tirto.id - Pada 570 Masehi daerah yang saat ini bernama Yaman berada di bawah kekuasaan Abyssinia (Etiopia sekarang). Seorang Abyssinia bernama Abrahah diutus untuk menjadi gubernur di sana. Ia membangun sebuah katedral megah di Shan’a untuk Raja Negus dengan harapan dapat menyaingi Kakbah di Makkah sebagai tempat penyembahan bagi seluruh bangsa Arab. Abrahah membangun katedral itu dengan pualam yang diambil dari bekas istana Ratu Saba serta menghiasinya dengan emas dan perak.
Abrahah tidak merahasiakan sedikit pun niat menyaingi Makkah dan itu tentu mengundang kemarahan suku-suku yang tersebar di seluruh Hijaz dan Najd. Akhirnya, seseorang dari suku Kinanah, yang memiliki hubungan nasab dengan Quraisy, pergi ke Shan’a dengan maksud meruntuhkan gereja itu. Konon, berdasarkan riwayat yang dituturkan secara turun-temurun, ia melakukan itu hanya dalam satu malam dan kembali ke rumahnya dengan selamat.
Abrahah dan Serangan yang Gagal
Martin Lings alias Abu Bakr Siraj al-Din dalam Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (2017: 25-26) meneroka bahwa tatkala Abrahah mendengar itu, ia bersumpah akan membalas dendam dengan menghancurkan Kakbah sampai rata dengan tanah. Ia pun menyiapkan pasukan besar-besaran untuk menyerang Makkah dengan menempatkan seekor gajah di barisan terdepan.
Beberapa suku Arab di utara Shan’a berusaha menghalangi perjalanan mereka, tetapi pasukan Abyssinia berhasil mengalahkan dan menangkap pemimpin suku-suku tersebut, Nufayl dari suku Khats’am. Sebagai tebusan nyawanya, ia diminta menjadi penunjuk jalan.
Abrahah berhenti di Mughammis—kira-kira dua mil dari Makkah—dan mengirimkan pasukan berkuda ke daerah pinggiran Makkah. Mereka merampas apa saja yang mereka temukan di perjalanan dan mengirimkan hasil rampasan kepada Abrahah, termasuk dua ratus unta milik ‘Abd al-Muththalib. Quraisy dan suku-suku lain di sekitarnya mengadakan pertemuan dewan perang. Mereka memutuskan bahwa percuma saja melawan serangan musuh.
Sementara itu Abrahah mengirimkan seorang utusan ke Makkah untuk menemui pemimpin mereka di sana. Ia berpesan bahwa pasukannya datang bukan untuk berperang, melainkan hanya ingin menghancurkan Kakbah. Dan jika ingin menghindari pertumpahan darah, maka pemimpin Makkah harus menemuinya di kemah pasukan Abyssinia.
Sebenarnya tidak ada pemimpin resmi untuk semua suku Quraisy setelah hak-hak istimewa dan tanggung jawab kepemimpinan telah dibagi antara keluarga ‘Abd al-Dar dan ‘Abd Manaf. Tapi sebagian besar masyarakat Makkah beranggapan bahwa pemimpin mereka adalah orang yang secara de facto memang mengemban fungsi kepemimpinan. Kali ini utusan itu diantar menghadap ‘Abd al-Muththalib, yang selanjutnya, bersama seorang putranya, mengikuti utusan tersebut ke perkemahan.
Tatkala Abrahah menyaksikan kedatangan ‘Abd al-Muththalib ke perkemahannya, ia begitu terpesona sampai turun dari singgasana. Dikisahkan Syauqi Abu Khalil dalam Atlas Jejak Agung Muhammad saw (2009: 30) bahwa Abrahah menyambutnya dan duduk bersama di atas karpet. Ia menyuruh juru bicaranya menanyakan kepada ‘Abd al-Muththalib permintaan apa yang hendak diajukan. ‘Abd al-Muththalib meminta agar dua ratus ekor untanya yang telah dirampas pasukan Abrahah dikembalikan. Meskipun Abrahah sangat kecewa mendengar permintaan ‘Abd al-Muththalib, ia akhirnya memerintahkan agar unta-unta itu dikembalikan.
