tirto.id - Maulid Nabi diperingati oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Kelahiran Nabi Muhammad ini dianggap sebagai peristiwa yang sakral dan memiliki tempat tersendiri dalam sejarah Islam. Bahkan, dalam lintasan sejarah dunia, lahirnya Muhammad dan kemudian menyebarnya agama Islam adalah titik balik penting yang menandai sebuah era baru.
Agama yang diajarkan Muhammad itu berkembang di luar perkiraan siapa pun. Ia menjelma sebagai kekuatan politik, bertransformasi menjadi imperium, serta menyebar ke hampir seluruh Asia barat dan Afrika utara. Pada saat bersamaan, Islam juga muncul sebagai penantang dua kekaisaran tua yang tengah berada dalam masa senjakala: Romawi dan Persia.
Kisah Muhammad bermula dari Makkah, sebuah kota kuno yang berada di tengah-tengah gersangnya padang gurun jazirah Arab. Ia lahir dari keluarga yang bersahaja.
Pernikahan Abdullah dan Aminah
Umur Abdullah telah dua puluh empat tahun. Ia sudah hendak menikah. Ayahnya, Abdul Muthalib, memilih Aminah binti Wahab bin Abdi Manaf bin Zuhra sebagai calon istri anaknya. Perempuan ini berasal dari keluarga terhormat dan usianya tidak jauh beda dengan Abdullah.
Ayah dan anak ini kemudian pergi menemui Wahab untuk melamar Aminah. Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (1980) menerangkan bahwa sebagian penulis sejarah berpendapat Abdullah dan ayahnya menemui Uhyab, paman Aminah, karena waktu itu Wahab telah meninggal dunia sehingga Aminah diasuh pamannya.
Tak lama kemudian mereka menikah. Mula-mula, sesuai kebiasaan adat masyarakat Arab zaman itu, yang mengharuskan pengantin baru tinggal di rumah keluarga pengantin putri selama tiga hari, maka pengantin baru ini tinggal di rumah orang tua Aminah. Setelah itu, mereka pindah ke rumah keluarga Abdul Muthalib.
Kebersamaan Aminah dan Abdullah yang belum lama, terpaksa harus berakhir karena Abdullah bersama kafilah dagang pergi meninggalkan Makkah untuk berniaga ke Syam. Perjalanan niaga ini menghabiskan waktu yang lama karena singgah di pelbagai kota yang dilewatinya.
“Aminah merasa takut dan khawatir. Abdullah pun berusaha menenangkan sambil melepaskan diri dari kedua tangan Aminah. Sementara itu, kegelisahan dan kekhawatiran masih mencekam dalam kesadaran Aminah,” tulis Bassam Muhammad Hamami dalam 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam (2015) mengisahkan saat-saat perpisahan itu.
Satu bulan setelah kepergian sang suami, Aminah merasakan dirinya tengah mengandung dan ingin segera mengabarkannya kepada Abdullah. Namun, jarak begitu berkhianat. Akhirnya Aminah hanya bisa menunggu dan menunggu.
Lahir sebagai Yatim
Setelah menempuh perjalanan jauh, Abdullah dan rombongannya kembali ke Makkah. Namun sebelum sampai di Makkah, karena letih, Abdullah singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Yatsrib. Lelah yang mendera membuatnya jatuh sakit, sehingga kafilahnya pulang lebih dulu ke Makkah.
Kabar Abdullah yang terbaring sakit di Yatsrib disampaikan rombongan ini kepada Abdul Muthalib. Ia pun segera mengutus anak sulungnya, Harith, untuk melihat kondisi Abdullah dan membawanya pulang ke Makkah jika telah sembuh.
Malang, saat Harith sampai di Madinah, ternyata Abdullah telah meninggal dunia dan dimakamkan di kota tersebut. Ia lalu kembali ke Makkah dan menyampaikan berita duka kepada keluarganya.
“Rasa duka dan sedih menimpa hati Abdul Muthalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya,” tulis Husain Haekal.
Waktu terus berjalan, kandungan Aminah semakin besar dan tiba saatnya untuk bersalin. Tanpa kehadiran sang suami, Aminah melahirkan seorang anak laki-laki. Abdul Muthalib segera menerima kabar ini. Ia yang amat bergembira lalu menemui menantunya dan membawa bayi yang baru dilahirkan itu ke Kakbah dan diberi nama Muhammad.
Tujuh hari setelah kelahiran sang bayi, Abdul Muthalib mengadakan kenduri dengan menyembelih unta. Ia mengundang makan masyarakat Quraisy yang kemudian bertanya-tanya kenapa nama bayi tersebut tidak memakai nama seperti nama-nama nenek moyang mereka.
“Kuinginkan dia akan menjadi orang yang terpuji bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi,” jawab Abdul Muthalib.
Perbedaan soal Kelahiran
Tahun Hijriyah mulai dihitung saat Nabi Muhammad hijrah dari Makkah ke Yatsrib atau Madinah. Namun, penamaan bulan dalam tahun tersebut telah ada di masyarakat Arab pra-Islam.
“Walaupun nama tahunnya belum mereka tetapkan, tetapi nama-nama bulannya telah mereka berikan sesuai dengan keadaan-keadaan yang terjadi di sekitar mereka,” tulis Watni Marpaung dalam Pengantar Ilmu Falak (2015).
Secara umum Muhammad diyakini lahir pada 12 Rabiul Awal Tahun Gajah (570 Masehi). Namun dalam catatan Muhammad Husain Haekal, ada juga pendapat-pendapat lain yang menyatakan bahwa Nabi lahir lima belas tahun sebelum peristiwa gajah.
“Ada [juga] yang mengatakan ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga beberapa tahun sesudah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tigapuluh tahun, dan ada juga yang menaksir sampai tujuhpuluh tahun,” imbuh Husain Haekal.
Bulan kelahiran Nabi Muhammad pun menimbulkan perbedaan pendapat. Selain Rabiul Awal yang paling luas diyakini kaum Muslimin, sebagian lain berpendapat Nabi dilahirkan pada bulan Muharam, Safar, Rajab, atau Ramadan.
Kaum Muslimin yang meyakini Nabi dilahirkan pada bulan Rabiul Awal juga berbeda pendapat ihwal tanggalnya. Jika hari ini di Indonesia kelahiran Muhammad diperingati secara nasional pada tanggal 12, maka ada juga yang berpendapat Nabi dilahirkan pada tanggal 2, 8, dan 9 Rabiul Awal. Waktu kelahiran pun tak luput dari perbedaan, yakni siang atau malam.
Menyeru dari Tengah
Di Jazirah Arab, masa sebelum Islam didakwahkan nabi Muhammad sering disebut sebagai zaman Jahiliyah atau masa ketidaktahuan, sesat, atau, bodoh. Menurut M. Quraish Shihab dalam Lentera Hati (1996), kondisi ini kerap dilekatkan dengan keputusan Allah yang menurunkan Rasul terakhirnya di tanah tersebut.
Masyarakat Arab berada di tengah impitan imperium Romawi dan Persia. Kedua kekuatan ini memperebutkan wilayah Hijaz di Timur Tengah yang waktu itu belum terkuasai.
Letak Hijaz atau Jazirah Arab yang berada di tengah itulah yang dijadikan patokan para mufasir dan sejarawan Islam untuk menafsirkan "teka-teki ketuhanan" mengapa Muhammad lahir di daerah ini. Menurut Quraish Shihab, jika pesan hendak disampaikan ke seluruh penjuru, maka si penyampai pesan mesti berdiri di tengah agar pesan mudah tersebar dan menghindari kekuatan yang dapat menghalangi tersebarnya pesan tersebut.
“Timur Tengah adalah jalur penghubung Timur dan Barat, maka wajarlah jika ia menjadi tempat menyampaikan pesan Ilahi yang terakhir,” tulisnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, Makkah sebagai tempat kelahiran Nabi merupakan pusat Hijaz yang menjadi simpul pertemuan para pedagang dan seniman dari pelbagai penjuru. Muhammad berasal dari suku Quraisy yang berpengaruh di Makkah. Suku ini mempunyai dua keluarga besar yakni Hasyim dan Umayyah.
Al-Aqqad dalam Mathla’ Al-Nur, seperti dikutip Quraish Shihab, menyatakan bahwa keluarga Hasyim terkenal gagah, budiman, dan religius. Sementara keluarga Umayyah adalah politikus yang pandai melakukan tipu daya, pekerja yang ambisius, dan tidak gagah. Menurut Al-Aqqad, hal ini disepakati para sejarawan dan tidak dibantah oleh Umayyah bahkan setelah mereka berkuasa.
“Nah, dari keluarga siapakah di Mekah ini yang wajar dipilih untuk tugas kenabian? Tentu saja dari keluarga Hasyim. Dari keluarga ini terpilih Nabi Muhammad, yang bukan saja karena gagah, simpatik, dan berwibawa, tapi juga karena budi pekertinya yang luhur,” imbuh Quraish Shihab.
Editor: Ivan Aulia Ahsan