tirto.id - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting mengatakan masalah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah disusun tidak hanya soal delik korupsi saja, melainkan juga berdampak pada banyak materi lainnya.
"Persoalan RKUHP merentang mulai dari konsistensi metode kodifikasi, adanya duplikasi pengaturan, proporsionalitas kriminalisasi, hingga tidak jelas serta tidak tepatnya pengaturan," ujar Miko dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (5/7/2018).
Hal tersebut disampaikan Miko menanggapi pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan RKUHP. Dari pertemuan itu Presiden menyatakan akan mengakomodir kepentingan KPK dan tidak akan mengejar target pengesahan RKUHP.
"Nuansa yang timbul adalah persoalan yang terdapat dalam RKUHP adalah sebatas dimasukkan atau tidak dimasukkannya delik korupsi. Oleh karena itu, jika delik korupsi tidak dimasukkan ke dalam RKUHP, maka RKUHP seakan-akan tidak masalah untuk disahkan. Pemahaman ini tidak tepat dan perlu diluruskan secara tepat," ujar Miko.
Oleh karena itu, menurut Miko, pemerintah dan DPR perlu membahas kembali persoalan-persoalan dalam RKUHP dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan lain.
Pemerintah dan DPR dinilai tidak boleh berhenti pada persoalan delik korupsi saja karena RKUHP mengandung dan berdampak pada banyak sekali materi.
"Untuk itu, Pemerintah dan DPR juga perlu untuk melakukan uji implikasi RKUHP. RKUHP sangat penting dan harusnya menyelesaikan masalah dan bukan menjadi masalah di kemudian hari," kata Miko.
Jokowi menggelar pertemuan dengan pimpinan KPK pada Rabu (4/7/2018) untuk membahas persoalan RKUHP di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.
Usai bertemu Jokowi, Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan poin utama hasil pertemuan yang juga dihadiri oleh Menko Polhukam Wiranto, Menkumham Yasonna H. Laoly, Mensesneg Pratikno, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung tersebut.
Menurut dia, Jokowi sudah memerintahkan pembatalan tenggat waktu pengesahan RKUHP yang semula dijadwalkan pada 17 Agustus 2018.
Sementara Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menambahkan, dalam pertemuan itu, lembaganya juga mengusulkan agar sejumlah pidana khusus lainnya tetap diatur dalam undang-undang di luar KUHP.
"Tadi kami sampaikan bahwa kami berpikir delik korupsi, delik narkoba, teroris dan HAM mungkin akan lebih bagus di luar KUHP. Jadi kalau sebenarnya itu dikeluarkan dari RKUHP, ini bisa cepat segera ini kodifikasinya," kata Laode.
Editor: Dipna Videlia Putsanra