‘Abd al-Muththalib kembali ke Quraisy dan menyarankan agar mereka menyelamatkan diri ke atas bukit di dekat kota. Kemudian, ia, disertai beberapa anggota keluarganya dan pemuka masyarakat yang lain, pergi ke Kakbah. Mereka berdiri di sisi Kakbah, memohon pertolongan Tuhan untuk melawan Abrahah dan pasukannya. Setelah memanjatkan doa, ia bersama dengan yang lain kembali ke atas bukit, pada sebuah tempat yang memungkinkan mereka memantau apa yang terjadi di kota.
Keesokan harinya, Abrahah bersiap-siap memasuki kota untuk menghancurkan Kakbah dan setelah itu kembali lagi ke Shan’a melalui jalan yang mereka tempuh sewaktu datang. Si gajah, yang diperlengkapi senjata, berada di barisan terdepan. Pemandunya, Unays, segera mengarahkan si gajah berjalan bersamanya.
Saat Unays memberikan aba-aba agar gajah itu bangun, Nufayl mendekati telinga besar sang gajah dan memberikan komando untuk duduk berlutut. Itu sangat mengejutkan dan mencemaskan Abrahah dan pasukannya karena si gajah lebih menuruti bisikan Nufayl dengan perlahan-lahan kembali berlutut ke tanah. Unays menyentuhnya untuk kembali berdiri, tapi kata-kata Nufayl yang masuk berbarengan ke telinga gajah itu lebih dekat dan berpengaruh, sehingga si gajah tak mau bergerak lagi.
Pasukan Abrahah melakukan segala muslihat untuk menggerakkan kaki gajah itu, sampai mereka memukul kepala dan wajahnya dengan besi, tapi ia tetap diam. Mereka mencoba strategi lain dengan menyuruh seluruh pasukan berbalik arah dan berjalan beberapa langkah mengikuti mereka. Dengan penuh harap, pasukan berbalik arah lagi dan gajah itu pun mengikuti mereka. Namun ketika mengarah ke Makkah, gajah itu kembali berlutut.
Kelahiran Bayi yang Membuat Quraisy Makin Dikagumi
Sejak peristiwa itu, Quraisy masyhur di jazirah Arab sebagai “keluarga Tuhan” dan mereka semakin dikagumi karena orang-orang menganggap Tuhan mengabulkan doa-doa mereka untuk melindungi Kakbah dari kehancuran. Suku Quraisy kemudian lebih dihormati lagi karena peristiwa kedua yang terjadi pada saat yang hapir bersamaan.
Ketika peristiwa pertama terjadi, ‘Abd Allah, putra ‘Abd al-Muththalib, tidak berada di Makkah. Ia sedang pergi berdagang ke Palestina dan Suriah bersama suatu kafilah. Dalam perjalanan pulang, ia menginap di rumah keluarga neneknya di Yatsrib dan jatuh sakit di sana. Kafilah itu kembali ke Makkah tanpa ‘Abd Allah.
Mendengar putranya sakit, seperti dituturkan Muhammad al-Ghazali dalam Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad (2003: 38), ‘Abd al-Muththalib segera mengutus Harits untuk menemani adiknya pulang jikalau keadaannya memungkinkan untuk melakukan perjalanan. Tapi ketika Harits sampai di tempat ‘Abd Allah menginap, adiknya itu telah meninggal dunia.
Tatkala Harits kembali, Makkah diselimuti duka mendalam. Satu-satunya pelipur lara istri ‘Abd Allah, Aminah, adalah janin yang masih berada dalam kandungannya. Aminah juga kian terhibur dengan semakin dekatnya waktu kelahiran sang bayi.
Beberapa minggu kemudian, tepatnya pada Senin malam, 12 Rabiul Awal, bayi itu pun lahir. Saat itu Aminah tinggal di rumah pamannya. Maka ia mengirimkan kabar kepada ‘Abd al-Muththalib dan memintanya untuk datang menjenguk sang cucu yang baru lahir itu.
‘Abd al-Muththalib datang dan menggendong sang cucu tersayang. Ia membawanya ke Kakbah dan masuk bersamanya ke dalam Rumah Suci itu. ‘Abd al-Muththalib pun memanjatkan doa syukur kepada Tuhan. Setelah itu ia membawa sang bayi kembali ke ibunya. Bayi itu bernama Muhammad.
==========
Muhammad Iqbal adalah sejarawan dan pengajar IAIN Palangka Raya. Ia menyelesaikan studi Pascasarjana Ilmu Sejarah di FIB UI. Bukunya, Tahun-Tahun yang Menentukan Wajah Timur, dipublikasikan oleh Penerbit EA Yogyakarta pada 2019.
Editor: Ivan Aulia Ahsan