Menuju konten utama
Piala Dunia 2018

Maroko vs Iran: Duel Para Perantau yang Dinaturalisasi

Belasan pemain Maroko dan Iran lahir dan besar di luar negeri, namun memutuskan memperkuat tanah air leluhurnya/

Maroko vs Iran: Duel Para Perantau yang Dinaturalisasi
Ilustrasi Pertandingan penyisihan Group B Piala Dunia 2018 antara Maroko melawan Iran. FOTO/AP Photo

tirto.id - Laga antara Maroko dan Iran di Stadion Krestovsky, Saint Petersburg, diprediksi akan berjalan menarik. Pada fase kualifikasi dan laga uji tanding, kedua tim menunjukkan tren cukup baik.

Salah satu kesamaan di antara keduanya adalah catatan pertahanan yang sangat baik. Maroko adalah satu-satunya negara di babak kualifikasi yang tidak pernah kebobolan satu gol pun. Sedangkan Iran, dalam sembilan pertandingan terakhir, juga tidak pernah kebobolan. Kali terakhir gawang Iran dijebol lawan terjadi saat menghadapi Suriah pada September 2017 lalu.

Dua negara ini berpenduduk mayoritas Islam. Secara historis, Islam memang sudah melekat selama berabad-abad di dua wilayah itu.

Saat imperium Islam berjaya pada abad ke-6, wilayah Islam memanjang dari barat hingga timur. Batas baratnya adalah Maroko saat ini, dan batas timurnya adalah Iran, yang dulunya bagian dari kerajaan Persia yang kemudian ditaklukkan oleh kekuatan Islam.

Dalam konteks Piala Dunia, pertemuan Iran dan Maroko adalah laga kedua sepanjang sejarah yang mempertemukan dua negara berpenduduk mayoritas muslim. Sebelumnya, pada Piala Dunia 2006, Arab Saudi sempat berjumpa Tunisia di fase grup.

Boleh dikatakan, Maroko adalah dua negara dengan penduduk muslim paling mentereng dalam soal prestasi sepakbola di Afrika. Bersama dengan Tunisia, Maroko adalah negara muslim yang paling sering lolos ke Piala Dunia. Ini tentu lebih baik ketimbang Mesir yang hanya bisa lolos tiga kali. Di atas Maroko memang ada Nigeria yang lolos ke Piala Dunia sebanyak enam kali. Namun jumlah muslim di sana masih di bawah 60 persen.

Dibandingkan Tunisia sekali pun, posisi Maroko juga lebih baik dalam prestasi di Piala Dunia. Dibanding Tunisia yang hanya mentok berakhir di fase grup, Maroko sempat lolos ke babak 16 besar pada Piala Dunia 1986 di Meksiko. Lolosnya Maroko ini mengejutkan sebab mereka mampu lolos dari grup maut yang saat itu dihuni Inggris, Polandia dan Portugal. Tim berjuluk Singa Atlas ini malah mampu juara grup dengan raihan empat poin. Di babak 16 besar, sayangnya, mereka ditaklukan Jerman Barat dengan skor tipis 1-0.

Kisah Tim Maroko 1986 akan selalu memiliki tempat khusus dalam sejarah sepakbola Afrika. Maroko saat itu seperti mewakili sosok David melawan Goliath. Itulah mengapa pada 2006 lalu, saat Konfederasi Sepakbola Afrika (CAF) menyusun daftar 200 pemain Afrika terbaik sejak 1956, Enam pemain inti dari skuat Maroko 1986 masuk di dalamnya. Mereka adalah Bouderbala, El Biyaz, El Haddaoui, Timoumi, Zaki, dan Dolmy.

Sedangkan di kawasan Asia, penampilan Iran memang tidak pernah lolos dari babak grup seperti yang dilakukan Arab Saudi pada 1994. Namun dari segi titel juara Piala Asia dan jumlah keikutsertaan Piala Dunia sebanding dengan Arab Saudi: sama-sama tiga kali menjadi juara Piala Asia dan sudah lima kali lolos ke Piala Dunia.

Namun setidaknya Iran tidak pernah tampil memalukan hingga dibantai musuh dengan skor telak 8-0 seperti terjadi di Piala Dunia 2002 oleh Jerman atau dibantai 5-0 seperti dalam pertandingan kontra Rusia kemarin.

Cara Cepat Queiroz Membangun Timnas Iran

Pada Piala Dunia kali ini, meski berada di grup B yang diisi Portugal dan Spanyol, Iran dan Maroko diprediksi bisa memberikan kejutan. Kuncinya adalah sama-sama mengandalkan pemain yang lahir di luar negeri.

Saat kali pertama melatih Iran pada 2011 lalu, hal pertama yang dilakukan Carlos Quieroz adalah mencari pemain Iran yang lahir atau dibesarkan di luar Iran. Sebelum pengangkatan Queiroz, pasukan Iran hanya terdiri dari para pemain Iran yang lahir di tanah Iran dan bermain di liga lokal atau masih beredar di liga-liga Asia.

