Menuju konten utama

Matra Kritik Pemerintah Lewat Teatrikal Petruk Kecu Dadi Ratu

Massa Matra menilai kondisi Indonesia tidak baik-baik saja, salah satunya kondisi hutang Indonesia yang mencapai Rp8.000 triliun akibat pemerintahan Jokowi.

Matra Kritik Pemerintah Lewat Teatrikal Petruk Kecu Dadi Ratu
Massa yang menamakan diri Masyarakat Tradisi-Jogja (Matra) menggelar aksi teatrikal bertajuk 'Petruk Kecu Dadi Ratu', Jumat (21/2/2005). (FOTO/Siti Fatimah)

tirto.id - Massa yang menamakan diri Masyarakat Tradisi-Jogja (Matra) menggelar aksi teatrikal bertajuk 'Petruk Kecu Dadi Ratu', Jumat (21/2/2005). Massa mengawali aksi dengan membakar kemenyan di pintu barat Pasar Beringharjo, Kota Yogyakarta.

Massa kemudian bergerak ke arah selatan menuju Gedung Agung Yogyakarta atau Istana Yogyakarta. Mereka melanjutkan aksi teatrikal dengan narasi seorang jelata bernama Petruk naik di atas panggung megah kekuasaan menjadi pemimpin atau Ratu yang dielu-elukan bak sang juru selamat.

Petruk kemudian menari sebagai perlambang dia berpidato tentang keadilan. Berpose di tengah rakyat yang bersorak, ditandu rakyat layaknya sang Ratu Adil. Namun tirai istana di belakangnya perlahan terbuka.

Wajah asli terkuak ternyata dia adalah Seorang Durjana atau Buto Cakil yang merupakan seorang kecu atau perampok. Istana jadi sarang pat-gulipat bersama cukong. Tangan-tangan liciknya merogoh brankas negara untuk mencuri pundi-pundi rakyat, melipat aturan, mengendalikan kawan dan lawan dengan hukum. Kekuasaan digandakan menjadi dinasti.

Tangan yang melambai itu ternyata bukan memberi tapi mengambil. Sorak-sorai berubah menjadi bisik-bisik, lalu kemarahan. Tapi saat topengnya jatuh, tepuk tangan tetap bergema karena rakyat telah terbiasa menyanjung pencuri selama pencurian itu terlihat indah.

Aksi diakhiri massa dengan membunyikan kentongan tanda bahaya. Mereka melempari tokoh Petruk dengan bola warna-warni. Petruk yang tewas, kemudian diselimuti dengan tulisan "ADILI KECU".

Perwakilan dari Matra, Rendra, mengatakan bahwa aksi mereka merupakan wujud dari keresahan.

"Negara kita sedang tidak baik-baik saja," ujarnya diwawancarai saat aksi berlangsung, Jumat (21/2/2025).

Rendra mengatakan, pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto merupakan warisan pemerintahan lama, yaitu Joko Widodo (Jokowi). Ia pun menyinggung kondisi Indonesia yang hutang ribuan triliun akibat pemerintahan Jokowi.

"Kita menanggung hutang Rp8.000 triliun selama pemerintahan lama yang harus dibayar hutangnya oleh pemerintah baru, sehingga dilakukan kebijakan efisiensi," ujarnya.

Kebijakan efisiensi ini, kata Rendra, membuat derajat kehidupan rakyat terancam. Padahal selama 10 tahun yang lalu banyaknya hutang yang diambil Jokowi tidak signifikan untuk menyejahterakan rakyat. Rendra juga menyinggung Proyek Strategis Nasional telah dibelokkan menjadi bagian yang dibarter dengan proyek swasta di IKN. Hal itu jadi indikasi bahwa pemerintah Jokowi sudah membuat pihak swasta menggunakan kebijakan negara untuk kepentingannya.

"Belum lagi dalam politik kita tahu bagaimana telah dilakukan upaya rekayasa hukum untuk memuluskan tujuan politiknya dengan membuat Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga," kata Rendra.

"Nepotisme dalam politik sangat vulgar. Disitu juga ada indikasi dalam penyalahgunaan kekuasaan. Untuk itu perlu Jokowi digugat dan diadili," tegasnya.

Rendra pun mengatakan, apa yang terjadi hari ini dengan Indonesia disebabkan oleh Jokowi. Ia menambahkan pula pula pemerintah baru melakukan kebijakan yang semakin membuat rakyat semakin miskin.

Program makan bergizi gratis membuat efisiensi dilakukan untuk membiayai programnya, sementara PHK terjadi di mana-mana, derajat rakyat semakin turun.

"Kebijakan dilakukan semena-mena, gas langka, pendidikan terancam semakin mahal, makan kenyang buat anak-anak tetapi kemiskinan semakin mengancam masa depan Indonesia. Untuk itu bergabung dengan aksi budaya Kecu Jadi Ratu," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait DEMONSTRASI atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah

tirto.id - Politik
Reporter: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Andrian Pratama Taher