tirto.id - Beberapa faktor turut mengiringi terjadinya konflik Rohingnya di Myanmar. Selain masalah antar etnis dan agama, sikap pemerintah setempat juga menjadi pemicu utama.
Dalam sejarahnya, Rohingnya merupakan sebuah etnis minoritas yang beragama Islam dan tinggal di Provinsi Rakhine atau Arakan, Myanmar.
Mereka termasuk keturunan campuran dari sejumlah suku, seperti Arab, Moor, Turki, Persia, Mogul, Pathan, Bengali, hingga Rakhine.
Etnis Rohingnya selama ini mengalami penindasan di Myanmar. Pada periode 2017-2022, DW.com melaporkan beberapa kasus terjadi hingga memaksa pergi menjadi pengungsi.
Militer Myanmar sempat melancarkan operasi besar-besaran di desa-desa Rohingya pada 2017. Dalihnya menumpas aksi pemberontak Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
PBB menyebutkan 1.000 orang tewas selama 2 minggu pertama pelaksanaan operasi militer Myanmar. Sebanyak 120 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Mereka bergabung dengan 200.000 warga lainnya yang lebih dulu datang.
Washington menyebutkan aksi tahun 2017 itu merupakan bentuk genosida dengan upaya penghancuran terhadap etnis Rohingya.
Faktor Penyebab Konflik Rohingnya di Myanmar
Beberapa faktor memicu terjadinya konflik Rohingnya di Myanmar.
Melalui sebuah Kajian Enveronmental Justice dalam Konflik Rohingya (2018), konflik bernuansa etnis antara Rohingya dengan Rakhine di Myanmar lebih banyak karena masalah diskriminasi ekonomi, geografis etnis dan pengelolaan sumber daya alam.
Berikut adalah sejumlah faktor yang menjadi awal terciptanya konflik tersebut:
Geografis Etnis
Rohingya berada di wilayah provinsi Rakhine bersama etnis Burma dan lain-lainnya. Mereka datang ke Myanmar pada masa pemerintahan Inggris.Lambat laun, etnis Rohingya semakin banyak dan membesar. Kondisi geografis etnis lantas memicu terjadinya konflik karena komposisi jumlah penduduk yang tidak seimbang.
Menurut data tahun 2002, kota Sittwe di Rakhine yang mempunyai luas 12.504 km² berpenduduk 1.009.568 jiwa. Di lain sisi, Kyaukpyu yang luasnya 9.984 km² berpenduduk 296.736.
Perselisihan terjadi antara kaum pendatang dengan penduduk lokal. Sentimen negatif dialamatkan ke kaum pendatang, dalam hal ini Rohingnya, hingga dinilai menjadi sumber masalah kependudukan.
Krisis Ekonomi
Pada masa pemerintahan junta militer Than Shwe (1997), inflasi mencapai 51,5%. Myanmar lantas mengalami krisis ekonomi.Pemerintah setempat lalu mengeluarkan kebijakan seperti Settlement & Land Record Department (SLRD) yang menyebabkan warga Rohingya kehilangan tanah pertanian mencapai seluas 5 hektar.
Di lain sisi, pihak junta militer justru memberikan wewenang terhadap etnis Rakhine untuk mengolah lahan pertanian yang sebelumnya menjadi milik Rohingya. Situasi tersebut kemudian memicu konflik antar etnis Rohingya dengan etnis Rakhine.
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Rakhine mempunyai sumber daya alam yang melimpah seperti cadangan minyak 11 triliun dan gas bumi 23 triliun kaki kubik.Investor asing masuk dan melakukan eksplorasi serta industrialisasi. Pengusiaran terjadi terhadap etnis Rohingya hingga menimbulkan konflik berkepanjangan.
Pemerkosaan Ma Thida Htwe
Kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Ma Thida Htwe turut menjadi pemicu konflik Rohingya.Tri Joko Waluyo dalam "Konflik Tak Seimbang Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine di Myanmar" (2013) berdasarkan laporan The New Light of Myanmar, 4 Juni 2012, menceritakan aksi keji tersebut.
Ma Thida Htwe adalah seorang tukang jahit beragama budha dengan usia 27 tahun. Ia diperkosa dan dibunuh oleh orang tak dikenal di hutan bakau Kyaukhtayan.
Polisi lalu menetapkan 3 tersangka: Htet Htet (a) Rawshi bin U Kyaw Thaung (Bengali/Muslim), Rawphi bin Sweyuktamauk (Bengali/Muslim) dan Khochi bin
Akwechay (Bengali/ Muslim).
100 warga dari Rakhine Kyauknimaw mendatangi kantor polisi dan menuntut para pelaku diserahkan. Warga tidak puas dan memaksa masuk. Polisi lantas melepaskan tembakan.
Untuk menghindari isu rasialis, pemerintah setempat melakukan sejumlah dialog berkaitan dengan hukuman jera bagi para pembunuh dan membantu mencegah kerusuhan.
10 Warga Muslim Meninggal di Bus
Sebuah bus yang berisi warga Muslim dalam perjalanan dari Thandwe ke Yangoon. Di Thandwe, mereka dicegat 100 orang dan terjadi bentrokan.10 orang Muslim tewas dan bus dihancurkan. Aksi ini membuat kawasan Arakan menjadi memanas dan Muslim Rohingnya menjadi sasaran.
Gerakan 969 Biksu Buddha
Pada 2014, Al-Jazeera pernah memberitakan Gerakan 969 oleh biksu Buddha di Myanmar. Gerakan ini dipimpin oleh Ashin Wirathu, seorang kepala biara Masoeyein. Ia disalahkan atas penyebaran kekerasan terhadap Muslim Rohingya.Ashin Wirathu menyatakan dirinya sebagai "Bin Laden dari Myanmar". Menurutnya, umat Muslim berusaha mendirikan negara Islam di Myanmar pada tahun 2100 dan Rohingya berperang demi tujuan tersebut.
Meskipun ia membantah sudah menghasut untuk melakukan kekerasan, Wirathu beranggapan Gerakan 969 termasuk sebuah pertahanan.
"Kami ingin melindungi negara ini dari invasi Muslim," beber Wirathu.
"Mereka bukan kelompok etnis dan juga bukan warga negara kita. Jika negara-negara tetangga mau menerima, kami dengan senang hati akan mengirim mereka ke sana.
"Jika mereka harus tetap tinggal di wilayah kami, kami akan merawat mereka sebagai pengungsi dengan bantuan PBB, seperti yang kami lakukan sekarang," tegas Ashin Wirathu.