Ketika Queiroz menjadi pelatih ia mulai mencari pemain profesional yang tumbuh di luar negeri untuk memperkuat Iran. Pekerjaan ini tidak mudah karena naturalisasi memiliki aturan yang cukup ketat. Beberapa pemain incaran tak bisa berbicara bahasa Persia atau bahkan tidak pernah mengunjungi Iran. Misalnya seperti penjaga gawang asal Jerman, Daniel Davari atau bek Amerika, Steven Mehrdad Beitashour.

Namun tak jarang ia menemukan pemain di Eropa yang identitas Iran-nya masih kuat karena tumbuh di keluarga yang masih mempraktikkan budaya Iran. Sebut saja seperti Ashkan Dejagah, Reza Ghoochannejhad atau bintang muda Daniel Arzani yang ia temukan di Australia.

Skuad keturunan ini memang tak begitu tampil baik di Piala Dunia 2014. Namun gerbong awal ini mampu menarik banyak pemain muda lokal Iran untuk tampil di Eropa. Dibanding empat tahun lalu, Quieroz mengaku lebih optimis pada Piala Dunia kali ini, sebab pemain Iran yang bermain di klub luar negeri kali ini lebih banyak.

Dari 23 pemain, 13 di antaranya bermain di luar Iran, mayoritas di klub Eropa seperti Belanda, Belgia, Inggris atau Yunani. Bagi Quieroz pengalaman ini penting agar pemain terbiasa bermain di event internasional, apalagi skuatnya kali ini diisi banyak pemain muda.

Maroko Pun Bergantung Pemain Naturalisasi

Ketergantungan pada para diaspora juga dialami Maroko. Dari 23 pemain timnas Maroko, 17 di antaranya adalah pemain keturunan yang besar dan lahir di negeri asing.

Medhi Benatia, sang kapten yang merumput bersama Juventus, lahir di Prancis. Bek sayap Achraf Hakimi lahir dan besar di Spanyol. Pencetak gol terbanyak Maroko, Hakim Ziyech, lahir di Belanda. Begitu juga striker Mimoun Mahi yang sempat ditawari Ruud Guulit membela timnas Belanda. Ziyech dan Mahi bahkan sempat membela timnas junior Belanda.

Kepada New York Times, Mahi menyebut keputusan ini untuk merealisasikan mimpi ayahnya. "Saya pikir dengan hati, dan hati adalah untuk Maroko," ujarnya tenang.

Herve Renard, pelatih timnas Maroko asal Prancis, mengaku cukup kerepotan dalam sesi latihan. Pasalnya, para pemainnya bicara dengan bahasa ibu berbeda-beda: Prancis, Spanyol, Flam, Belanda, dan Jerman serta Arab dan Tamazight – salah satu ragam bahasa suku Berber di Maroko.

Infografik Maroko vs Iran

Pelatih yang sukses bersama Zambia dan Pantai Gading ini kerap berganti-ganti menggunakan bahasa Inggris dan Prancis saat latihan. Saat melihat ada pemain berbahasa Arab kebingungan, asistennya, Mustapha Hadji – pemain legendaris Maroko di era 1990an – tergopoh-gopoh membantunya.

"Kami menjelaskan kepada mereka yang paling penting adalah semangat tim," kata Renard,. "Untuk mencapai sesuatu dalam sepakbola, jika Anda tidak memiliki semangat tim, tidak masalah dari mana Anda berasal."

Otak di balik semua ini sebetulnya Mark Wotte, seorang Jerman yang dituntut jadi direktur teknis oleh Federasi Sepakbola Maroko (RMFF) pada 2016 lalu. Saat diperkenalkan ke wartawan, ia memang sudah menjanjikan membawa para diaspora untuk membela Iran.

“Kami telah mengadakan kamp pelatihan yang telah memasukkan anak-anak muda diaspora yang tinggal Spanyol, Italia, Belanda, Jerman dan Perancis. Mereka memenuhi syarat melalui orang tua atau kakek-nenek mereka," kata dia dikutip

Kata Wotte, dengan merekrut para pemain yang lahir dan besar di luar negeri, Iran akan memiliki pemain dengan beragam keterampilan yang diperlukan untuk sukses.

"Satu perbedaan yang saya perhatikan adalah bahwa pemain lokal banyak bermain dengan naluri, sedangkan mereka yang datang dari luar negeri, menurut saya, secara taktik lebih disiplin," kata Wotte. "Ini menjadi tugas kami untuk memastikan bahwa kedua gaya bergabung untuk kepentingan sepak bola di negara ini."

Hal ini diamini oleh sang pelatih. Ia mengatakan bahwa meskipun orang-orang Maroko dan Maroko lokal di diaspora memiliki latar belakang yang berbeda, kedua kelompok itu dapat bergaul dengan baik di dalam dan di luar pelatihan. "Tidak ada ketegangan antara kedua kelompok," katanya. “Mereka sangat patriotik dan memiliki impian yang sama untuk mewakili Maroko.”

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan