tirto.id - Kasus Tuberkulosis (TBC) di Indonesia masih diwarnai dengan tindakan stigmatisasi dan diskriminasi. Ketua UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Rina Triasih menyatakan kasus stigmatisasi ini bisa menimpa pasien TBC dewasa hingga anak-anak.
“Di masyarakat banyak orang dewasa yang tidak mau diketahui TBC karena takut dikucilkan, bahkan ada yang dikeluarkan dari kerjaan,” kata Rina dalam dalam media briefing IDAI yang diikuti secara daring, Senin (20/3/2023).
Sedangkan pada anak-anak, stigmatisasi ini masih bisa ditemukan kasusnya di lingkungan pendidikan. Anak yang mengidap TBC atau memiliki anggota keluarga yang menderita TBC tak jarang menjadi sasaran diskriminasi.
“Di sekolah agak tricky misal pun sudah ada yang ketahuan ada yang kena TBC di sekolah itu. Itu ada contoh di suatu kota ada TBC di sekolah, itu anak-anaknya ingin dipindahkan oleh orang tuanya. Itu padahal gurunya yang TBC,” ujar Rina.
Rina menilai stigmatisasi masih terjadi akibat masyarakat masih kekurangan informasi terkait penyakit TBC.
“Perlu memberikan pemahaman yang betul terhadap TBC, bahwa ini TBC bisa menular tapi ini sudah bisa disembuhkan,” tambahnya.
Stigmatisasi ini menyebabkan tak sedikit pasien TBC menyembunyikan ihwal penyakit yang diidapnya, sehingga justru dapat lebih berbahaya karena orang-orang yang di sekitarnya jadi tidak bisa melakukan pencegahan.
“Kita harus tidak boleh menyembunyikan sesuatu yang membahayakan masyarakat banyak,” kata Rina.
Rina menyampaikan bahwa IDAI dan Kementerian Kesehatan akan terus mengimbau masyarakat terkait pemahaman penyakit TBC agar stigmatisasi dan diskriminasi bisa dihapuskan.
Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi menyatakan kasus stigmatisasi pasien TBC di masyarakat cenderung berkurang.
“Jadi sebenarnya sudah lama ada program mencegah stigmatisasi pada pasien TBC seperti halnya pasien HIV. Saat ini sebenarnya kalau kita lihat stigmatisasi itu kalau pun ada itu kecil dibanding dulu,” kata Adib kepada reporter Tirto, ditemui dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/3).
Adib menilai bahwa kondisi saat ini banyak masyarakat yang telah memahami bahwa penyakit TBC bisa disembuhkan.
“Dulu sampai diisolasikan, dikucilkan bahkan sampai pindah rumah lah, tapi sekarang enggak. Karena masyarakat sudah paham, kasus TBC walau pun masih banyak, tapi relatif saat ini pemahaman bahwa itu bisa disembuhkan sudah muncul di masyarakat,” lanjut Adib.
Menurut data Kementerian Kesehatan RI, kasus TBC di Indonesia mengalami peningkatan kasus selama pandemi. Pada tahun 2021 kasus TBC berjumlah 443.235, meningkat menjadi 717.941 kasus di tahun 2022.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri