebagian sejak militer Myanmar memulai kampanye melawan Rohingya pada Agustus tahun lalu.
Kondisi ini menyebabkan warga Rohingya kabur mencari suaka ke negara terdekat untuk menyelamatkan diri. Sebagian besar pengungsi Rohingya sekitar 960.000 orang saat ini tinggal di Bangladesh.
Pengungsi Rohingya juga telah mencari perlindungan di negara-negara tetangga seperti Thailand (92.000) dan India (21.000), sebagian kecil lainnya di Indonesia, Nepal, dan negara-negara lain di seluruh kawasan.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Dipna Videlia Putsanra